Kantor pemasaran properti itu sepi, tanpa ada satupun pengunjung di dalamnya. Hanya ada dua orang tenaga penjual wanita yang duduk berjaga di belakang meja counter. Yang satu terlihat segar dan ceria, dengan rambut diikat ekor kuda. Satu lagi seperti kuda nil yang sedang berkubang, enggan bergerak dan sibuk berperang melawan kantuk.
Gadis berambut ekor kuda itu sibuk membereskan sebuah pot bunga yang diletakkan di atas meja pemasaran. Dia dengan cermat menggunting pucuk daun yang telah menguning, kemudian menyemprotkan air bersih ke daun dan bunga yang dirangkai agar terlihat rimbun dan segar. Dia berulang kali menggeser pot bunga itu, berjalan mundur dan melihat dari jauh, memastikan bahwa pot bunga itu letaknya tepat di tengah meja.
Sementara itu temannya yang bertubuh bongsor, dengan potongan rambut seperti mata sekop, menguap semakin lebar. Ruangan marketing yang dibuat nyaman dan sejuk semakin menyulitkan dia untuk melawan kantuk. Bahkan suara langkah kaki yang bergema melewati pintu ruangan tidak sanggup membuatnya berdiri. Dia hanya sekilas melemparkan pandangan ke arah pintu.
Seorang gadis muda, rambutnya sebahu. Mengenakan baju dan celana jogging, dengan sepatu sneaker andalan anak muda masa kini. Penampilannya lebih cocok untuk bergaul dan bercanda di taman monas, dibandingkan berjalan masuk ke galeri properti yang masing-masing unit rumahnya bernilai di atas 100 miliar ini. Galeri marketing ini memang tidak pernah ramai, karena rumah yang mereka jual memang sangat terbatas dan sangat mahal. Biasanya hanya seorang pengusaha raksasa, atau pejabat tinggi, atau artis papan atas yang masuk ke tempat ini.
Lha ini? Umurnya paling-paling masih mahasiswi, dengan celana dan baju jogging. Paling-paling hanya mau numpang ngadem. Kuda Nil itu menguap semakin lebar. Dia membuang wajah dan kembali merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang terlipat di atas meja. Enggan menyambut.
“Selamat pagi kakak. Perkenalkan, nama saya Nia. Ada yang bisa saya bantu?” Tenaga penjual yang berambut ekor kuda itu berbanding terbalik dengan rekannya. Dia dengan sigap berjalan menyambut tamu yang baru masuk. Wajahnya segar seperti kuntum bunga anggrek yang barusan disemprot, dengan senyum yang membawa aura keriangan bertebaran di sekujur tubuhnya.
“Aku mau tanya mengenai unit rumah kalian yang berhadapan dengan teluk.” Moye otomatis langsung berjalan mendekati tenaga penjual yang berbuntut kuda itu. Setelah lelah berlari, melatih stamina hampir satu jam, melihat wajah segar yang menyambut dengan senyum yang demikian ceria, terasa bagaikan dihembus angin pegunungan saat tubuh dibakar terik matahari.
“Boleh, silahkan duduk dulu kak. Kakak tidak kehausan setelah olahraga? Mau saya ambilkan minuman dulu tidak sebelum kita memulai diskusi?” Nia dengan ramah dan penuh perhatian menawarkan.
Moye tersenyum senang melihat keramahan Nia. Anak ini bicara dengan tulus. Moye memperhatikan sambil manggut-manggut. Moye menghempaskan diri di atas sebuah sofa, tempat duduknya berseberangan dengan tenaga penjual bertubuh gempal yang masih terkantuk-kantuk dengan kedua tangan
“Boleh. Minuman apa saja yang bisa kamu tawarkan untuk aku?” Tanya Moye.
“Kita ada es jeruk, itu bisa menyegarkan tubuh kakak. Tapi kalau kakak tidak suka yang manis dan agak asam, kita juga ada minuman kaleng yang bersoda.” Kata Nia.
“Es jeruk saja. Terima kasih.”
Tenaga penjual yang bertubuh gempal itu sedikit mendengus. Dia melirik sebal kepada temannya yang sedang berjalan mengambilkan es jeruk. Dasar bodoh, makinya dalam hati. Sekarang, mahasiswi kurang kerjaan itu bukan hanya duduk bersantai menikmati sejuknya hawa pendingin ruangan, namun juga berhasil mendapatkan es jeruk secara gratisan.
Nia datang kembali dengan satu gelas es jeruk yang dingin menyegarkan. Menyuguhkan ke depan Moye, kemudian duduk di sebelahnya.
“Kak, mengenai rumah yang menghadap teluk, kita masih ada sisa dua unit. Nomor 3, dan nomor 6. Dua-duanya ukurannya sama, dengan letak yang…”