Pada 2016 dalam perjalanan ke Eropa, aku khusus berkunjung ke Swedia untuk mengucapkan selamat jalan kepada salah seorang pahlawanku.
Hans Rosling, yang meninggal pada 2017, adalah seorang profesor perintis kesehatan dunia yang menjadi terkenal karena mengajari para ahli mengenai fakta-fakta yang seharusnya sudah mereka ketahui. Dia menjadi tersohor karena ceramah TED-nya yang tak terlupakan (telah ditonton lebih dari 25 juta orang dan terus bertambah); karena bukunya Factfulness, yang ditulis bersama putra dan menantu perempuannya, menunjukkan kepada kita bahwa dunia lebih baik daripada yang kita pikirkan; juga karena Gapminder Foundation milik mereka telah menghasilkan data dan grafis yang membantu banyak orang melihat dunia sebagaimana adanya. Bagiku pribadi, Hans adalah seorang mentor yang bijak. Kisah-kisahnya membantuku memandang kemiskinan dari kacamata kaum papa.
Aku ingin menyampaikan kisah yang diceritakan Hans dan membantuku melihat dampak kemiskinan kronis—dan bagaimana pemberdayaan perempuan dapat memegang peran utama dalam menyudahinya.
Akan tetapi, pertama-tama, perlu kuceritakan bahwa Hans Rosling tidak terkesan kepadaku seperti aku terkesan kepadanya, setidaknya pada awalnya. Pada 2007, sebelum kami saling kenal, dia datang ke suatu acara yang akan melibatkanku sebagai pembicara. Hans skeptis, dia memberitahuku belakangan. Dia berpikir, miliuner Amerika bagi-bagi uang pasti akan membuat semuanya kacau! (Sah-sah saja dia cemas. Aku akan membahasnya nanti).
Aku merebut hatinya, katanya, karena dalam pidatoku aku tidak membahas tentang duduk-duduk di Seattle membaca data dan mengembangkan teori. Aku justru berusaha membagi apa yang sudah kupelajari dari para bidan, perawat, dan para ibu yang kutemui selama perjalananku ke Afrika dan Asia Selatan. Kuceritakan tentang para petani perempuan yang meninggalkan ladang mereka untuk berjalan berkilo-kilometer menuju klinik kesehatan dan mengantre sangat panjang sambil kepanasan, tetapi ternyata kontrasepsinya habis. Kuceritakan tentang para bidan yang mengaku dibayar rendah, dilatih sekadarnya, dan tidak difasilitasi ambulans. Aku sengaja tidak melakukan kunjungan sambil berbekal pandangan tertentu, aku berusaha pergi dengan rasa ingin tahu dan hasrat untuk belajar. Begitu pula Hans, rupanya, dan dia memulai jauh lebih dulu daripadaku dengan intensitas yang lebih besar.
Ketika Hans masih menjadi dokter muda, dia dan istrinya, Agneta—seorang profesional terkemuka di bidang perawatan kesehatan yang berhasil atas hasil jerih payahnya sendiri—pindah ke Mozambik, tempat Hans membuka praktik dokter di suatu wilayah miskin yang jauh dari ibu kota. Dia adalah salah satu dari dua dokter yang bertanggung jawab atas 300.000 orang. Mereka semua adalah pasiennya, menurut Hans, walaupun dia tidak pernah bertemu mereka—dan biasanya memang tidak. Di distriknya, 15.000 bayi lahir setiap tahun dan lebih dari 3.000 anak meninggal. Setiap hari di distriknya, sepuluh anak meninggal. Hans merawat diare, malaria, kolera, pneumonia, dan masalah kelahiran. Bila hanya ada dua dokter untuk 300.000 pasien, kau menangani semuanya.
Pengalaman ini membentuk dirinya dan menentukan apa yang dia ajarkan kepadaku. Setelah kami bertemu, setiap kali menghadiri acara yang sama, kami pasti menyempatkan berjumpa, sekalipun hanya beberapa menit di lorong di sela sesi. Dalam kunjungan kami—ada yang lama, ada yang sebentar—dia menjadi guruku. Hans tidak hanya membantuku belajar tentang kemiskinan kronis, dia juga membantuku meninjau dan lebih memahami apa yang sudah kulihat. “Kemiskinan kronis menimbulkan penyakit,” katanya. “Ada kekuatan jahat di sana. Di situlah Ebola dimulai. Di situlah Boko Haram menyembunyikan gadis-gadis.” Butuh waktu lama bagiku untuk mempelajari yang dia ketahui, bahkan ketika aku mujur karena mempelajarinya dari Hans sendiri.
Saat ini, hampir 750 juta orang hidup dalam kemiskinan kronis, turun dari 1,85 miliar orang pada 1990. Menurut para pembuat kebijakan, orang miskin kronis adalah mereka yang berpenghasilan setara dengan 1,90 dolar per hari. Namun, angka-angka itu tidak menggambarkan kepedihan hidup mereka.
›››
Kemiskinan kronis sebenarnya berarti tidak peduli sekeras apa pun kau bekerja, kau tetap terjebak di dalamnya. Kau tidak bisa melepaskan diri.
›››
Upayamu nyaris tidak ada gunanya. Kau ditinggalkan oleh orang yang mampu mengangkat taraf hidupmu. Itulah yang Hans bantu untuk kupahami.
Selama kami menjalin persahabatan, dia selalu berkata, “Melinda, kau harus memahami orang-orang yang lemah.” Jadi, kami bersama-sama mencoba melihat kehidupan dari mata orang-orang yang kami coba layani. Kuceritakan kepadanya tentang perjalanan yayasan pertamaku dan betapa aku sangat menaruh hormat pada orang-orang yang kutemui karena aku tahu realitas sehari-hari mereka takkan sanggup kujalani.
Aku pernah mengunjungi permukiman kumuh di sebuah kota besar, dan yang mengejutkanku bukanlah anak-anak kecil yang mendekati mobil dan meminta-minta. Itu sudah kusangka. Yang mengejutkanku adalah ketika melihat anak-anak kecil menjaga diri mereka sendiri. Seharusnya itu tidak mengejutkan bagiku, itulah konsekuensi nyata para ibu miskin yang tidak punya pilihan selain pergi bekerja. Ini persoalan bagaimana mereka harus bertahan hidup di kota. Namun, dengan siapa mereka meninggalkan bayi-bayi mereka? Kulihat anak-anak berjalan ke sana kemari bersama bayi. Kulihat seorang anak berusia 5 tahun berlarian bersama teman-temannya di jalan sambil menggendong bayi yang kepalanya masih terkulai. Kulihat anak-anak bermain di dekat kabel listrik di atap rumah lalu berlarian di dekat selokan yang mengalir di tepi jalan. Kulihat anak-anak bermain di dekat panci-panci berisi air mendidih tempat para pedagang memasak makanan yang mereka jual. Bahaya menjadi bagian dari keseharian anak-anak itu dan bagian dari kenyataan hidup mereka. Itu tidak dapat diubah dengan pilihan lebih baik yang diambil sang ibu—para ibu itu tidak punya pilihan yang lebih baik. Mereka harus bekerja, dan mereka berusaha sebisa mungkin dalam situasi itu untuk mengurus anak-anak mereka. Aku sungguh menghormati mereka karena kemampuan mereka untuk terus bekerja agar dapat memberi makan anak-anak. Sering kali aku berbicara dengan Hans tentang apa yang kulihat, dan sepertinya dia terdorong untuk memberitahuku apa yang dia lihat. Kisah yang disampaikan Hans kepadaku beberapa bulan sebelum dia meninggal adalah, menurutnya, kisah yang menurutnya paling menampilkan intisari kemiskinan.
Semasa Hans menjadi dokter di Mozambik pada awal 1980-an, ada wabah kolera di distrik tempatnya bekerja. Setiap hari, dia pergi ke luar bersama beberapa stafnya naik jip layanan kesehatan untuk menemui pasien kolera alih-alih menunggu mereka datang kepadanya.
Suatu hari, mereka berkendara memasuki sebuah desa terpencil saat matahari terbenam. Di sana ada sekitar lima puluh rumah yang semuanya terbuat dari balok lumpur. Orang-orang itu mempunyai kebun singkong dan pohon kacang mete, tetapi tidak punya keledai, sapi, atau kuda—tidak ada pula transportasi untuk mengangkut hasil panen mereka ke pasar.
Sewaktu tim Hans tiba di sana, sekerumunan orang mengintip ke dalam jipnya dan berkata, “Doutor Comprido, Doutor Comprido,” yang dalam bahasa Portugis berarti ‘Dokter Jangkung, Dokter Jangkung’. Begitulah panggilan Hans di sana—dia tidak pernah dipanggil “Dokter Rosling” atau “Dokter Hans”, hanya “Dokter Jangkung”. Kebanyakan orang desa belum pernah melihat Hans, tetapi mereka sudah mendengar tentangnya. Kini Dokter Jangkung datang ke desa mereka, dan ketika Hans turun dari mobil, dia bertanya kepada pemimpin desa mereka, “Fala portugues? Kau berbicara bahasa Portugis?” “Poco, poco,” mereka menjawab. Sedikit. “Bem vindo, Doutor Comprido.” Selamat datang, Dokter Jangkung.
Maka, Hans bertanya, “Dari mana kalian tahu tentang aku?”
“Oh, kau sangat terkenal di desa kami.”
“Tetapi, aku belum pernah datang kemari.”
“Memang, kau belum pernah ke sini. Karena itulah kami sangat gembira kau datang. Kami sangat gembira.” Yang lain mengikuti, “Dia baik, dia baik, Dokter Jangkung.”
Semakin banyak orang berkumpul dan lambat laun bergabung dengan kelompok itu. Segera saja ada lima puluh orang, tersenyum dan memandang Dokter Jangkung.
“Tetapi, sangat sedikit orang di desa ini yang datang ke rumah sakitku,” kata Hans.
“Memang, kami sangat jarang ke rumah sakit.”
“Jadi, bagaimana kalian bisa tahu soal aku?”
“Oh, kau dihormati. Kau sangat dihormati.”
“Aku dihormati? Tetapi, aku belum pernah ke sini.”
“Memang, kau memang belum pernah ke sini. Dan ya, sangat sedikit yang datang ke rumah sakitmu, tetapi seorang perempuan datang ke sana, dan kau merawatnya. Jadi, kau sangat dihormati.”
“Ah! Satu perempuan dari desa ini?”
“Ya, salah seorang perempuan dari sini.”
“Mengapa dia ke rumah sakit?”
“Masalah persalinan.”
“Jadi, dia datang untuk dirawat?”
“Ya, dan kau dihormati karena merawatnya.”
Hans mulai merasa agak bangga, lalu bertanya, “Boleh aku bertemu dengannya?”
“Tidak,” semua orang menjawab. “Kau tidak bisa menemuinya.”
“Mengapa? Di mana dia?”
“Dia sudah meninggal.”
“Oh, sayang sekali. Dia meninggal?”
“Ya, dia meninggal waktu kau merawatnya.”
“Kalian bilang perempuan ini punya masalah persalinan?”
“Ya.”
“Dan, siapa yang membawanya ke rumah sakit?”
“Saudara-saudara lelakinya.”
“Dan, dia pergi ke rumah sakit?”
“Ya.”
“Lalu aku merawatnya?”
“Ya.”
“Kemudian dia meninggal?”