The Moon After The Sun

Kayandra Wang
Chapter #2

Chapter 1

ENAND

Satu lagi fakta yang gue benci selain orang tua yang nggak bisa dipilih sesuka hati dan beras yang harus dimasak dulu supaya bisa dimakan, adalah fakta bahwa waktu punya aturannya sendiri untuk terus maju tanpa bisa diputar balik. Yeah, meski dulu nggak terhitung berapa kali gue iseng buka laci meja belajar supaya bisa balik ke masa lalu seperti Nobita.

Tapi setelah kenal teori paradoks kakek, gue jadi berhenti ngarep. Sekalipun Einstein generasi ke-20 bakal nemuin mesin waktu, gue jadi percaya kalau mesin waktu itu cuma bisa bawa gue pergi lintas dimensi. Kalau pun ada sesuatu dari masa lalu di dimensi itu yang gue ubah, efeknya hanya akan menimpa dimensi itu sendiri dan nggak bakal merubah apa yang ada di dimensi asal gue.

Kasarnya kalau gue bunuh kakek gue sebelum dia punya anak di satu dimensi, saat kembali ke masa depan, gue bakal tetap ada karena sebenarnya gue nggak benar-benar pergi ke masa lalu dimensi gue atau pergi ke masa depan dimensi itu, tapi cuma melompati dimensi-dimensi yang perbedaan waktunya bisa puluhan tahun, sepadan sama jaraknya. 

Kasus lain juga terjadi kalau gue pergi melintasi dimensi tempat nyokap gue masih hidup dan berhasil gagalin upaya bunuh dirinya dulu. Di dimensi asal gue ..., nyokap gue bakalan tetap meninggal. Dan kalau pun gue yang terlampau kangen maksa buat tinggal di dimensi tempat nyokap masih hidup, menetap di sana dengan alternatif kemungkinan yang gue ubah tadi, gue rasa .., orang yang bersama gue saat itu bukan orang yang sama, bukan nyokap gue. Tapi nyokap dari diri gue yang lain.

Dan dari semua daftar kebencian gue itu kalau diturunin jadi persamaan, diperoleh rumus singkat bahwa gue benci eksistensi bunuh diri sebagai solusi dari suatu limit manusia. 

Kejadian hari ini mengingatkan gue bahwa gue masih anak yang takut sama tatapan putus asa itu. Mata sayu yang seolah memahami seluruh segi kehidupan sampai mau mendahului Tuhan, mengeksekusi diri sendiri. Bedanya, gue nggak tertarik lagi buat kasihan dan buru-buru menghilangkan semuanya dengan membiarkan dia pergi gitu aja, seperti yang gue lakukan ke Mama dulu.

Bertahun-tahun lalu, suatu malam di bawah langit yang sama, nyokap yang terlihat merana menahan sakit, minta untuk diambilin obat. Gue yang nggak tega dengan penderitaannya, menuruti permintaannya dengan harapan nyokap bisa tidur nyenyak malam itu. Sambil tersenyum, beliau mengambil obat itu dari tangan gue dan menelan entah berapa butir pil dalam sekali minum. 

Malam itu, nyokap gue mengeksekusi dirinya sendiri sambil menidurkan gue, kakak gue Arsen, juga adik gue Irene. Beliau seolah tidur sambil meluk kami yang bodohnya ngira nyokap minum obat yang semestinya. Sampai pagi hari semua orang rumah nyadar kalau kami bertiga semalaman tidur sama mayat yang tewas karena overdosis.

****

Alarm. Gue nggak merasa mengatur alarm. Samar-samar, gue mendengar suara Eminem melantunkan Mockingbird. Saat itu gue sadar, bahwa yang berbunyi adalah ponsel gue. 

“Ya Ren?” 

Lihat selengkapnya