Moye duduk santai di teras yang menghadap teluk biru. Di ujung horizon warna biru laut membaur dengan langit, sulit dibedakan batasnya. Camar dan walet beterbangan silih berganti melewati atap rumah yang tinggi bagaikan menara. Angin khas pantai berhembus keras, membawa aroma garam yang melenyapkan debu-debu halus khas kota besar.
Di sepetak pantai yang dibeli oleh perusahaan properti raksasa ini, orang akan lupa bahwa tempat ini masih merupakan bagian dari Kota Jakarta yang tata letak bangunannya sangat semrawut. Di sini tidak ada selokan, semua saluran air dan sanitasi ditanam di bawah tanah. Tidak ada kabel listrik dan kabel telepon yang menjulur dan menggantung seperti tali jemuran. Semuanya ditanam di bawah tanah. Seluruh jalan yang ada di dalam kompleks selalu memiliki trotoar indah di sisi jalan, sebelum pekarangan rumah. Tidak ada bangunan yang menempel langsung dengan jalan raya. Tidak ada lahan umum yang di salah gunakan sebagai milik pribadi.
Chon berjalan mondar mandir di sekeliling Moye, dengan teropong mengawasi pemandangan teluk yang bebas terpampang di depan mata, berarti bebas juga teras ini untuk dilihat dari arah teluk.
“Aku akan menempatkan beberapa orang untuk berjaga di teluk, mereka bisa menyamar sebagai turis yang sedang bertamasya di atas kapal pesiar. Tempat ini terlalu terbuka, kau tidak akan aman dari penembak jitu.” Kata Chon. Pada saat bicara, hanya bibir kanannya yang bergerak-gerak aneh. Saraf wajah bagian kirinya telah mati, dibunuh oleh sebuah pengkhianatan yang nyaris menghabisi nyawa Moye pada saat dia masih kecil.
Moye menurunkan kacamata hitamnya, dan dengan kening berkerut memperhatikan Chon. Penembak jitu dari arah laut? Penembak jitu itu membutuhkan kapal induk sebagai tempat menembak agar bidikannya tidak terpengaruh oleh goyangan ombak. Tapi Moye hanya menghela napas sambil menggelengkan kepala, membiarkan Chon sibuk dengan pikiran buruknya sendiri.
Lusinan pengawal yang dibawa oleh Chon sibuk berkeliaran di dalam rumah baru itu, peralatan deteksi metal di tangan mereka menyapu seluruh sisi rumah. Mencari kemungkinan adanya alat penyadap, atau kamera tersembunyi, atau bahkan racun yang dapat membahayakan nyawa.
“Tidak akan mudah bagi Costra Nostra untuk datang ke sini. Di negara yang memberlakukan hukuman mati untuk penyelundup narkoba, mereka tidak pernah bisa bertahan.” Kata Moye dengan santai.
“Negara ini juga melarang perjudian. Tapi kita bisa keluar masuk negara ini sesuka hati selama tidak membuka kasino. Mereka juga sama, selama tidak membawa narkoba mereka bebas keluar masuk negara ini.” Chon membantah dengan alis berkerut.
“Tapi mereka tidak memiliki jaringan di negara ini. Itulah maksudku Chon.” Kata Moye.
“Tetap saja, negara ini bukan China yang memiliki dendam terhadap pengedar narkoba.” Chon kembali membantah.