Matahari masih rendah di ufuk timur. Sinarnya yang masih berpendar lemah hanya menghasilkan cahaya jingga, belum cukup untuk menerangi gang-gang sempit yang berlika liku seperti maze.
Namun sudah ada kegiatan di dalam sebuah rumah berlantai satu. Rumah yang tanpa pagar, dinding rumahnya tidak memiliki jarak dengan gang di depannya, atap dari seng yang telah dimakan karat terlihat menjorok keluar dari badan rumah. Cukup dengan melihat bentuk rumahnya orang akan tahu, penghuni rumahnya sedang bertempur hebat melawan kesulitan hidup, dan kelihatannya mereka hampir kalah.
Pintu depan rumah itu berwarna biru kusam, di bagian bawahnya terlihat menghitam dimakan lapuk, seperti bekas banjir yang tidak terbendung. Pintu itu sudah doyong, engsel bagian atasnya telah menghilang, entah kemana. Hanya engsel bawah yang masih membuat pintu itu bertahan menempel pada kosen. Cukup dengan sekali tendang, daun pintu itu akan tamat riwayatnya. Tapi siapa pula yang mau mendobrak pintu rumah itu. Pencuri dan perampok tidak akan melirik rumah itu.
Itulah rumah Yona. Di balik pintu itu hanya ada satu ruangan serba fungsi, bisa untuk ruang tamu, ruang makan, atau ruang keluarga, terserah kebutuhan. Satu ruangan lagi adalah kamar tidur, yang ia tempati bersama Ibunya.
Lampu di dalam rumah itu sudah menyala. Yona memapah Ibunya yang berjalan tertatih-tatih. Ibunya sudah lama menderita radang persendian yang akut. Yang membuat Yona terpaksa berhenti sekolah untuk mulai menghidupi keluarga kecilnya ini.
“Masih sakit Ma?” Tanya Yona. Dia membantu Ibunya duduk di bangku depan. Itu sudah menjadi kebiasaan Ibunya, duduk di ruang depan sambil menunggu sinar matahari masuk melalui jendela kecil rumah, menyinari dan menghangatkan tubuh.
“Tidak terlalu mengganggu. Obat gosok yang kamu beli itu sangat banyak membantu. Na, obatnya mahal ya?” Ibu Yona menatap cemas. Tangannya tak berhenti mengusap wajah anak gadis satu-satunya. Iba kepada perjuangan anaknya, namun juga sadar, dia tidak bisa banyak membantu. Persendiannya terasa bagaikan di tusuk pedang pada saat kambuh. Akhirnya yang selalu dia ungkapkan adalah perasaan prihatin yang mendalam kepada Yona.
Dan seperti biasa, Yona menggeleng. “Murah kok. Lagi pula, Yona sedang ada rejeki Ma. Nanti Yona bawa Mama ke Dokter yah.” Yona berkata sambil tersenyum sumringah. Mimpi yang telah menahun itu sekarang berada di dalam genggaman tangannya. Selama ini hatinya hanya bisa menjerit pilu setiap kali melihat Ibunya merintih menahan sakit.
Ibunya terpukau mendengar kata-kata Yona. Bagi mereka, pergi ke Dokter itu adalah kemewahan yang tak terkira.
Pagi itu Yona membawa Ibunya pergi ke sebuah tempat praktek Dokter sepesialis tulang dengan wajah cerah ceria. Mereka, Ibu dan anak yang sederhana itu, tidak memiliki mimpi yang muluk-muluk. Hanya ingin mengakhiri sebuah penderitaan. Sebuah harapan yang telah menggumpal menahun membuat mereka berseri-seri saat mendapatkan kesempatan untuk mengakhiri penderitaan itu.
Sebuah bangunan yang putih bersih, berlantai tiga langsung menyambut saat Yona dan Ibunya turun dari bajaj. Kaca yang berkilau menyelimuti bangunan, membuatnya terlihat megah dan mewah.
Wajah Ibu dan anak itu penuh senyum, mereka perlahan berjalan mendekati bangunan tiga lantai yang menggunakan kaca tembus pandang sebagai partisi itu. Bahkan pintu depannya juga terbuat kaca tembus pandang. Mereka dapat dengan jelas melihat dua orang resepsionis yang berdiri di belakang meja, siap menyambut mereka. Sebaliknya juga sama, kedua resepsionis itu juga dengan jelas melihat Yona dan Ibunya.