The Mocha Eyes

Bentang Pustaka
Chapter #1

Prolog

Bagiku hidup seperti secangkir moka, bukan secangkir kopi tanpa gula. Hidup itu terlalu sederhana jika digambarkan dengan satu rasa saja. Cokelat dan kopi sepertinya paduan yang pas untuk menggambarkan hidup. Ada istilah “setiap orang punya kopi pahit kehidupannya”, tetapi aku belum pernah menemukan istilah “setiap orang punya moka kehidupannya”.

Bagiku, hidup juga bukan berarti sepenuhnya pahit atau manis. Bagiku, kedua rasa itu datang berimbang di kehidupan setiap orang. Aku percaya bahwa dalam setiap penciptaan sedih juga disiapkan penciptaan bahagia, hanya persoalan menunggu waktu saja.

Apa kamu tahu apa yang paling kunikmati di dunia ini? Yaitu menunggu. Hal yang semua orang akan hindari, justru menjadi hal yang paling kunikmati. Ketika menunggu waktu, aku berpikir sejenak sambil menikmati secangkir mochaccino. Rasa mochaccino mungkin bisa berubah menjadi pahit jika dihirup dengan hati yang kesal atau bisa menjadi rasa manis hingga ke dasarnya jika dihirup dengan pikiran yang tenang.

Begitulah aku, menunggu waktuku dengan tenang dan tidak perlu meminta terlalu cepat. Matahari tidak pernah tergesa-gesa menunggu gilirannya saat bulan masih terlihat di angkasa. Malam juga tidak pernah terlalu cepat untuk datang ketika pagi masih ingin menyapu embun. Menunggumu bersatu denganku seperti mencari-cari rasa cokelat dalam secangkir mochaccino karena aku tidak akan merasakan manis dalam setiap hal yang tergesa-gesa. Kehadiranmu menjadi hal yang kutunggu, kusesap dengan senyuman, lalu kunikmati setiap manisnya, menafikan sedikit pahit yang ternyata juga terasa manis. Kamu dan aku seperti dua hal yang terlihat senada, tetapi berbeda. Aku ternyata justru menemukanmu dalam secangkir cinta.

Lihat selengkapnya