The Mocha Eyes

Bentang Pustaka
Chapter #3

Luka Itu Kamu

“Sedetik ke depan tidak ada apa pun yang bisa kamu tebak dengan pasti,” ucap ibuku berkali-kali. Begitu juga hari ini, sepertinya bukan hari dari bulan yang rajin disambangi hujan. Mungkin sama dengan prediksi ilmu pengetahuan, jarang sekali pada Desember akan seharian terang benderang. Fenomena alam selalu menjadi misteri hidup yang tidak semuanya bisa diprediksi dengan tepat.

Aku meyakini petuah-petuah nenekku dulu atau di antara omelan ibuku, terselip sebuah keimanan bahwa saat musim kemarau dan tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya, merupakan pertanda siraman berkah bagi penghuni bumi. Namun, celakanya, hari ini aku seolah sedang merutuki tetesan hujan yang mulai menjamahi tanah dan setiap ranting pohon yang dilaluinya. Hujan hanya sebentuk alasan yang lain dari kalimat terluka.

Mataku masih menatap gerakan kendaraan yang sesekali melambat, lalu menerobos masuk ke dalam antrean panjang. Kemacetan terkadang menjadi ajang menciptakan keahlian yang baru, yaitu menyelip dan mulai berbuat curang. Ah, kemacetan kota ini ternyata secara tidak langsung bisa mengajarkan para penghuni kota untuk bersabar atau sebaliknya—mengajarkan berbuat curang.

Langit sedang menumpahkan persediaan airnya. Butiran air yang jatuh dari langit itu kusambut dengan racauan yang berdesis dari bibirku. Telingaku berdengung mendengar tetesan hujan yang membunyikan suara riuh itu. Memang, telinga dan kepalaku selalu menolak untuk mendengarkan suara hujan yang seperti segerobak pasir yang dijatuhkan berkali-kali tepat menyentuh ubun-ubunku. Bahkan, hanya menatap kabut hujan dari kaca jendela saja, mampu membuat bibirku bergetar berkali-kali.

Wanita paruh baya itu duduk di sampingku. Aku tidak terlalu ingat sejak kapan aku mengantarkannya ke mana pun ia ingin pergi dengan menggunakan taksi. Biaya taksi menjadi tanggung jawabku. Bahkan, aku harus rela biaya taksi agak timpang dengan gaji yang selalu kuterima setiap akhir bulan. Jika setiap bulan ia memintaku mengantarkannya setidaknya tiga sampai lima kali menggunakan taksi, aku yakin keuanganku segera kolaps. Dan, aku tak bisa membayangkan akibatnya, seminggu kemudian aku akan mengajukan surat resign karena biaya transpor yang sudah dipangkas.

Wanita itu tidak pernah kuberi tahu lagi tentang kondisi hatiku. Mungkin sudah bertahun-tahun. Aku lupa sejak umur berapa aku berhenti bercerita banyak hal kepadanya. Jadi, wajar saja kalau saat ini, ia tidak pernah tahu bahwa aku membenci hujan yang turun bulan ini, minggu ini, hari ini, bahkan detik ini.

Jika saja aku bisa melarikan diri sejenak ke Mars, mungkin sudah kulakukan sejak tadi. Melarikan diri menjadi salah satu keahlianku sejak tiga tahun lalu untuk menghindari sebuah masalah. Sebenarnya hanya tubuhku saja yang berusaha melarikan diri, tetapi pikiranku tidak. Kenyataannya aku masih tetap berada di sini, menikmati setiap siksaan jiwa yang kurasakan. Siksaan itu terasa sangat mengimpitku. Sesak!

Serangkaian kalimat yang keluar dari bibir wanita di sampingku itu membuatku kembali tak berkutik. Tidak ada pilihan lain bagiku selain untuk mendengarkannya saja. Pipinya yang mulai mengerut dan sebuah tatapan tanpa ekspresi itu seolah mengajakku berdialog ringan. Ia seakan-akan sedang mengucapkan terima kasih kepadaku karena bersedia mengantarkannya kali ini. Ucapan terima kasihnya itu seakan-akan ia ucapkan berulang-ulang.

“Warnanya itu sangat cocok untuk Ibu, lho, Ra!” ulangnya lagi sembari merapatkan kedua tangannya ke balik tas besar yang ia taruh di atas pangkuannya. Beberapa kali ia menarik pashmina polkadot itu ke dadanya, sepertinya pendingin taksi dan hujan di luar membuat ia kedinginan.

Aku hanya diam saja, terdengar dengusan panjang dari mulutku saat taksi yang aku dan Ibu tumpangi gagal menerobos masuk ke pusat grosir perbelanjaan di daerah Thamrin City. Saat itu lalu lintas mulai padat. Namun, entah mengapa Ibu tiba-tiba harus memutuskan untuk berbalik arah menuju Ambassador. Padahal kedua pusat perbelanjaan itu sama-sama padat dan menggila pada akhir minggu.

“Di Ambassador ada satu kain lurik yang bagus, Ra! Bu Maryam minggu lalu belinya di sana,” bisik Ibu yakin memercayai ucapan Bu Maryam, tetangga kami yang selalu menunjukkan setiap barang yang baru saja ia beli kepada ibuku. Mungkin bukan bermaksud pamer, hanya saja ia ingin ibuku mengenakan kain lurik yang sama dengannya.

Ternyata benar, siklus hidup manusia itu berputar seperti lingkaran, kebiasaan masa kecil ingin mengenakan baju yang sama dengan seorang teman, bisa berulang pada saat usia bertambah tua.

“Lagian, kata Bu Maryam, harganya jauh lebih murah dari Thamrin City, Ra!” Wajah Ibu tampak ceria, tetapi aku kembali terdiam. Aku belum berminat menjawab pernyataannya.

Dari arah antrean taksi sempat kulihat seorang pengunjung wanita yang membawa beberapa kantong plastik aneka rupa. Kedua tangan wanita itu sepertinya sudah menjelma menjadi tangan-tangan gurita saat membawa kantong-kantong plastik aneka warna di kedua pergelangan tangannya.

Aku tidak tahu alasan para wanita senang sekali berbelanja. Bahkan, para wanita rela bersusah payah pergi ke pusat perbelanjaan atau ke toko langganannya hanya untuk mendapatkan kain motif terbaru atau tas keluaran terbaru. Jika tidak ada yang cocok, tidak jarang kulihat banyak wanita yang kemudian pulang dari pusat perbelanjaan dengan tangan kosong. Atau sebaliknya, justru penuh dengan tentengan meski barang yang dicari belum juga ketemu.

Dalam hal ini, Ibu selalu menganggapku tidak normal karena aku menjadi wanita yang tidak suka berbelanja. Maksudku, aku tidak ingin menghabiskan waktu berjam-jam di pusat perbelanjaan hanya untuk mencari satu motif dan model baju yang cocok denganku. Namun, lebih dari alasan itu, sebenarnya Ibu tahu aku benci keramaian.

Aku tidak suka berdesak-desakan, berpanas-panasan, dan selalu mengucapkan kalimat “Permisi …”, lalu memaksakan diri untuk tersenyum setiap kali harus mendapati pembeli yang sibuk tawar-menawar memenuhi jalur masuk-keluar pertokoan.

Hujan saat ini turun semakin deras, taksi berjalan semakin lambat. Kendaraan umum dan pribadi seolah ikut bersaing untuk bisa sampai duluan di tempat tujuannya. Suara klakson kendaraan terdengar berkali-kali dan anak-anak ojek payung tiba-tiba muncul dari segala arah untuk mencari peruntungan lewat hujan hari ini.

Aku kesal karena setiap menitnya kini terasa sangat lambat. Bahkan, setiap detik jarum jam seakan mewakili detak debaran di dadaku yang semakin tidak beraturan. Suara hujan itu seperti suara anjing yang menyalak-nyalak di telingaku atau seperti suara sebuah mesin bor yang memekakkan gendang telingaku.

Ujung-ujung kuku jariku kugigit lagi karena merokok dilarang di tempat yang ber-AC, termasuk saat berada di dalam taksi ber-AC. Kebiasaan menggigit kuku-kuku jari merupakan kebiasaanku yang sering timbul-tenggelam setiap kali aku merasa gugup. Kutarik paksa tanganku, lalu kukontrol pikiranku dengan susah payah agar jari-jari ini tidak bergerak kembali ke depan bibirku. Jika kubiarkan gigi-gigiku terus menggigit, semua kulit ari di sepanjang jariku akan habis dan meninggalkan jejak luka.

Sialan …. Mengapa kebiasaan ini kulakukan lagi! teriakku dalam hati.

Aku mendengus pelan saat Ibu kembali bercerita tentang rencana pesta pernikahan sepupu jauhku yang tinggal menghitung minggu. Rencana pesta inilah yang menjadi alasan ia memaksaku untuk mencari bahan baju yang terbaru saat menghadiri pesta itu.

Tidak cukup jelas bagiku mendengar apa yang diucapkan Ibu kata per kata hingga kalimat per kalimat. Suara Ibu sepertinya hanya sekilas membicarakan tentang tempat yang bagus untuk menjahit baju, mencari model baju yang sederhana, sampai rencana untuk menghadiri pesta pernikahan itu.

Ah, .... Ternyata aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku merasa bosan dengan pikiranku sendiri. Tanganku mulai meraih tasku dan mengaduk-aduk isi tasku yang berukuran besar. Mataku berkali-kali mencari posisi earphone ponsel CDMA milikku yang selalu kumasukkan secara asal saja ke dalam tas. Seperti sebuah senjata yang sangat ampuh, ponsel itu selalu setia berada dalam tasku.

“Kamu lagi cari apa, sih?” tanya Ibu.

Aku memang selalu terlihat heboh setiap membongkar tas untuk mencari sesuatu dalam tas besarku yang multifungsi. Semua barang bercampur aduk di dalamnya, mulai dari baju, tisu, sampai nota belanja yang seharusnya sudah dibuang, tetapi masih tetap tersimpan amburadul bersama barang-barangku yang lainnya.

“Kapan, sih, kamu itu sesekali rapi? Itu tas isinya segala macam, seperti orang mau pindahan saja!” lanjut Ibu lagi, tetapi aku tidak peduli.

Dadaku semakin terasa sesak, jari jemariku semakin gemetar. Aku harus menemukan earphone itu secepat mungkin. Aku harus segera mendengarkan musik sebelum kepalaku benar-benar meledak, apalagi mendengar rentetan kata-kata Ibu selanjutnya.

Suara klakson kendaraan kembali terdengar berkali-kali. Aku merasa tidak nyaman dengan keramaian seperti ini. Sesekali kutaruh telapak tanganku ke dagu atau menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, mengelap-ngelap kaca jendela taksi yang mulai berkabut.

Tanganku bergetar pelan, perutku serasa diaduk-aduk, debaran dadaku serasa berpacu pesat. Pandanganku tiba-tiba saja berkunang-kunang. Kusumpal earphone ke kedua lubang telingaku.

Sekali tekan volumenya langsung berlari ke angka yang paling maksimal. Ibu tak bicara lagi karena melihat aku terbenam dalam musik yang dentumannya itu membuat gendang telingaku berdenyut-denyut.

“He, Ra …. Itu terlalu keras!” tepuk Ibu di tanganku.

Aku hanya melihat gerakan bibir Ibu menyuruhku mengecilkan volume musikku. Namun, tidak kuacuhkan sembari bicara pada hatiku sendiri. Memangnya apa masalahnya kalau saat ini aku hanya ingin mengeraskan volume musikku, bahkan jika bisa lebih keras dari saat ini?

Muara …. Kamu tidak sedang baik-baik saja saat ini! bisikku pelan dalam hati.

Dua bulan yang lalu ….

Langkah kaki pengunjung pusat perbelanjaan sangat rapat-rapat di sini. Apalagi kali ini weekend, para pengunjung pusat grosir ini bisa datang dari mana saja dan punya tujuan apa saja. Mulai dari berniat belanja untuk kebutuhan sendiri, hanya jalan-jalan dan lihat-lihat, sampai dengan belanja khusus untuk dijual kembali.

Semua lantai pusat perbelanjaan penuh dengan penjual dagangan aneka rupa, seperti baju, tas, DVD bajakan, atau apa pun yang kelihatan bisa dijual di sini dan dapat menghasilkan uang. Ibu kota selalu punya banyak ide untuk orang-orang yang berpikir, tetapi bisa selalu menenggelamkan orang-orang yang buntung dan buntu mengolah ide.

Seminggu lalu, Ibu berulang tahun, tetapi aku sama sekali tak punya uang untuk membelikannya sepotong pashmina atau mengajaknya jalan-jalan dan makan sesuatu yang sedikit lebih istimewa dari hari lainnya.

Aku tahu hal ini cukup membuat ibuku prihatin. Aku dipecat dari minimarket tempatku bekerja. Pemecatanku itu disebabkan penyakit akutku, yaitu selalu datang terlambat setiap kali mendapat jatah shift pagi. Meskipun aku berdalih berkali-kali meminta shift siang sampai malam, tetap saja manajerku itu menaruhku beberapa kali pada shift pagi.

Lihat selengkapnya