Theo terbangun sendirian di ranjang. Selimutnya sudah jatuh ke lantai entah kapan semalam, seprainya terbelit menjadi simpul lembap di kakinya. Sejenak dia mengira Kay bangun lebih pagi karena tidurnya yang gelisah, tapi bantal wanita itu masih gembung dan belum tersentuh. Atau mungkin Kay pulang larut, dan tidur di sofa ruang tamu agar tak membangunkannya. Kepala Theo berdenyut-denyut. Sambil mengusap alis dengan ujung jari, dia mengingat-ingat kembali peristiwa malam sebelumnya, perutnya ma sih begah karena bir dan sepiring poutine semalam. Dia bermimpi tentang Muybridge yang berpacu melintasi San Fransisco untuk mengejar feri terakhir, mengendarai ke reta melalui bukit-bukit berangin pada malam buta ke ka bin tempat istrinya menginap bersama kekasih gelapnya. Hal terakhir yang diingat Theo dari mimpi itu adalah si fotografer mengetuk pintu depan, dengan pistol di tangan.
“Kay,” serunya, tapi tidak ada jawaban. Dia bangun dengan susah payah dan berjalan tersandung-sandung keluar kamar tidur, memanggil-manggil Kay di kamar-kamar kosong. Is trinya tidak tidur di sofa. Kay belum pulang semalam, atau mungkin dia bangun pagi-pagi dan keluar membeli dua gelas kopi dan kue-kue kesukaan Theo dari toko di ujung blok. Sembari menguap lebar-lebar, Theo asal-asalan membolak-balik pekerjaannya semalam, perhatiannya setengah tertuju ke ruang depan, menunggu suara yang menandakan kem balinya Kay. Denting lift, langkah kaki di bordes, gemerin cing kunci di lubang kunci. Memandang halaman kosong tak mampu sungguh-sungguh mengalihkan dia dari kegeli sahannya, jadi dia berdiri tanpa menulis sepatah kata pun. Dia berjalan dari ruangan ke ruangan, membuka tirai agar cahaya bisa masuk, mencari-cari tempat dia terakhir me naruh ponsel. Telepon singkat ke nomor Kay akan menye lesaikan seluruh misteri. Terkekeh mengingat hal itu, dia akhirnya menemukan benda itu di balik bantal sofa. Dia menunggu di sana semalam sebelum tertidur di depan film hitam-putih kuno dan pasti telah meninggalkan ponselnya saat ke kamar kecil dalam keadaan setengah tidur. Benar saja, Kay mengiriminya SMS: Pulang larut. Tak usah menunggu. Tapi saat itu Theo sudah lama menunggunya, dan baru de ngan enggan naik ke tempat tidur sendirian sekitar tengah malam. Dia lalu memencet nomor Kay.
Saat panggilannya langsung masuk ke pesan suara, dia memutuskan sambungan tanpa meninggalkan pesan dan mengetik serangkaian SMS darurat berturut-turut:
Di mana kau?
Pulangkah kau semalam?
Telepon aku.
Tak ada jawaban. Theo mengutuk ponsel dan semua teknologi karena tidak mampu memberinya jawaban ins tan. Entah Kay lupa menyalakan ponsel atau baterenya ha bis entah di mana dan perlu diisi daya kembali. Ini persis saat mereka berkencan dulu dan Kay tidak datang tanpa pemberitahuan. Dia bisa saja menelepon dan menjelaskan, dan Theo pasti mengerti. Sifat rahasia-rahasiaan Kay nyaris merusak semuanya, dan sekarang Theo merasakan keke salan campur kecemasan yang mengganduli perutnya se perti batu. Tak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu, mandi, membuat sarapan, dan menyibukkan diri.
Sambil menggosok-gosok janggut yang baru tumbuh, Theo memikirkan Muybridge dan kumis kelabu ala abad ke-19-nya yang luar biasa. Tentu saja, Muybridge menikah pada usia lanjut, dan istrinya, meskipun sudah pernah menikah dan bercerai, jauh lebih muda. Pasti wanita itu teringat selisih usia tersebut setiap kali melihat janggut putih Muybridge. Mungkin karena itulah dia berselingkuh, mencari gairah dan kesenangan yang tidak dapat diberikan si pria tua. Ke cemasan yang sama kini menghantui Theo. Meskipun usia nya hanya sepuluh tahun lebih tua daripada Kay, tetap saja. Kay seharusnya lebih bertanggung jawab, seharusnya tahu Theo akan cemas, tapi Theo bisa mendengarnya tertawa jika sampai di rumah nanti. Nanti kau bisulan, begitu mungkin ledek Kay. Kau terlalu pencemas. Aku cuma pergi membeli croissant.
Tapi Kay belum kembali setelah dia mandi dan berpa kaian. Wanita itu juga tidak kembali saat kopi sudah meng geluguk di mesin pembuat kopi, dan setelah Theo meng habiskan serealnya. Berulang-ulang dia menelepon mena nyakan kabar, tapi Kay tidak bisa dihubungi. Siang merayap ke apartemen dengan muram. Jam dapur berdetik seperti metronom. Debu di bawah cahaya matahari berpusar se perti angin puyuh lamban. Lewat jendela terbuka, Theo bisa membaui asap knalpot dari mobil-mobil di bawah, juga kapal-kapal di perairan. Bunyi klakson mengagetkan memecah lamunannya. Kopinya sudah dingin dan hambar. Di meja, buku-buku dan kertas-kertasnya tampak seolah-olah bisa terbang sendiri, dan penanya tampak seperti pisau berdarah. Seluruh apartemen terasa seperti lokasi kejahatan. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu.
Jika ada yang mempersulit bulan-bulan pertama per nikahan mereka, itu adalah ketidaksabaran dan kemandirian Kay. Mereka sempat mempertengkarkannya saat Kay perta ma kali bergabung dengan sirkus musim panas itu.
"Aku akan sibuk sekali dengan latihan dan pertunjukan. Kau bisa tetap di New York dan mengerjakan terjemahanmu, dan aku bisa menyewa kamar dengan beberapa pemain lain," usulnya.
Usul itu memukul telak Theo, dan memikirkannya mem buatnya kelu. Kay duduk di sebelahnya di sofa, sambil menyandarkan kepala ke bahunya. "Tentu saja, kau boleh ke sana pada akhir pekan. Aku pasti akan sangat merindukanmu."
"Aku tak bisa membayangkan tinggal terpisah setelah akhirnya kita bisa bersama."
"Berpikirlah praktis. Aku hanya berusaha mengumpul kan sedikit uang."
Panik membayangkan harus berpisah, Theo mengubah jadwal mengajarnya di sebuah kampus di New York dan menggunakan uang muka dari penerbitnya untuk me nyewa apartemen di Dalhousie ini, tempatnya bisa bekerja sementara Kay mengikuti pertunjukan. Seluruh peristiwa itu membuat Theo bertanya-tanya bagaimana Kay memprio ritaskan pernikahan mereka dan kariernya sendiri.
Setelah lewat tengah hari dan belum ada kabar dari Kay, Theo berniat menelepon manajer panggung di gudang tempat latihan kalau-kalau mereka tahu di mana Kay ber ada. Untungnya nomor teleponnya tertulis di notes tempel di kulkas, tapi malangnya tak ada yang menjawab panggil annya. Masih terlalu pagi bagi para penampil dan kru un tuk datang dan bersiap-siap untuk pertunjukan malam itu. Mereka semua kini sedang tidur, menjalani kehidupan ter balik khas orang-orang teater. Theo memutuskan pergi dan mencari Kay, lalu dia merobek selembar kertas dari buku catatannya dan menulis pesan agar Kay menelepon jika tiba di rumah sebelum dia kembali.
Cahaya matahari bulan Juni menerpa wajah Theo saat berdiri di depan apartemen sambil menimbang berbagai kemungkinan. Kay bisa ada di mana saja, atau tidak dimana-mana. Cedera dan tergolek di selokan atau dilarikan ke rumah sakit. Atau lebih parah. Theo mempercepat langkah, mengikuti jalan yang sudah dikenalnya dari gedung apar temen ke gudang, berbelok ke rue Saint-Paul, melewati kafe dan toko-toko barang antik, berlari kecil di jalan sampai mencapai pasar tani di tepi pelabuhan tempat mereka sering berbelanja pada jam-jam bebas Kay. Old Town membentang di atas bahu kiri Theo, sementara hotel Frontenac menjulang seperti kastel di atas gunung. Dia harus menyeberangi bebe rapa ruas jalan yang ramai sebelum akhirnya sampai ke bangunan gudang tempat kelompok teater menyimpan latar panggung raksasa dan peralatan untuk membangun pentas luar ruangan beberapa blok dari sana. Sekarang tempat itu hampir kosong, hanya terisi beberapa perlengkapan pang gung raksasa yang tidak digunakan di versi akhir pertun jukan. Pintu geser besar di bagian depan bangunan digem bok rantai, sehingga Theo terpaksa berbelok ke pintu sam ping, tapi pintu itu juga dikunci. Digedornya pintu logam itu, gaungnya terdengar hampa dan sendu.
Jauh dari dalam gedung, teriakan terdengar sampai ke depan dalam campuran bahasa Prancis dan Inggris, me nyuruhnya bersabar, s'il vous plaît. Menyusul bunyi selot disentak, kunci diputar, dan pintu perlahan mengayun ter buka untuk memperlihatkan sosok cebol yang tampak agak mengantuk, mukanya merengut tertimpa cahaya silau men dadak. Mereka saling berpandangan dengan curiga. Si cebol menggosok-gosok pangkal janggutnya.
"Pergi," katanya. "Nous sommes fermés. Kembali pukul empat nanti." Dia mulai menutup pintu.