The Morning Sky After Pain

Shavrilla
Chapter #17

BAB 17 - Sebelum Kata Itu Diucapkan

Setelah makan siang sederhana di rumah, Disa dan Leon duduk santai di ruang tamu. Yuka sudah terlelap di kamarnya, ditemani lagu nina bobo yang mengalun pelan dari speaker kecil.

Disa membawa dua gelas teh hangat ke meja, lalu duduk di samping Leon yang sudah siap dengan ponselnya. Ia menggulung lengan bajunya ke siku, seolah siap memimpin misi penting.

“Oke, Mama Yuka,” kata Leon dengan gaya serius palsu. “Siap memulai perekrutan bibi pengasuh?”

Disa tertawa geli. “Siap, pak manager HRD.”

Mereka tertawa kecil sebelum Disa membuka kontak ponselnya. Ada dua nama baru: satu dari Rino, satu lagi dari Clara.

“Mulai dari yang mana dulu?” tanya Disa sambil melirik Leon.

Leon berpura-pura berpikir keras, menatap langit-langit seolah sedang menghitung rumus fisika. “Hmmm… mulai dari rekomendasi Rino dulu. Feelingku… yang dari Rino lebih… seru.”

Disa tertawa sambil mengetik pesan ke nomor yang diberikan Rino dan Clara, sebagai Leon.

Tidak butuh waktu lama, balasan masuk.

|Bibi Veni|

Halo, Pak Leon. Salam kenal. Saya bersedia membantu jaga bayi. Kapan mau ketemu?

Leon mengangguk puas. “Respons cepat. Kayaknya calon kuat nih.”

“Tenang, belum tentu,” Disa mengingatkan sambil tersenyum. “Kita cek dulu.”

Setelah itu, Disa membuka chat satu lagi, ke nomor rekomendasi dari Clara.

|Bibi Melia|

Halo juga, Pak Leon. Saya kerjaan sebelumnya jaga bayi kembar. Senang banget sama anak kecil. Bisa ketemu hari ini kalau mau.

Leon mengangkat alis, terkesan. “Wow. Bekas jaga bayi kembar? Itu level dewa.”

Disa tertawa. “Iya, kalau bisa menangani dua bayi sekaligus, satu bayi kaya Yuka mah ringan.”

Mereka saling berpandangan, lalu serempak tertawa. Ada rasa lega yang mengalir, akhirnya langkah kecil menuju keseimbangan mulai terasa nyata.

“Jadi… kita atur ketemuan sore ini aja, ya?” kata Disa sambil menulis catatan kecil di ponselnya.

Leon mengangguk. “Dua kandidat. Kita ngobrol santai aja. Tanya tentang pengalaman, apa yang mereka suka dari jaga anak, terus… mungkin sedikit tes improvisasi?”

Disa melirik curiga. “Tes improvisasi? Kaya gimana…?”

Leon tersenyum jahil. “Misal, kita pura-pura Yuka rewel, terus lihat reaksi mereka.”

Disa hampir menyemburkan tehnya. “Kamu niat banget!”

Leon tersenyum bangga. “Harus dong. Yuka butuh bibi level platinum.”

Mereka pun sibuk menyusun daftar pertanyaan iseng, mulai dari pertanyaan serius tentang metode tidur bayi, sampai pertanyaan random seperti “Pilih mainan mana yang lebih cocok untuk bayi galau”.

Suasana rumah terasa ringan, penuh semangat kecil yang manis.

Di kamarnya, Yuka bergumam kecil dalam tidurnya, seolah turut merestui misi besar orangtuanya hari ini.

Sore itu, sinar matahari mulai turun perlahan.

Disa merapikan bantal sofa dan membaringkan Yuka di bouncernya, Leon menyiapkan dua botol air mineral dan beberapa camilan di meja, semuanya siap untuk misi hari ini: ‘wawancara calon bibi pengasuh untuk Yuka.’

Bel pintu berbunyi.

Leon melirik ke arah Disa sambil membisik, “Pasang wajah serius.”

Disa hanya tersenyum. “Yang kamu pasang jangan malah muka mau ketawa.”

Mereka tertawa kecil sebelum membuka pintu.

Bibi Veni datang pertama. Wanita paruh baya bertubuh mungil itu memakai blus bunga-bunga mencolok dan membawa tas besar penuh mainan bayi. Langsung, suasana jadi… meriah.

“Selamat sore, Ibu Disa, Bapak Leon!” sapa Bibi Veni dengan suara teaterikal, membuka tangan lebar seolah mau peluk seluruh rumah.

“Selamat sore, Bibi. Silakan masuk,” kata Disa, menahan senyum.

Lihat selengkapnya