Apa yang kamu inginkan? Ingin jadi satu lagi orang yang memaksaku hari ini?” tanya Disa lelah, tapi tanpa kebencian.
Aegis menggeleng, langkahnya mendekat perlahan.
“Aku… seharusnya dulu berkata jujur. Tapi aku malah diam, membiarkanmu menanggung semuanya sendiri. Maafkan aku, Disa.”
Disa menatap Kakaknya, “Kamu tidak perlu minta maaf, semua itu sudah berlalu. Bahkan jika kamu mengatakannya dengan jujur itu tidak akan merubah fakta apapun.”
Aegis menunduk, “aku seorang pengecut, aku bukan Kakak yang baik. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri maka dari itu saat aku sudah mewarisi Eltera Medical Group. Aku akan berdiri disisimu apapun yang terjadi Disa.”
Ada keheningan sesaat.
Disa memegang tangan Kakaknya, “Kakak, pasti selama ini kamu terus merasa bersalah. Terima kasih, tapi itu tidak perlu. Aku bisa melindungi diriku sendiri” ucap Disa tersenyum tulus.
Disa melangkah ke mobil, meninggalkan Aegis berdiri sendiri di antara cahaya lampu taman di halaman.
Seminggu kemudian.
Restoran Privé “Soliane du Vire” – Distrik Cité Aurelle, Ibu Kota Elria
Sinar lampu gantung memantul di permukaan meja oval berlapis marmer. Di ruang privat lantai dua yang senyap dan berkelas itu, dua keluarga duduk berhadapan seperti sedang memainkan catur kekuasaan.
Di satu sisi: Rhodes Moreau Rivera, sang Perdana Menteri Agung, duduk berdampingan dengan istrinya, Veyla, dan putra mereka, Aegis.
Di sisi lain: Grey Valdemar, Ketua Dewan Hukum Agung Tertinggi, bersama istrinya Isora dan putra mereka, Cedrik.
Disa duduk di antara kedua keluarga itu, mengenakan setelan dress hitam minimalis dan terlihat elegan.
Rhodes dan Grey sedang terlibat diskusi tentang “transisi kewenangan sipil” dan “reposisi yudisial dalam kabinet reformasi.” Tapi Disa tidak tertarik.
Disa hanya diam, memotong steak au poivre di hadapannya perlahan. Ia bahkan tak sekalipun menoleh ke Cedrik.
Di sisi lain, Cedrik mencuri pandang. Wajahnya tenang, tapi tatapannya menyimpan ingatan.
“Kamu… mungkin nggak ingat,” kata Cedrik tiba-tiba, nadanya ringan.
Disa tidak menoleh. “Harusnya aku ingat apa?” jawab Disa netral sambil memakan steak.
“Kamu kuliah di Ravennelle, jurusan Desain Mode, kan?” tanyanya pelan.
“Benar,” jawab Disa datar, tanpa memalingkan wajah dari piringnya.
Cedrik diam sejenak mencari topik.
“Pernah ke restoran ini sebelumnya?” tanyanya pelan ketika percakapan politik mereda sesaat.
“Nggak, tapi tempat ini rasanya seperti dirancang untuk membuat seseorang merasa sedang membuat keputusan penting,” jawab Disa ringan, lalu meminum air putih.
Cedrik tertawa kecil. “Dan kita sedang membuat keputusan penting, kan?”
Disa menatapnya. “Aku belum memutuskan apa-apa.”
Kata-kata itu tajam tapi tanpa nada marah. Cedrik mengangguk, menerima.
Cedrik berusaha kembali mengganti topik.
“Aku ingat portofoliomu kelihatan hebat. Aku pernah lihat desainmu waktu ada pameran kolaborasi IRSM dan akademi hukum. Baju putih dengan detail pita geometrik di bahu kanan?” tanya Cedrik pelan.
Disa melihat sekilas. “Kamu menghadiri pameran kampus seni dan mode?”
Cedrik menahan senyum. “Sebenarnya… aku nggak sengaja lewat. Temanku salah info tempat makan siang, dan aku nyasar ke aula tempat kalian presentasi.”