Masa kini. Di kamar Leon dan Disa - Musim hujan 2024.
Disa yang akhirnya terdiam setelah menceritakan masa lalunya, seolah kehabisan kata. Tangannya yang gemetar perlahan mengepal di atas dada.
Leon menatapnya dalam.
Di dalam hatinya, ada rasa yang tak bisa dia kendalikan, kekaguman, rasa sakit, dan cinta yang semakin dalam.
Dia mengulurkan tangan, mengusap rambut Disa dengan lembut, lalu menghapus air mata yang masih tersisa di pipinya.
“Disa…” suaranya serak, hampir berbisik, “aku… bangga sama kamu.”
Disa menggeleng perlahan, matanya sayu. “Aku bukan siapa-siapa, Leon… Aku cuma berusaha bertahan.”
“Tidak,” Leon menggeleng tegas. Ia membungkuk sedikit, menempelkan dahinya di dahi Disa.
“Kamu lebih kuat dari siapa pun yang pernah aku temui. Kamu bukan cuma bertahan. Kamu membangun dunia baru dari rasa sakit. Kamu hidup… dan kamu membuat hidup orang lain lebih indah dengan caramu.”
Disa mengatupkan mata, membiarkan kata-kata itu menghangatkan hatinya.
Leon meraih tubuhnya, menarik Disa ke dalam pelukannya dengan kehangatan yang tak terucapkan.
Pelukan itu bukan sekadar pelukan, melainkan janji tanpa suara bahwa dia tidak akan pernah lagi harus menghadapi dunia sendirian.
Dalam pelukan itu, di kamar yang tenang dan penuh kehangatan, Disa akhirnya mengizinkan dirinya untuk sedikit melepaskan beban.
Tangisannya mereda menjadi isakan kecil. Tubuhnya yang semula tegang perlahan melunak dalam dekapan Leon.
Malam itu, tanpa banyak kata lagi, mereka hanya berbaring berdua, saling membagi kehangatan, saling berbagi luka lama dengan cinta yang baru tumbuh lebih dalam.
Dan untuk pertama kalinya, Disa percaya, mungkin, hanya mungkin, dia bisa benar-benar sembuh dan bisa melupakan rasa sakit dari kenangan itu.
Di pagi hari.
Disa membuka matanya perlahan.
Ia menoleh pelan, menemukan Leon masih terlelap di sampingnya.
Nafasnya teratur, tenang, satu tangannya masih melingkar di pinggang Disa, seolah-olah memastikan ia tidak pergi ke mana-mana.
Disa tersenyum kecil, jantungnya terasa hangat. Ia mendekatkan diri, menyandarkan dahinya di dada Leon, mendengarkan detak jantung pria itu, detak yang terasa seperti janji bisu untuk selalu ada dan tak akan pernah meninggalkannya.
Disa mengusap matanya yang masih berat, lalu perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha agar tidak membangunkan Leon.
Dengan hati-hati, Disa melepas diri, lalu turun dari ranjang.
Suasana rumah masih hening. Saat membuka pintu kamar Yuka, pemandangan manis menyambutnya. Di tengah kamar, Yuka, bayi mungil mereka, tertidur lelap dalam tempat tidurnya. Nafasnya teratur, bibir mungilnya kadang-kadang bergerak seolah masih menyusu dalam mimpi.
Disa mendekat, memperbaiki selimut yang sedikit bergeser, lalu membelai pipi halus Yuka dengan penuh kasih. Ia tersenyum kecil, merasa hatinya kembali diisi dengan kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Setelah memastikan Yuka nyaman dan tidur nyenyak, Disa berbalik dan melangkah ke dapur.
Setelah itu, Disa mulai menyiapkan sarapan. Tangannya cepat mengambil beberapa butir telur, roti, dan mentega. Ia ingin membuat pagi ini spesial, sarapan sederhana tapi penuh kehangatan, sesuatu yang bisa mereka nikmati bersama-sama.
Saat wajan mulai menghangat dan aroma roti bakar memenuhi dapur, Disa mendengar langkah kaki pelan mendekat. Ia menoleh, mendapati Leon berdiri di pinggir pintu dapur, masih setengah mengantuk, rambutnya berantakan, tapi senyumnya langsung menghangatkan udara pagi itu.
“Kenapa nggak bangunin aku?” gumam Leon dengan suara serak khas baru bangun tidur.
Disa hanya tersenyum kecil sambil mengoleskan selai di atas roti. “Kamu kelihatan butuh tidur lebih banyak,” jawabnya lembut.
Leon berjalan mendekat, memeluk Disa dari belakang dengan gerakan malas namun penuh kasih. Kepalanya bersandar di bahu Disa, menarik napas panjang, seolah menghirup aroma Disa sekaligus aroma sarapan.
“Baunya enak,”katanya sambil memejamkan mata.
Disa tertawa pelan. “Itu cuma roti bakar,” ujarnya, mencoba berbalik tapi Leon malah mengeratkan pelukannya.
“Kalau dibuat kamu, pasti jadi lebih enak,” bisik Leon.
Disa merasakan pipinya menghangat, tapi ia membiarkan dirinya terbuai sejenak dalam pelukan itu. Sesuatu tentang pagi ini terasa begitu damai, begitu benar.
Suara kecil dari monitor bayi yang terpasang di sudut dapur terdengar samar, Yuka mulai terbangun. Leon dan Disa saling menatap dan tersenyum. Tanpa perlu kata-kata, mereka tahu apa yang harus dilakukan.
Leon mencium cepat pipi Disa, lalu melepaskan pelukannya. “Aku yang ambil Yuka,” katanya sambil melangkah menuju kamar bayi.
Disa menatap punggung Leon yang menjauh, ia melanjutkan sarapan, sambil menunggu Leon kembali, kali ini bertiga.