“Lika a dog without a bone.”
Riders on the Storm: The Doors
1986
Besuknya aku benar-benar kembali ke rumah McLaughlin. Rumah itu besar dan melebar, berpagar putih rendah dengan pohon sycamore tumbuh besar di sisi kanannya yang dibawahnya dipasang kursi besi bertingkat. Halamannya berumput rendah tetapi membuatku gatal dengan potongannya yang tidak rapi.
Aku masuk pagar dan menyusuri jalan setapak menuju pintu, lalu mengetuknya. Hari ini aku tidak membawa apa-apa sama seperti dahulu waktu aku datang sekadar untuk bermain.
Mrs. McLaughlin lah yang membukakan pintu, dan segera setelahnya memekarkan senyum. Tapi matanya yang meneteskan air tidak akan bisa disembunyikan. Ia mengelap air matanya dengan sapu tangan, dan menyambut ku masuk. Aku tebak, Mrs. McLaughlin menangisi Ron. Ron yang malang, memang. Sebab itulah aku mulai memupuk tekad.
Aku duduk bersebelahan dengan Mrs. McLaughlin, yang menggigit bibirnya yang tipis, dan meletakkan tangannya di ujung lututku. Suaranya gemetar, terganggu juga oleh ingusnya yang ia tarik-tarik.
“Ozzie,” katanya. “Aku tahu. Aku tahu kau pasti akan datang kembali. Kau tahu, Peter—” ia membuang napasnya kasar. “Kau tidak perlu melakukan apa-apa sesungguhnya. Kalau kau tidak mau, kau tidak perlu.”
Ucapan itu seolah tas berat yang tahu-tahu dipakaikan di bahuku. Barangkali ini titik awal aku sungguh-sungguh terikat ke kasus ini.
Aku merangkul pelan Mrs. McLaughlin. “Bukan masalah, Mommy. Saya yakin Ronald tidak melakukannya. Dan saya yakin akan membuktikan itu.”
Mrs. McLaughlin menoleh padaku, kedua matanya yang biru jadi semakin keruh oleh air. Otot-otot pipinya gemetaran sewaktu menarik senyum, membuat keriputnya makin jelas. Tapi bagaimanapun ia terlihat bugar untuk usia hampir tujuh puluh. Rambutnya—sama seperti suaminya—masih lebat meski putih total. Tubuhnya yang berisi nyaris kekar alih-alih gemuk bergelambir.
Ia menggenggam tanganku erat-erat, menepuknya di pahaku. “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Tapi Ozzie, aku percaya padamu. Dan aku percaya kau mampu.”
Aku balik menggenggam tangannya erat, melempar senyuman kikukku. Bersamaan dengan itu, Peter datang membawa kunci mobil, diikuti Mr. McLaughlin di belakangnya yang kedua alisnya langsung naik begitu melihatku. Sementara Peter justru segera memalingkan wajah.
“Ayo, Mom,” kata Peter sambil membuka pintu.
Mrs. McLaughlin mengapit wajahku dengan kedua tangannya. “Ozzie, dengar. Hal pertama yang harus kau pentingkan adalah dirimu sendiri. Apa pun yang terjadi, pikirkan dirimu dahulu. Kau mengerti, Ozzie sayang?”
Aku masih tersenyum kaku dan mengangguk. “Aku menyayangimu, Mommy.”
Mrs. McLaughlin mencium pipiku, lalu bangun dan mengikuti Peter. Tapi sebelum mereka pergi—yang kalau dilihat dari pakaian senam Mrs. McLaughlin jelas hendak ke mana—aku menahan lengan Peter. Peter sampai melompat dan meronta dari genggamanku. Matanya gemetar hebat.
“Tidak mau!” katanya melengking persis anak kecil—padahal ia seumur denganku.
“Aku hanya ingin meminta sesuatu,” tanyaku. “Bukan tentangmu. Bukan Ronald. Sesuatu tentang Haskell's AntiHodad. Juga George Georgie.”
Lalu lengannya terjuntai lemas, pandangannya yang berair gemetar kecil. Ia cemberut sambil berbisik, “Carilah sendiri. Jangan bawa-bawa aku.”
“Sedikitnya berikan alamat hotelnya.”
“Aku bilang cari sendiri,” Peter merunduk seperti willow. Suaranya lalu mengeras, menguat, “Kau dalam wilayah aman, Ozzie. Polisi-polisi itu tidak mengejarmu. Tapi mereka bisa memborgolku, oke?”
Aku perlahan melepaskan lengan Peter, dan ia segera melarikan diri. Aku baru ingat itu—trauma Peter.
Itu tahun ‘82, tahun yang sama dengan kematian Ronald. Peter bercerita padaku kalau ia terbangun dari tidur dan mendapati sekelompok polisi menggerumun di sekelilingnya. Mereka mengangkat tubuh Peter, mendorongnya untuk duduk di ruang bawah. Rumahnya penuh oleh polisi. Mr. McLaughlin memarahi polisi-polisi itu, berkata kalau keluarganya tidak mungkin bersalah, sementara Mrs. McLaughlin merangkul Peter yang gemetar.
Peter tertuduh sebagai Capital Rapist—pemerkosa giat yang meror areal ibu kota California—sementara Gabriel dan Ron dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan dokter bedah osteopati di Goleta dekat Santa Barbara. Peter menawarkan sampel DNA-nya, tapi tertolak.
Semenjak hari itulah ia sering menceritakan padaku banyak penemuannya tentang Capital Rapist, sampai ia seolah obsesi dengan itu.
Hari itu aku hampir saja hendak berkunjung, tetapi sewaktu melihat tanda-tanda masalah, aku urung diri. Aku hanya berharap itu tidak genting.
Mrs. McLaughlin dan Peter meninggalkan tempat dengan mobil CutlaState Slaughter Mr. McLaughlin.
“Tentang Ronald,” kata Mr. McLaughlin yang mendatangiku sewaktu menyaksikan mobil CutlaState Slaughter itu menjauh. “Peter sudah menyerah.”
Aku mengangguk. “Dia memang gemar menyerah sebelum memulai.”
Tawa bulat Mr. McLaughlin ala Sinterklas-nya menggelegar, dan aku senang mendengarnya. Ia mengangguk-angguk kuat. Lehernya yang tebal dan berotot terlihat begitu kuat—dia bukan sembarang veteran, surat selesai penugasannya mencatat dia mendapat cedera perang di bahu kanannya setelah ia menembus batas musuh untuk menyelamatkan seorang pilot yang jatuh. Tidak pernah sekalipun aku tidak merasa terinsipirasi darinya yang kuat dan memegang kendali.
Lalu tahu-tahu Mr. McLaughlin mencengkram bahuku keras. Matanya menusuk langsung ke mataku. “Bagaimana denganmu? Kau merencanakan sesuatu?”
Aku mengangguk sekali. Lalu kuberitahu tentang rencanaku melihat album, atau benda-benda yang bisa memberitahu kegiatan Ronald sewaktu State Slaughter berkeliaran. Aku juga mesti perlu mendatangi teman-temannya, dan bila perlu—yang aku harap tidak—berkunjung ke Pantai Haskell. Menemui Haskell's AntiHodad. Yang isunya mereka berani memukul, berani menembak, bahkan ada kisah anggotanya memasukkan moncong senapan ke mulut seseorang, dan menarik pelatuknya.
Mr. McLaughlin mengangguk-angguk. Dan ia mengaku kecewa pada Peter yang menolak mau membantu—tapi itu tidak sepenuhnya salahnya sementara ia punya trauma—dan Gabriel juga terlalu membenciku untuk menolong.
“Kalau Andrew, ah, ia tidak mungkin.”
“Saya merindukannya,” kataku mengaku.
“Yah, aku juga. Dia anak baik sepertimu. Baik untuk kita, tetapi tidak baik pada orang lain.”
Aku menatap kedua mata Mr. McLaughlin yang berkilat sedikit, dan perlahan-lahan meredup. Barangkali dalam hatinya terbit kekecewaan besar sewaktu mendengar kabar Andrew beberapa tahun silam itu.
Kalau dipikir-pikir kembali, aku baru tersadar kalau akhir keluarga ini terlalu buruk. Awalnya mereka, tambah aku, memang saling menyayangi—yah, sampai kini juga. Tapi dahulu kami benar-benar bahagia. Dan sekarang semuanya berdiri di atas ancaman. Narkotika mengubah semuanya.
Mr. McLaughlin merangkulku dan masuk kembali. Seperti biasanya, ia akan bicara, “Betapa bersyukur aku memilikimu sebagai putraku. Satu-satunya yang bersih dari semua saudaramu.”
Saat masuk, aku digiring ke ruang makan. Ruang makan keluarga McLaughlin sebetulnya ada dua; satu di depan untuk keluarga dan tamu, satu lagi berada di belakang—yang bergabung dengan dapur dan jauh lebih tidak formal—khusus untuk keluarga. Semenjak dahulu kalau sudah waktu makan, aku akan diajak makan di ruang makan belakang. Meski sebetulnya aku ingin mencoba makan di depan, di tempat yang lebih formal dan rapi—sungguh-sungguh rapi dan bersih—tetapi Ron selalu menyeretku dan mendudukkanku di sebelahnya.
Kali ini memang belum waktu makan, dan—tidak seperti biasanya—aku hanya berdua dengan Mr. McLaughlin yang baru datang dari ruang tengah, membawa dua album foto. Dua-duanya pernah aku lihat-lihat, tempat Mrs. McLaughlin menyelipkan foto-fotoku.
Aku menerima album foto itu, sementara Mr. McLaughlin menyalakan pipa rokok. Begitu aku membuka albumnya, semburan kenangan menyenangkan seketika menyapu wajahku. Awalnya memang foto-foto keluarga McLaughlin, lalu berangsur ke belakang, ada aku menyelip di foto-foto itu bersama mereka.
Banyak foto aku, Peter, dan Ronald sewaktu di sungai, atau berdiri sok gagah dengan mengangkat senapan berburu, bermain bisbol—yang ini bersama Andrew yang menjadi pelempar, dan aku ingat kalau lemparannya sangat dahsyat—atau makan-makan bersama keluarga besar; nenek, kakek, paman, bibi, McLaughlin.
Aku tersenyum pelan. Ada aku menyelip di banyak kesempatan itu. Aku, anak luar yang tidak ada hubungan darah daging dengan mereka, benar-benar terlihat seperti anak kelima dengan wajahku yang sewaktu itu terlihat paling muda.
Mr. McLaughlin duduk di kursinya, lalu tertawa. “Nostalgia yang indah, bukan? Masa-masa menyenangkan kita.”
Aku mengangguk pelanAptidkasusura. Aku membayangkan, apa sebenarnya penyebab semuanya menjadi kacau seperti ini, dan lagi-lagi kembali ke pemikiran narkotika itu. Benda itu benar-benar menghancurkan keluarga paling sempurna sekalipun. Meski aku bukan pemakai, tetapi imbasnya juga sampai padaku.
“Ah, Dad,” kataku. “ ada surat kabar tentang State Slaughter? Saya tidak hafal tanggal-tanggal kejahatannya.”