The Morning Sky After Pain

Shavrilla
Chapter #20

BAB 20 - Saat Takdir Menyerah Pada Cinta

Leon menghela napas sebelum membuka pembicaraan lagi. Suaranya terdengar rendah, seolah mengenang sesuatu yang sangat berarti.

“Saat di perpustakaan, aku sempat ngobrol sama Pak Arman,” kata Leon sambil tetap menggenggam tangan Disa. “Beliau bilang, kamu menempelkan catatan di buku-buku hukum yang aku baca...”

Disa tersenyum kecil, mengingat masa-masa itu.

“Aku mulai penasaran sekarang,” lanjut Leon, suaranya mengandung nada penasaran. “Dan katanya kamu izin untuk itu dengan alasan balas budi, balas budi untuk apa...?”

Disa tertawa kecil, mengalihkan pandangannya sejenak ke luar jendela sebelum kembali menatap Leon. Ada kilasan nostalgia yang manis di matanya.

“Kamu tahu, saat itu… saat kamu berpikir aku tertidur dengan matahari silau mengenai mataku. Saat itu aku bukan tertidur melainkan sedang berpikir, dan kamu datang menuruni tirai jendelanya dengan meninggalkan susu alpukat di mejaku tanpa catatan dan juga alasan.” Dengan ekspresi bahagia “saat kamu berjalan pergi, setelah itu tanpa sadar tatapanku hanya tertuju padamu, saat aku melihatmu menelusuri rak buku-buku hukum...”

Dengan tatapan terpesona, “saat itu… aku seperti duduk di pohon beringin yang besar dan tenang, rasanya hatiku sangat tenang ketika melihatmu tersenyum, bahkan walaupun itu senyuman kecil dengan tangan yang menulusuri judul-judul buku di rak itu.”

Disa terdiam sejenak mengingat wajah Leon saat itu sambil menatap Leon yang kini berada di depannya.

“Sungguh sangat tampan”. Mendekatkan tangan genggaman Leon ke pipinya dengan menatap penuh cinta.

Leon menatapnya sekilas, matanya melembut penuh kasih.

Suara Leon terdengar serak, dipenuhi emosi yang tak bisa ia sembunyikan, dan tersenyum tipis, lalu dengan penuh perasaan, mengangkat tangan Disa yang masih tergenggam erat, menempelkannya di dadanya yang berdegup cepat.

“Jantung ini… akan selalu berdetak untukmu, Disa” bisiknya, seolah memberitahu bahwa ia tidak akan pernah meninggalkannya.

Disa mengangguk dengan melepaskan genggaman, dan mengusap rambut Leon lembut. “Kamu adalah cahaya hidupku sayang, fokuslah menyetir sekarang”.

Leon melanjutkan, nadanya kini lebih serius namun tetap hangat, “sebelum makan siang, kita temui Lena dan orang tuaku dulu, ya? Aku ingin mereka tahu… dan ingin memberitahunya jika aku akan hidup tanpa penyesalan, dengan kamu di sisiku”.

Disa terdiam sejenak, matanya mulai berkaca-kaca mendengar kata ‘Lena’ hatinya berdebar penuh emosi.

Disa mengangguk tenang dengan senyum tulus diwajahnya.

Mobil berhenti perlahan di sebuah lahan hijau yang tenang: ‘Peacewood Memorial Park’.

Udara siang hari terasa hangat dan tiupan angin sedikit membawa rasa dingin, seolah ikut meresapi suasana yang akan mereka jalani.

Leon turun lebih dulu, lalu berjalan memutar, membukakan pintu untuk Disa. Ia menggenggam tangan istrinya erat, memberikan kehangatan lewat sentuhan sederhana itu. Tanpa banyak kata, mereka melangkah bersama menuju dua pusara yang berdiri berdampingan, yaitu makam orangtua Leon.

Leon berdiri perlahan di hadapan batu nisan itu. Disa berdiri di sampingnya, diam, memberi ruang bagi Leon untuk berbicara. Suara Leon terdengar berat, sedikit bergetar.

“Ayah… Ibu…” ucapnya pelan. “Kalian mengenalnya kan, Disa… sahabat Lena dulu. Sekarang dia sudah menjadi istriku.”

Ia menoleh sejenak ke arah Disa, menatapnya penuh kasih, lalu kembali memandang batu nisan di depannya.

“Aku janji akan mencintai Disa… seumur hidupku. Tolong restui kami,” bisiknya, seolah berbicara langsung ke hati orangtuanya.

Sejenak, angin bertiup pelan, menyapu rumput liar di sekitar makam. Leon menunduk, kedua tangannya mengepal.

“Aku juga minta maaf… karena tidak bisa menepati semua janji yang dulu pernah aku buat,” lanjutnya lirih, suaranya pecah di akhir kalimat.

Disa diam-diam mengusap punggung suaminya itu dengan penuh pengertian. Tak ada kata-kata, hanya kehadiran yang menjadi kekuatan.

Setelah beberapa saat, mereka berdiri lagi dan berjalan perlahan ke makam lain yang hanya beberapa langkah dari sana. Batu nisan sederhana bertuliskan nama Lena Reinhart.

“Aku datang, adikku…” suaranya terdengar lebih rapuh.

Ia menunduk dalam-dalam, seolah menyembunyikan kesedihannya.

“Maafkan Kakak… karena tidak bisa menjadi Kakak yang baik untukmu,” katanya, napasnya berat. “Maaf aku nggak selalu ada… dan membiarkanmu merasa sendirian.”

Lihat selengkapnya