"You know that it would be untrue.”
Light My Fire: The Doors
1986
Ronald McLaughlin tewas atas baku tembak di Meksiko empat tahun silam, tetapi pagi tadi, Peter meneleponku dan mengabarkan; “Ron masih hidup. Kemarilah. Santa Barbara.”
Kepalaku menerima kabar kejadian itu layaknya menerima kabar penampakan UFO, yang menculik seorang remaja saat menyaksikan MTV. Akan tetapi hatiku berkata, yah, mungkin saja, juga berhubung mayat Ron tidak pernah pulang. Jadilah kupacu Ford Escort ‘81 ku, membawa serta bunga anggrek putih yang mekar sempurna.
Dari Citrus Height yang hangat aku mengemudi ke barat. Tiga ratus kaki di jalur barat Sacramento yang umumnya lenggang, justru muncul kemacetan. Laju mobil tersendat-sendat, dan sekeliling jalan dipenuhi riuh klakson; termasuk klaksonku yang tidak sabaran.
Kemacetan itu tidak lama. Yang rupanya sebab di depan kanan ada truk yang berguling ke luar pembatas. Kerumunan paramedis di sisi ambulans yang sirenenya meraung-raung nyaring, tengah mengangkut sopir yang kritis naik ke ranjang. Di leher kiri sopir yang kejang itu, menancap sebilah kaca besar. Darahnya menyembur, yang lekas ditekan paramedis. Tapi yang kuperhatikan adalah garis-garis darah berkilat di kaca itu. Yang sewaktu aku melintas, memantulkan wajahku.
Ford-ku melaju lebih kencang. Santa Barbara tempat Peter tinggal, yang kalau dari rumahku di Citrus Height, Sacramento, berjarak empat ratus mil lebih. Dan perjalanan begitu panjang itu membuat Ford-ku mengeluh. Ia barang bekas meski seingatku baru seminggu lalu kuperbaiki.
Padahal, jujur saja, aku telah berharap tinggi pada Ford yang punya mesin mungil ini—hanya 1,6 L I4—jadi mestinya meningkatkan efisiensi bahan bakar. Sebagai pria dewasa yang trauma dengan krisis minyak sepanjang 70an—harga menggila, antrean pom bensin menggila—Escort begitu menggiurkan. Tapi sial, pemilik sebelumnya justru memodifikasi mobil malang ini berlebihan.
Aku tetap terenyak enak di kursi sopir. Kerah kaus polo Ralph Lauren’s biru tuaku berkibar pelan tertiup angin musim semi April ini, yang sejuk lewat kaca terbuka. Tiupan angin itu juga menyisir cambang tipis yang kurawat hati-hati di sekitar pipiku. Sambil jari manisku yang terpotong ujungnya mengetuk-ngetuk pelan kemudi mobil, mengikuti nyanyian The Doors dari kaset Peaches. Tapi kenikmatan itu tak berlangsung lama setelah roda mobilku menyentuh areal San Francisco.
Rumahku di areal tenang dan penuh kebun di Citrus Height, seolah langit dan bumi dengan San Francisco. Tempat panas ini punya jalan yang tidak lebih lenggang. Meski itu tidak lebih mengganggu dari kerumunan anak-anak punk berambut duri yang tinggi dan lancip, di ujung depan toko Venture, ditambah-tambahi dengan kehadiran gelap perempuan-perempuan rocker yang pasti mendambakan gaya Madona. Mereka anak aneh dan berantakan yang merusak cuaca indah dekat-dekat Utara Samudera Pasifik.
Kalau ada Ron di sini, ia pasti akan menjepit hidungnya dengan jari dan berkata, "Bau minyak kakek."
Ron memberiku panggilan 'Ozzie' yang ia pungut dari tayangan komsit di ABC; The Adventures of Ozzie and Harriet. Ia menyebut Ozzie 'ayah yang dungu’. Dan sering mengatakan kalau Ozzie keras seperti father, dan dungu sepertiku. Aku tidak mengerti definisi dungu yang ia maksud.
Lalu setelah mengaku kalau aku tidak mengerti, saat itulah Ron berkata, "Kau bingung sebab kau dungu. Ozzie, kau dungu."
Sebetulnya bingungku bukan sekadar sebab itu. Tapi juga sebab; aku rasa, Ozzie Nelson bukan dungu. Ia sekadar ayah yang bersikap konservatif dan keras terhadap keyakinan kunonya. Kupikir dia hanya, yah, agak ketinggalan zaman. Anak muda—seperti waktu Ron memberiku nama itu—tidak akan mengerti jalan berpikirnya.
Semakin mobilku merasuk ke pusat—meski akhirnya berbelok ke selatan—anak-anak beraura gelap itu jumlahnya semakin banyak. Meski yang terbanyak adalah muda-mudi penuh warna: perempuan dengan gelang hampir mencapai siku, dan laki-laki bercelana jin Levi's dengan kaus warna-warni kebesaran dan jauh dari kerapian. Gaya rambut mereka acak-acakan dan konyol, membuatku gatal ingin menyisir. Anak muda sekarang memang tidak mengerti cara bergaya yang sopan dan rapi.
San Francisco jadi kota anak muda sekarang. Anak-anak muda aneh dan menggelikan yang tidak tahu cara benar bersenang-senang. Mereka mengenal dan memenuhi arkade untuk bermain PacMan, menghabiskan waktu di depan komputer untuk mail box tidak penting, atau menetap di telepon umum AT&T seolah hendak berbicara selamanya. Mereka tidak mengenal kesenangan berburu langsung, menjelajah lorong gelap terowongan drainase, atau permainan papan. Anak muda sekarang ini betul-betul—
Ah, aku teringat Ozzie.
Semakin aku menuju Selatan, kengerian kota meriah itu terganti dengan palem, palem, dan palem, dilatari suara samar ombak di kanan. Jauh lebih menenangkan untuk berada di sini, meski tidak lebih menyenangkan dari Sacramento yang rapi, atau rumahku yang diapit cypres Italia. Sementara keuntungan di sini, bisa sedikit mencuri pandang ke arah perempuan-perempuan yang baru dari pantai dengan pakaian—
Tidak. Aku sudah berjanji untuk tidak ke arah sana lagi.
Semakin aku mendekati Santa Barbara, matahari semakin memuncak. Pematang jalan yang penuh jajaran pohon palem, dilewati pria-pria telanjang dada, atau perempuan-perempuan berompi pendek dengan perut terbuka—yang begini lebih baik—lengkap dengan kacamata atau papan selancar. Sudah begitu mereka akan naik Chevrolet Cavalier—ya, di mana-mana Chevrolet atau Mazda, Chevrolet dan Mazda—atap terbuka, dan melambaikan tangan ke atas. Keleluasaan mereka membuatku merasa tua di sini.
Lalu seorang gadis di sisi sopir Chevrolet atap terbuka itu tahu-tahu berdiri. Ia menari-nari di atas mobil yang bergerak, membuatku berpikir barangkali ia akan berguling jatuh membuat darah di kepalanya bocor keluar. Tapi barangkali ia sudah biasa melakukannya. Jadi sewaktu ia mendadak membuka rompi dan seluruh pakaian atasnya, ia tetap tidak terjatuh.
Ia tetap menari, lalu berputar, sementara rambutnya yang pirang gelap berkibar. Ia sampai menghadap belakang, menyapa orang-orang dengan dada terbuka. Lalu ia melambai kepadaku. Melemparku ciuman jarak jauh. Aku yakin perempuan itu tengah mabuk.
Gadis yang menyopir tertawa sebab tingkah temannya itu, dan menarik-narik celananya supaya duduk kembali. Sewaktu mobilku sejajar dengan mobilnya, ia membunyikan klakson dan bicara lantang, “Maaf, sir!”
Aku mengabaikannya dan melaju lebih kencang. Dengan empat ratus mil lebih perjalanan, Ford memakan lebih dari enam jam yang membuat gerah. The Doors sampai bosan bernyanyi dan kumatikan. Panasnya meningkat, sementara kaca terbuka Ford tidak dilewati angin berarti yang bisa melenyapkan keringat. Matahari musim semi kali ini sudah mirip musim panas, yang pasti pantai dan kolam renang mulai penuh para peminum bir kaleng.
Rumah Peter sendiri dekat-dekat dengan pantai. Dari jalan depan rumah bergaya ranch Peter bisa kudengar dentum gulungan ombak bergemuruh kuat, diikuti tawa dan sorakan orang-orang. Akhir pekan yang layaknya liburan musim panas.