Setelah sampai dirumah, pukul 14.30.
Ia membuka pintu belakang mobil, membungkuk perlahan dan dengan sangat hati-hati mengangkat Yuka yang masih tertidur dari car seatnya. Dalam pelukan, bayi kecil itu hanya menggeliat sedikit, lalu kembali tenang.
Dengan lembut, ia meletakkan Yuka di bouncer di ruang tamu, menyalakan ayunan otomatisnya dengan suara musik lembut agar tetap terjaga dalam kenyamanan. Setelah itu, ia kembali ke mobil untuk mengambil dua kantong besar berisi bahan makanan yang tadi ia beli.
Setelah semua kantong diletakkan di meja makan, Leon membuka satu per satu dan mulai menyortir. Ia mengatur bahan segar seperti sayuran dan salmon ke kulkas, sementara bumbu dan wine ia letakkan di kabinet dapur. Gerakannya tidak tergesa, tapi teratur, seperti seseorang yang memang mulai terbiasa menjalani peran sebagai suami dan ayah.
Saat ia menutup lemari dapur terakhir, Leon mengambil ponsel dari sakunya untuk mengabari Disa.
[Pesan Leon - 14.40]
“Baru sampai, Yuka tidur nyenyak dan agak lama. Haruskah aku bangunkan untuk minum susu?”
[Pesan Disa - 14.41]
“Biarkan, sebentar lagi aku sampai. Istirahatlah sebentar. Terimakasih untuk hari ini sayang”
Leon terkesima dengan panggilan ‘sayang’ dari Istrinya, Leon berjalan kembali ke sofa dan perlahan menjatuhkan tubuhnya ke sana. Lelah mulai terasa menjalar ke pundak, terutama setelah menggendong Yuka dan berkeliling Velsette cukup lama.
Ia memejamkan mata sejenak.
Hanya sebentar saja, pikirnya.
Dan dalam keheningan ruang tamu, suara bouncer yang bergoyang lembut dan tarikan napas Yuka menjadi musik pengantar tidur Leon.
Pintu depan rumah terbuka perlahan. Disa melangkah masuk dengan sepatu kerja di tangan, aroma wangi khas tubuhnya langsung memenuhi udara di ruang masuk. Ia menutup pintu pelan, tak ingin mengganggu siapa pun yang mungkin sedang tidur.
Begitu kakinya melangkah ke ruang tengah, senyum kecil terbit di wajahnya.
Leon tertidur di sofa, satu lengan menggantung ke samping, sementara lengan satunya menyilang di atas perut masih memegang ponselnya. Hoodienya masih menutupi sebagian kepala, dan di bawahnya, wajah itu terlihat begitu damai, “Semakin lama ekspresimu membaik” ucap benak Disa, dengan mengambil ponsel Leon dan menaruhnya di meja.
Di sisi Leon, bouncer bayi bergerak pelan. Yuka masih tertidur dengan napas yang naik turun perlahan.
Disa mematikan musik alunan bouncer dan menciup tangan Yuka. “Mama udah pulang nak”.
Disa tersenyum kecil, lalu meletakkan tasnya di atas meja dengan perlahan. Ia mendekat ke sofa, berlutut di samping Leon, dan merapikan rambut pria itu yang sedikit berantakan di dahinya.
“Hm…” gumamnya pelan sambil membelai lembut. Tatapannya lembut, seolah ingin menyimpan momen itu dalam ingatan selamanya.
Lalu, tanpa berpikir panjang, Disa membungkuk dan mengecup dahi Leon dengan sangat pelan.
Leon yang sebenarnya sudah setengah sadar sejak Disa menyentuh rambutnya, tidak membuka mata. Tapi saat bibir itu menyentuh kulitnya, senyum kecil terlihat di sudut bibirnya.
Disa bangun dari posisi berlutut ketika tangan Leon tiba-tiba menarik pinggangnya.
“Ah!” Disa terkejut, tubuhnya jatuh pelan ke dada Leon yang sudah membuka mata dan tersenyum malas.
“Dari tadi bangun?” gumam Disa sedikit malu.
“Enggak. Baru sadar waktu dicium,” jawab Leon pelan, menatap wajah istrinya yang begitu dekat.
Disa tak membalas, hanya menahan napas sebentar, lalu tersenyum kecil.
Leon menyentuh pipinya, mengusap lembut. “Selamat datang dirumah, jadi… presentasinya tadi gimana?”
“Berjalan lancar.” jawab Disa sambil menatap mata Leon.
“Bagus. Aku nggak ragu sama kamu sejak awal,” bisik Leon.
“Kalau kamu yang bilang gitu… rasanya capekku hilang,” balas Disa lirih, pipinya menyentuh bahu Leon.
Seketika Leon menariknya lebih dekat, mencium bibirnya dengan lembut namun dalam. Disa sempat terkejut, tapi lalu membalas perlahan. Ciuman itu tak terburu-buru, hanya dua hati yang menemukan rumahnya masing-masing.
Beberapa detik kemudian, Disa meletakkan telapak tangannya di dada Leon, menatapnya sambil tersenyum malu-malu.
“Aku mau mandi dulu, sebelum masak,” ucapnya pelan menghindari hal berbahaya.
“Hmm, jangan lama-lama,” goda Leon, masih memeluk pinggangnya.
Disa mencubit lengan Leon pelan sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju kamar dengan langkah ringan.
Tak lama, Yuka menangis. Leon yang masih bersandar santai di sofa langsung menegakkan tubuhnya. Ia menoleh ke Yuka.