The Mirror

rudy
Chapter #9

Bab 9 Di Ujung Jalan Buntu

Terminal sudah dekat. Yona buru-buru melompat turun dari bus. Dia tidak mau lagi turun di depan terminal, kapok dipermainkan oleh Ito dan kawanannya. Sekarang dia selalu mengambil jarak minimal lima puluh meter dari terminal. Mengendap dan bersembunyi di balik keramaian pejalan kaki. Mengambil jalan kecil mengitari terminal untuk mengambil bus jurusan berikutnya.

 

Semuanya terasa lancar, dengan ember baru berwarna merah di tangan, dia berlari kecil melalui sebuah jalan yang hanya muat satu mobil. Jalan itu sepi, jarang ada yang lewat. Hanya satu dua pengendara yang mau lewat jalan itu, karena kecil dan satu arah. Embernya masih terasa berat di tangan. Tapi kalah berat jika dibandingkan isi hatinya.

 

Beberapa hari ini Yona galau. Alasan apa yang harus ia berikan agar Ibunya tidak terlalu kecewa. Cepat atau lambat Ibunya akan tahu, bahwa pengobatan di praktek spesialis itu ternyata hanya sebuah fatamorgana bagi rakyat miskin seperti mereka. Yona menghela napas panjang. Andai beban di dalam hati bisa di keluarkan melalui hembusan napas, dia akan terus menerus menghembuskan napas hingga paru-parunya mengempis.

 

Terdengar suara mobil berjalan perlahan di belakangnya, suara ban yang melindas aspal dan kerikil terdengar garing di telinga. Yona berjalan menepi, mobil itu masih berjalan perlahan. Hingga tepat berada di samping Yona, pintu mobil itu membuka.

 

Kejadian selanjutnya demikian cepat. Yona hanya sempat melihat sebuah lengan yang kekar menjulur keluar dari dalam mobil, selanjutnya mulutnya telah di bekap. Dalam waktu sekejap dia telah diseret masuk ke dalam mobil. Dia berusaha menendang dan melawan, namun kekuatannya kalah jauh. Di dalam mobil itu dia melihat ada empat pria bertubuh besar. Satu orang yang duduk di samping supir membuat jantungnya hampir copot saking takutnya.

 

Ito. Tapi kali ini Ito hanya diam, kepalanya menoleh ke belakang memperhatikan Yona. Ada perban melilit kedua bahunya.

 

Yona berusaha berteriak dan melawan, namun tangan yang membekap mulutnya semakin keras mencengkeram. Hingga bibirnya terasa sakit seperti dirobek. Kedua kakinya dipegang dan ditindih oleh pria lainnya. Yona tak berkutik sedikitpun.

 

“Sebaiknya kau diam kalau tidak mau mati.” Pria yang membekap mulutnya mendesis mengancam.

 

Bahkan tanpa ancaman itupun sesungguhnya Yona sudah terpaksa diam. Dia hanya dapat menangis, merasakan pandangannya buram oleh air mata. Mobil meluncur cepat ke tujuan yang tidak ia ketahui. Otaknya seperti beku. Rasa takut menguasai seluruh akal dan pikiran. Dia seperti kambing tak berdaya yang diusung ke rumah jagal.

 

Bunyi roda mulai terdengar menggesek aspal. Rem diinjak penuh, masih dengan mulut di bekap erat Yona di gotong turun dari mobil. Kaki dan kepalanya di angkat, seperti menggotong mayat. Yona menangis tanpa suara. Takut dan tak berdaya. Dia melihat empat orang pria bertubuh besar itu membawanya menuju sebuah bangunan yang seperti gudang tua. Pintu besi di depannya penuh oleh karat. Bunyi engsel yang sudah aus terasa mengiris gendang telinga ketika satu orang menariknya hingga terbuka.

 

Yona didorong masuk ke dalam hingga terjatuh ke atas lantai.

 

“TOLONG! TOLOOOONG.” Yona langsung berteriak ketika mulutnya dilepaskan. Lemah. Yona sendiri merasakan, teriakannya bagaikan tangan yang ingin menangkap angin. Dia melihat sekelilingnya, hanya sebuah ruangan persegi empat yang kosong melompong tanpa perabot. Hanya ada setengah lusin kursi yang telah diisi pria berbadan besar, yang dengan santai memperhatikan Yona berteriak dan melolong.

 

Tak ada harapan. Mereka melepaskan Yona karena tahu, di tempat ini tidak ada yang bisa mendengar teriakannya. Yona jatuh terduduk dan nangis sesunggukan.

 

“Salah apa aku? Mau apa kalian? Aku ini tidak punya apa-apa. Untuk apa kalian menculik aku?” Dia duduk menangis di atas lantai berdebu, tubuhnya gemetar ketakutan. Sekitar selusin pria berwajah bengis dan bertubuh besar melotot memandangi dia. Semuanya masih diam membisu dan hanya memandangi dia.

 

Entah berapa menit seperti itu. Semua hanya diam membisu, memperhatikan Yona duduk sesunggukan di atas lantai. Seolah tangisan Yona terdengar semerdu nyanyian biduanita bersuara emas.

 

Lihat selengkapnya