Pria itu tertidur sepanjang jalan, sedangkan taksi terus melaju selama kurang lebih 2 jam. Distrik Stanley memang terletak di daerah terpencil, jauh dari batas kota. Lalu, mengapa wanita itu pergi ke tempat sejauh itu bersama putra semata wayangnya yang baru berusia 2 tahun? Tentu saja demi pekerjaan.
Ia baru saja berkonsultasi dengan ahli hukum untuk membantunya menangani sebuah kasus besar yang sudah bertahun-tahun tak usai. Wanita itu adalah seorang pengacara yang bekerja di wilayah terpencil. Gajinya tak besar seperti kebanyakan pengacara di kota besar, karna sejauh ini kliennya hanyalah orang-orang dari kalangan menengah ke bawah.
Tentu saja baginya menjadi pengacara bukanlah sarana untuk memperkaya diri. Ia hanya senang berjuang bersama dengan para kliennya. Ia berjuang untuk tetap hidup dan merawat putranya, sedangkan para klien pun juga berjuang menuntut keadilan yang menjadi hak mereka.
Sesampainya di halte, wanita itu turun, hanya tinggal 200 meter lagi menuju kediaman sederhananya. Ia turun dari taksi dan merogoh uang yang ia simpan di salah satu saku jasnya.
"Terima kasih," ucapnya pada supir taksi sembari menyodorkan beberapa lembar uang senilai 10 dollar. Wanita itu melirik ke arah pria misterius yang masih memejamkan matanya di bangku belakang.
"Orang itu sepertinya hanya menumpang gratis, sebaiknya anda segera turunkan dia di jalan nanti," ujar wanita itu memberikan saran.
"Nanti pasti aku turunkan, tenang saja nona," balas si supir taksi yang kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya.
Wanita itu kemudian berbalik dan mulai berjalan memasuki gang sepi yang menuju ke rumahnya. Ia menengok pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian ia berdecih.
"Padahal baru kemarin aku membawa ini ke tukang service," gumamnya kesal. Arlojinya tak berdenting, padahal tadi siang masih baik-baik saja.
Sang putra juga tertidur selama perjalanan. Anehnya sang putra tak terganggu dengan kehadiran sosok pria menyeramkan yang mukanya bonyok selama perjalanan dengan taksi tadi. Untuk sesaat wanita itu juga merasa keheranan, bahkan ia yang sudah dewasa saja merasa ngeri dengan pria tak jelas itu.
Ketika melewati perempatan, langkahnya terhenti mendapati 2 orang pria separuh baya yang menatap lurus ke arahnya. Tatapan lapar itu membuat wanita itu melangkah mundur dan mencoba mencari jalan lain. Tak masalah jika ia harus berjalan memutar asal tidak melewati 2 preman itu.
Namun, pergerakannya mungkin sudah dibaca oleh preman-preman itu. Mereka dengan cepat menghadang langkah wanita itu.
"Serahkan apa yang kau punya!"
Salah satu dari mereka menodongkan sebilah pisau. Wanita itu meneguk saliva, ia mengelus bahu sang putra yang terlelap agar tak terbangun. Tapi hal itu justru menarik perhatian si preman. Dengan paksa, ia merebut balita itu dari gendongan sang ibu.
"Ja-jangan!" seru wanita itu bersamaan dengan sang putra yang terbangun dan menangis kencang.