The Motion of Puppets

Mizan Publishing
Chapter #1

Bagian Satu - 1

Dia jatuh cinta pada sebuah boneka.

Karena boneka itu rupawan, langka, dan tak mungkin dimiliki. Setiap kali melewati jendela etalase berdebu di muka toko Quatre Mains yang mungil itu, dia mencari-cari si boneka. Ditopang perancah tak tampak, boneka itu ber­ diri di bawah tudung kaca. Matanya terbuat dari dua lubang­ hitam yang dibor ke secuil wajah. Kepalanya yang plontos­ dihubungkan dengan engsel kayu ke badannya, yang di­ pahat dari sebatang kayu poplar yang warnanya mengge­lap­ setelah­ berabad-abad. Keempat tungkainya yang disam­­bung-sambung dengan kasar dilubangi di bagian kaki dan tangan. Ada simpul tali tua dan usang yang mencuat dari puncak­ kepalanya. Meskipun lubang-lubang itu sudah lama tak dipasangi tali, boneka itu jelas-jelas boneka tali primitif pahatan perajin suku Inuit asli zaman dahulu, kayunya kini dihiasi retakan-retakan di sepanjang serat kayu. Parut tipis melingkari dada si boneka, seolah dulu sekali pernah ada yang tidak jadi membelahnya. Boneka itu tak lebih tinggi­ daripada boneka masa kecil Kay, hanya tiga puluh sentimeter lebih sedikit­. Pria dari masa lain yang menunggu diam-diam sampai ada orang membebaskannya dari penjara kacanya. Debu tipis menyelimuti lengkungan tudung, dan pada label kertas bebercak kecokelatan yang ditempel di bawah tudung tertulis­ dengan huruf-huruf kaligrafi yang sudah memudar: poupée ancienne.

 Dia-lah tuan semua mainan lain di jendela itu, yang semuanya sudah seakrab teman lama bagi Kay. Enam bo­ neka mengapit si pria dalam tudung kaca, tiga di setiap sisi. Wajah porselen tak berglasir mereka, yang dihiasi senyum­ kaku dan rona pipi berwarna terang, tampak bersinar di bawah­ sinar matahari, sementara mata mereka menatap lurus ke depan ke satu titik abadi. Sudah hampir seabad tidak­ dimainkan, boneka-boneka itu peninggalan dari era Victoria dan Edward, yang didandani dengan gaun brokat tebal dan jas pelesir serta rambut tebal indah di atas kepala. Dua di antaranya mengacungkan payung terlipat yang ujungnya setajam tombak. Ada pula beruang cokelat yang memakai kopiah bertali kucir dan rompi dengan bordiran benang emas. Ia bertengger di atas sepeda besi kuno, bulu-bulu di bagian siku dan lututnya menipis. Sebuah boneka tangan terkulai di dekat si beruang, anjing bertampang se­ dih yang dikenali Kay dari tahun-tahun pertamanya me­­ nonton acara televisi anak-anak, telinganya menjuntai sampai­ ke rak bawah. Ada boneka Punch dan Judy yang mengerikan,­ dengan muka bercat cerah yang sudah luntur terjemur­ matahari dan seringai seram di mulut. Mr. Punch memiringkan­ katapel kayu di tangannya, selalu siap me­ mukul istrinya, dan dari sudut tertentu, sang istri tampak mengangkat tangan untuk menangkis. Di sana-sini tampak pernak­-pernik lain di sudut gelap: sepasukan serdadu ti­ mah mungil bermantel merah tua dan bertopi bulu be­ ruang, sepasang bola mata kaca dengan selaput pelangi dari batu lapis lazuli, trompet Prancis berukuran setengah asli­ nya dengan lapisan film hijau indah yang berkelak-kelok meliputi semua lekuk dan lengkung di permukaan ku­ ningan, dan ular kayu rumit yang siap memagut kaki yang berjalan tersandung-sandung di rerumputan. Di belakang pernak­-pernik campur aduk tersebut, empat boneka kuda tali hitam tergantung-gantung dari tali-tali tambang tebal, yang ujungnya lenyap di kasau-kasau atap. Di satu sudut jendela, sarang laba-laba berselimut debu membentang dari dinding ke langit-langit. Dua sisa-sisa bangkai lebah madu tergolek di bawahnya.

 Dilihat dari sudut mana pun, Quatre Mains sudah tutup dan ditinggalkan. Jendela etalasenya tak pernah berubah,­ dan satu barang pun tak bergeser dari tempatnya sejak Kay dan Theo datang ke Québec City dan berjalan kaki ke la­ tihan pertama Kay. Tunggu! Lucu, ya, toko ini, begitu­ ka­ tanya­ saat itu. Tak pernah ada orang masuk atau keluar­. Pintunya­ selalu terkunci. Tak ada lampu menyala pada ma­ lam hari atau sore-sore saat awan-awan hujan bergulung datang dan menyemprotkan butiran hujan besar ke muka toko-toko tua di sepanjang jalan itu. Bergairah dengan jiwa petualangan khas pengantin baru, Theo pernah meng­­ usulkan agar mereka menyusup ke dalam toko untuk men­ jelajahi ruang-ruang tersembunyinya. Karena Theo punya lebih banyak waktu untuk mengeluyur dari pekerjaan­ so­ liter­nya,­ dia tahu beberapa toko barang antik dan butik benda langka di sepanjang pinggiran kota tua Vieux-Québec ini mengalami masa paceklik dan akhirnya bangkrut­. Tapi, penafsiran suramnya atas keadaan toko itu tidak menghen­­ tikan khayalan Kay. Dia ingin menggenggam bone­ka­ tali itu. Ingin mengambilnya. Tidak ada orang lain di jalan, jadi Kay membungkuk ke depan untuk melihat lebih jelas dan menempelkan kedua tangan ke jendela yang kotor. Cahaya hanya menembus sejauh itu, tidak lebih. Kay hanya bisa melihat bentuk-bentuk dan bayangan-bayangan, yang men­ janjikan lebih banyak hal untuk dilihat. Napas panasnya menimbulkan kabut di kaca, dan saat melihat perbuatannya, Kay mencengkeram­ hem lengan bajunya dan mengelap uap tadi. Dengan amat samar, pria kayu dalam tudung kaca tadi menoleh untuk­ mengamatinya, tapi Kay tidak melihatnya karena dia sudah bergegas pergi, lagi-lagi terlambat.

***

 Kay mengitari belakang meja dan membungkuk di atas Theo. Dia mengalungkan lengan rampingnya ke sekeliling bahu sang suami dan mengatupkan kedua tangan di dada pria itu, menekannya kuat-kuat sampai Theo mengangkat tangan­ ke arahnya. Kay mengecup ringan pipi Theo, rambut panjangnya menjatuhi mata pria itu, membuat Theo merasa terperangkap olehnya sampai dia menggeser tangan. Dan Kay menegakkan tubuh lalu pergi, selalu terlambat, berpa­ mitan­ panjang-lebar sembari meninggalkan ruangan di­ susul pintu yang terbanting menutup.

 Keheningan setelah Kay pergi lebih mengganggu Theo daripada suara berisik wanita itu saat bersiap-siap pergi. Sudah sejam Theo berusaha mengerjakan terjemahannya, membedah­ masalah yang semalam belum terpecahkan di benaknya­. Dia ingin lekas mencari solusi, namun me­nung­­ gu, menunggu sampai dia sendirian di apartemen agar bisa berkonsentrasi­. Dia tak pernah mulai bekerja saat Kay masih ada, tidak ingin melewatkan peluang mengobrol sejenak dengan istrinya saat wanita itu berpakaian, atau berlama-lama menyantap­ telur dan roti panggang yang me­ reka nikmati pukul tiga sore. Hampir setiap hari, Kay se­ pertinya­ tak menyadari bahwa Theo bimbang karena dia dan bahwa Theo mencurahkan seluruh perha­tian­ untuk­ nya, karena Kay sibuk memikirkan pekerjaannya sendiri,­ mengantisipasi­ gerakan-gerakan yang harus dia lakukan­ selama­ pertunjukan. Kay meregangkan tungkai dan mem­ bengkokkan tubuh sementara Theo menonton dari kur­ si, terpesona dengan keanggunan sederhana Kay, sambil­ meneliti satu frasa dalam pikirannya, mot juste, bunyi dan makna bahasa Prancis yang sedang berusaha diterjemah­­ kannya­ ke dalam bahasa Inggris. Pikirannya terbagi dua pada saat bersamaan, bersama dan tidak bersama Kay.

 Saat baru datang ke kota ini, mereka berusaha sesering mungkin bersama-sama menjelajahi bagian kota tua Prancis tersebut. Hampir setiap sore, Theo menemani Kay seperti pemuda kasmaran, meninggalkan apartemen mereka di Dalhousie dan berjalan kaki ke gudang tempat kelompok sirkus berlatih. Theo akan duduk ditemani kopi dan koran dan menonton pertunjukan, minggu demi minggu. Para pemain bertemu di sana setiap sore untuk membahas setiap perubahan pada pertunjukan, lalu keluar ke pentas ruang terbuka mereka. Lalu, begitu rangkaian pertunjukan di­ mulai, Theo bergabung dengan rombongan pengunjung teater dadakan itu, yang didirikan untuk musim itu di ta­ nah kosong di bawah jalan layang. Kelihatannya sangat menga­gumkan,­ panggung tingginya dikelilingi pagar dan perancah serta lampu busur dan lampu sorot. Tali-temali bergelantungan dari rangka pembatas, dan para pemain trapeze menghibur penonton dengan berayun ke langit malam. Rumah-rumah mobil kecil dijadikan kamar ganti, dan di belakang alun-alun berdiri pusat kontrol untuk efek khusus. Sebagian besar penonton harus berdiri untuk me­ nonton­ pertunjukan—seperti para penonton kelas kambing di Shakespeare's Globe Theatre—tapi ada dua kursi luar ruangan­ portabel untuk tamu khusus dan area belakang panggung kecil yang sering kali disesaki para penampil yang keluar-masuk. Di sanalah Theo menonton dari pinggir ma­ lam demi malam, cemas selagi Kay tampil, sampai akhirnya Kay membebaskannya dari tugas itu.

 "Kau harus bekerja," kata Kay saat itu. "Kau tak perlu kemari setiap hari. Kau bakal bosan. Bosan denganku—”

 "Tidak akan," jawab Theo.

Lihat selengkapnya