The Morning Sky After Pain

Shavrilla
Chapter #29

BAB 29 - Lahir Tanpa Pilihan, Mencintai Tanpa Kuasa

Suara Ayahnya tenang, namun mengandung kepahitan dan sinisme. “Jangan pura-pura seolah kamu tak tahu sejak awal. Perjanjian kita sudah jelas. Kamu setuju, kan?”

Isora menggigit bibir, suaranya bergetar penuh emosi, “Setuju? Kamu tahu aku mencintaimu. Tapi kamu pakai itu sebagai alasan… hanya untuk rahimku yang disewa, gestational carrier dalam kontrak keluarga Valdemar!” Air matanya berusaha ditahan, namun nada suaranya pecah.

“Setiap kali aku melihat Cedrik, aku bertanya-tanya: dia anakku atau anak wanita itu?!”

“Aku yang menanggung sakit selama sembilan bulan dan melahirkannya…”

Grey menarik napas panjang, melangkah pelan mendekat tanpa menyentuhnya.

“Kamu mengandung pewaris Valdemar, Isora. Kamu mendapat kehormatan yang tak semua wanita di dunia ini dapatkan.” Suaranya lembut tapi berat.

Cedrik berbalik, melangkah kembali ke kamarnya, menolak mendengar lebih jauh kepahitan malam itu.

Sementara itu, di ruang yang sama, Isora berdiri dengan air mata mengalir dan amarah yang membara.

“Kehormatan? Kamu bahkan tak pernah menyentuhku lagi setelah itu. Kamu menjauh seperti aku kutukan hidupmu. Tapi setiap malam, aku lihat kamu menatap potret wanita itu di ruang kerjamu dengan penuh kerinduan!”

Grey menjawab dingin, “Harusnya kamu bersyukur. Aku menikahimu, bukan dia.”

Isora mengangkat tangan, hampir menampar, tapi rasa malu dan harga dirinya menghentikannya.

Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum getir. “Kalau Cedrik tahu bahwa dia lahir dari cinta yang bahkan tidak menginginkannya… dia pasti akan hancur.”

Grey hanya menatap Isora dalam diam, mata penuh dingin seperti menghadapi musuh yang tahu terlalu banyak rahasia.

Di kamarnya, Cedrik memejamkan mata. Malam itu, keyakinannya bahwa cinta itu suci dan murni mulai retak. Dalam benaknya, cinta berubah menjadi alat tawar-menawar, pernikahan menjadi permainan strategi, dan kasih sayang hanyalah jeda rapuh sebelum pengkhianatan berikutnya.

Namun, semua keraguan itu mulai goyah ketika ia bertemu Disa, awal dari kebingungan dan kesalahannya sendiri.

Café Lélant, Sebrang Kampus IRSM, 2020

Pagi itu berjalan biasa seperti pagi-pagi lainnya. Uap dingin memburamkan kaca jendela kafe, sementara Cedrik duduk di sudut dengan laptop terbuka dan secangkir latte hangat di tangan. Ia sedang menunggu seorang teman alumni fakultas hukum yang mengajaknya makan siang, tapi lokasi yang diberitahukan teman itu salah alamat.

Kafe itu sepi, hanya dihuni mahasiswa yang masih setengah terjaga setelah begadang. 

Cedrik sibuk mengecek detail kesesuaian hukum dalam dakwaan.

BRUKK!

Tiba-tiba seseorang menabraknya dari samping kanan. Lengan Cedrik terkejut, dan latte panas tumpah ke jas serta kemejanya. Tablet di meja hampir jatuh.

“Maaf!”

Sebuah suara muda, ringan, penuh kepanikan.

Seorang gadis dengan rambut panjang, sedang berbicara di telepon di telinganya. Ia memakai atasan rajut hitam lengan panjang yang membalut tubuhnya dengan anggun namun tegas. Bahannya pas, memperlihatkan siluet ramping tanpa mencolok, dengan leher tinggi yang tertutup rapi, memberi kesan tertata.

Rok mini bermotif houndstooth hitam-putih menambah kesan klasik yang hidup di tubuhnya, menunjukkan keberanian halus tanpa teriak. Kainnya kaku, jatuh tepat dan menciptakan kontras indah dengan rajut di atasnya.

Sebuah tas kecil berantai perak menggantung anggun di bahunya, bergoyang pelan saat ia berjalan melewati ruangan bak bayangan yang tak terkejar.

Ia sempat menunduk sejenak, tatapannya singkat dan tak sempat mengenali wajah Cedrik, lalu berlari keluar dengan tergesa-gesa.

Hanya kata “maaf” yang tertinggal bersama aroma parfumnya yang samar dan noda latte di dada Cedrik.

Cedrik tetap diam. Tak menggerakkan tubuh, tak mengeluh, bahkan tak menghela napas kecewa.

Lihat selengkapnya