The Morning Sky After Pain

Shavrilla
Chapter #30

BAB 30 - Cara yang Salah untuk Bertahan

Cedrik menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Disa?” gumamnya, setengah tak percaya.

Renna mengangguk pelan. “Nyonya muda tak bilang banyak. Hanya menunggu, diam. Lalu saat saya memberikan minuman, nyonya sudah tidak ada di kamar Tuan.”

Cedrik terdiam. Sesuatu terasa sakit di dadanya. Sudah tujuh hari sejak pertengkaran itu. Tujuh hari ia menghindari Disa, bukan karena benci, tapi karena takut… bahwa jika ia melihat mata Disa lagi, ia akan goyah. Bahwa ia akan menyerah pada keinginan perempuan itu… dan menghancurkan semuanya yang telah Ayahnya bangun.

“Apakah dia bilang akan kembali?” tanya Cedrik, suaranya nyaris tak terdengar.

Renna menggeleng. “Tidak, Tuan. Saya tidak sempat melihatnya pergi.”

Cedrik memejamkan mata sejenak. Dada kirinya terasa seperti dihantam sesuatu yang berat dan lambat. Ia menghela napas, lalu berbalik naik ke lantai atas menuju kamarnya.

Pintu kamar terbuka perlahan. Cedrik melangkah masuk, jasnya di lempar sembarang ke kasur lalu membuka semua kancing kemejanya. Raut wajahnya lelah, ada gurat mabuk ringan yang tertinggal namun matanya masih sadar sepenuhnya. Ia mengusap pelipis, hendak menyalakan lampu utama, tapi berhenti saat melihat sesuatu di ujung penglihatannya.

Di sisi kiri kamar, di sofa panjang dekat jendela, seseorang tertidur dengan tubuh meringkuk setengah duduk. Rambut panjangnya menjuntai lembut, dan di pangkuannya ada selembar map tipis yang terbuka separuh.

Saat Cedrik menyalakan lampu, terlihat Disa mengenakan dress putih gading yang sederhana namun memikat. Potongannya mengikuti lekuk tubuh dengan elegan, dengan kerah kemeja yang memperlihatkan leher indahnya dan lengan yang digulung hingga siku. Bahan satin lembutnya memantulkan cahaya, mempertegas aura tenang dan dewasa yang ia bawa. Di bagian pinggang, lilitan kain membentuk siluet halus cukup untuk membuat siapa pun menahan napas. Cedrik pun nyaris membeku saat melihatnya.

Cedrik berlutut perlahan di depannya, menatap wajah yang selama tujuh hari ini ia hindari.

Kepalanya tertunduk, dan suara napasnya dalam.

“Kenapa kamu masih di sini…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Tangannya nyaris ingin membelai pipi Disa, namun ia mengurungkan niat itu mengepal pelan di pangkuannya.

Tak butuh waktu lama, Disa bergerak sedikit, kelopak matanya mulai terbuka.

Cedrik mundur setengah langkah.

“Kak Cedrik…?” suara Disa masih serak, lemah karena bangun mendadak.

Lanjutnya, “kamu mabuk?”

Cedrik tak menjawab dan melangkah menuju lemari pakaian, berusaha menjauh dari percakapan. Tapi saat ia berbalik, Disa mengucapkan sesuatu yang membuat darahnya seolah membeku—kata-kata yang selama ini paling ia takuti dan coba hindari.

“Kak Cedrik… mari kita batalkan pertunangan ini,” ucap Disa lirih, bangun dari posisi berbaring dan perlahan duduk di sofa, lalu meletakkan map di atas meja dengan tatapan kosong.

Kata-kata itu menghantam seperti cambuk. Tapi ia tak boleh terlihat goyah—tidak di hadapan Disa, dan terutama, tidak di hadapan bayang-bayang sang Ayah yang seolah masih mengawasi dari balik dinding rumah ini.

Cedrik menarik napas panjang, mencoba menata pikirannya. Tubuhnya bergoyang pelan, dan untuk sesaat ia menutup mata, berusaha menstabilkan dunia yang terasa sedikit miring. Kepalanya berdenyut perlahan—entah karena alkohol, atau karena kata-kata Disa barusan.

Ia membuka mata perlahan, lalu berbalik menatap Disa. Pandangannya sedikit buram, tapi suaranya tetap dingin.

“Kamu pikir kamu bisa keluar begitu saja dari kesepakatan pertunangan ini?” ucap Cedrik perlahan, datar.

Cedrik melangkah mendekat.

“Aku sudah bilang berkali-kali, aku mencintaimu.”

Disa berdiri dari sofa dengan gerakan cepat, tubuhnya sedikit mundur saat Cedrik semakin dekat.

“Kamu nggak punya hak untuk menahanku,” ucapnya, matanya tajam tapi suaranya bergetar.

“Tapi aku mencintaimu,” ucap Cedrik.

Nadanya terlalu datar untuk disebut lembut, terlalu lambat untuk disebut tulus—seolah kata itu asing bagi lidahnya.

“Kau satu-satunya yang membuatku merasa seperti manusia.”

Disa menahan napas. Ada sesuatu dalam suara Cedrik yang membuat dadanya nyeri—bukan karena cinta, tapi karena luka yang tak pernah benar-benar ia pahami.

Tapi Cedrik sudah terlalu dekat.

Tangannya meraih pinggang Disa—lembut, tapi cukup tegas untuk membuatnya tak bisa mundur.

Ia menunduk perlahan, membenamkan wajahnya di pundak Disa.

“Tolong cintai aku, Disa,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Suaranya rapuh, seperti seseorang yang sedang tenggelam dan meraih satu-satunya pelampung yang tersisa.

“Kak Cedrik, jangan lakukan hal bodoh,” suara Disa bergetar, matanya mulai dipenuhi ketakutan.

“Kalau kamu tinggal malam ini… kita bisa kembali ke titik awal,” ujar Cedrik cepat, terbawa emosi. “Aku akan membuat semuanya masuk akal, aku janji.”

Ia menatap mata Disa, seolah mencari secercah harapan. Tapi yang ia temukan hanya dinding—dan itu menghancurkannya.

Dan di saat itulah, Cedrik kehilangan kendali.

Ia menarik Disa lebih dekat. Satu lengannya melingkari pinggangnya, sementara tangan satunya menekan sisi wajah Disa, memaksa arah pandang mereka bertemu.

Lalu bibirnya bergerak cepat—mencium paksa, tanpa izin, tanpa kelembutan. Hanya sisa rasa takut dan putus asa yang membungkus tindakannya.

Disa memukul-mukul dadanya, panik dan marah.

“Hahh—apa kamu sudah gila, Kak?!” serunya, berhasil menggigit bibir Cedrik cukup keras hingga ia tersentak mundur.

Lihat selengkapnya