“Into this world, we’re thrown.”
Riders on the Storm: The Doors
1986
Pertama kali Peter mendapat gelar dari universitas, ia berangkat ke Los Angeles dengan menggenggam harapan segera mendapat pekerjaan. Namun, dalam enam mendekati tujuh bulan ia hanya pemuda payah yang luntang-lantung mencari pekerjaan tanpa tujuan hidup berarti. Sampailah waktu teman peselancar yang ia kenal, lelaki bernama George yang tinggal di Goleta, memberinya saran untuk ke Santa Barbara. Sebab George punya pekerjaan untuknya.
Peter malakukan satu jam perjalanan ke kota penuh pantai dan pohon palem itu, dan langsung mendapat kejutan atas mahalnya biaya sewa di sana. Tempat itu adalah kamar hotel yang bisa disewa perminggu, milik George sendiri. Bagaimanapun, Peter teyap hitung-hitung tentang gaji yang dijanjikan, dengan biaya sewa itu. Sayang, hanya menyisakan uang terlalu sedikit.
Peter menerima pekerjaan George, dan menolak kamar hotelnya. Ia mencari apartemen super kecil—sebelas kaki persegi—di daerah Milpas. Lalu, ia mulai bekerja keras.
Lalu Peter menghidupkan rokoknya lagi, membuang asapnya keluar Ford Escort-ku, dan mulai bercerita lagi. Mode banyak bicaranya akan aktif kalau-kalau kecemasan dan gundahnya sirna.
Sebelum semua itu, masa-masa remaja Peter ia habiskan untuk berselancar bersama Gab—begitu caranya memanggil Gabriel yang katanya banyak omong bualan—dan George yang ia panggil George Georgie. Pantai-pantai pilihannya kebanyakan di Santa Barbara, yang—katanya—punya cuaca paling baik sedunia. Dan pandangannya pada Santa Barbara selalu indah, sampai ia bekerja.
“Santa berengsek Barbara,” kata Peter di sela-sela hembusan napasnya yang berasap, “Itu hanya tempat bekerja tanpa henti, dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, dan 365 hari pertahun. Aku cepat-cepat gila di kota ini. Definisi kerja untuk hidup benar-benar diterapkan dengan keji. Aku bekerja, sebagain besar uangnya untuk membayar sewa dan sebagian kecil lainnya untuk makan. Kau gila kalau mencoba menabung.”
Nyatanya, sehidup semati Peter bersama kota ini. Ia menikah dan bercerai, lalu menikah dan bercerai lagi di kota ini. Tidak ada anak yang akan mengunjunginya, tidak ada saudara yang kasihan padanya. Lagi-lagi ia jadi pecundang di tanah yang jauh dari rumah.
Cerita Peter berakhir tragis. Bahwa ia hidup sendirian di rumah ranch pendek kecil dan baru saja keluar dari pekerjaannya, berniat kembali pulang ke kampung halaman yang tidak tahu apakah akan menerimanya.
“Sebetulnya, aku malu kembali ke daddy dan mommy. Aku ingin tinggal bersamamu. Tapi kau sudah bersama istri dan anakmu. Ah, ini gila. Aku terlempar ke dunia berengsek ini.”
Aku memandang wajah suntuk Peter yang berkantung mata tebal lewat kaca spion dalam. Ia bergumam, “Atau George Georgie? Tapi ia sama pecundangnya.”
George sebetulnya bukan pecundang mirip Peter; ia kaya raya dan menurunkan kepemilikan hotel mewah. Hanya saja, ia pecundang masalah Ron. Empat tahun lalu, George lah yang membawa Ron ke Meksiko. Dan ia pulang sendiri.
Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi sewaktu kutelan ludaku, ucapan itu ikut tertelan. Biarlah Peter tinggal bersama keluarganya. Biar aku sendiri. Aku memikirkan begitu sambil kulirik selingkar cincin pernikahan di jariku, jadi manisku yang ujungnya terpotong.
Mobilku memasuki Los Angeles yang semakin padat, tempat Peter menyapa beberapa orang sambil aku heran dari mana mereka saling mengenal. Toko Hollywood Video di sisi kiri mulai ramai pengunjung, dan di sebelahnya In-n-Out hampir penuh. Aku baru ingat masih memiliki burger In-n-Out di belakang, yang lalu aku raih dan lahap sambil mengemudi.
“Kau tidak punya buatku, bung?” tanya Peter sambil mengintip ke belakang. Sebelum aku jawab dia sudah mengambil Boppers selai kacang dari hasil menggeledah dasbor.
Sewaktu sampai depan mal, Peter mengajakku main arkade. Ia—seperti dengan jiwa muda yang kembali—membertahu keasyikan bermain di sana. Jadilah aku turun, dan ia masuk arkade untuk apa yang ia sebut PacMan, selagi aku pergi ke Mrs. Fields untuk kuenya yang terenak. Semoga saja Mrs. McLaughlin tidak akan marah kalau aku membawakan kue, sementara ia juga suka membuat kue.
Lalu jeritan nyaring itu melolong ke seluruh mal. Seorang perempuan berambut keriting lebat tertangkap oleh segerombol anak punk. Orang-orang di sekitar membeku tanpa bergerak. Sementara anak-anak punk itu menggenggam senjata.
Seorang anak punk yang berambut pink mulai melucuti pakaian perempuan itu. Orang-orang di sekitar segera memburu telepon umum untuk panggilan darurat, sebagian lain segera memanggil penjaga.
Aku, veteran perang Vietnam dan mantan LE, berkata pada pelayan Mrs. Fields yang membeku di tempatnya, untuk bergerak cepat sebab anakku telah menunggu. Ia segera menyiapkan pesananku, dan setelah aku membayarnya aku bergegas pergi. Sekali lalu aku melihat ke kerumunan anak punk itu. Perempuan di tengah-tengah mereka telah tanpa busana, digagahi bersama-sama.
Yah, selamat telah terlempar masuk ke dunia yang kejam.
Sewaktu aku sampai ke Peter, ia masih sibuk menekan-nekan tombol di arkade. Maka aku pergi dahulu ke See’s Candies dan melahap dua sampel cokelat gratis, lalu membeli dua Orange Julius yang berbusa untuk menarik perhatian Peter supaya mau meninggalkan mal. Dan itu berhasil.
Ford Escort membawa kami masuk Sacramento sampai awal malam, sampai aku mesti berulang-ulang mengecek jam tanganku, takut-takut kalau melewati pukul delapan. Sebab jam sembilan aku mesti bekerja.
Peter sendiri terlelap nyaman di sebelahku, dan aku bangunkan ia yang tidak sadar kalau sudah mobil berhenti di rumah Mr. McLaughlin di Komunitas Mills. Jam sudah menunjuk pukul tujuh tiga puluh.
“Peter,” kataku sambil mengguncang tubuhnya, sementara ia kedip-kedip lemah. Ia lalu menoleh kanan kirinya, mengintip keluar ke rumah orang tuanya.
Sudah dua tahun lebih aku tidak berkunjung ke rumah McLaughlin. Terakhir aku ke sana pun sekadar mendatangi batu peringatan untuk Ron di halaman belakang—ditempatkan seperti nisan hewan peliharaan.
Kali ini aku hadir kembali. Sewaktu aku berhenti di depan rumah itu, bisa kulihat Mr. McLaughlin tengah menghadap jendela dapur dan menghidupkan keran air, lalu menatap ke mobilku yang baru datang. Wajahnya yang berkeriput-keriput mengerut, dan rambutnya memutih sempurna meski masih cukup lebat dan terawat dengan baik. Ia mematung menatapku. Dengan air keran terus mengalir sewaktu aku turun dari mobil dan mendekat.