Sore itu, semua orang sedang bersantai di Istana. Vanessa, dan Anastasia sedang duduk bersantai di kursi taman istana. “Kak?” panggil Vanessa. “Ya?” sahut Anastasia. “Aku tidak bermaksud menyinggung kakak tapi……Kakak yakin soal Kak William akan menjadi seorang raja baru?....” ujar Vanessa. “Ya memangnya mau bagaimana lagi? Aku sudah menikah dengannya. Kau juga ingin turun tahta bukan?” ujar Anastasia.
“Dia orang yang pintar kok. Kau tidak tau, karena waktu itu kau masih sangat kecil. William sangat tertarik dengan politik. Bahkan dulu dia sering membantu mengerjakan soal – soal yang di berikan ibunda padaku. Dulu ibunda sering mengajarkanku tentang ilmu politik. Melihat ketertarikkan William pada ilmu politik, bunda juga ikut mengajarkannya ilmu politik bersamaku” jelas Anastasia.
“Yang paling membuatku iri adalah dia selalu mendapat nilai yang lebih tinggi dariku ditambah dia pernah mengalahkan ayah dalam permainan catur. Satu hal lagi, waktu dia masih belum ingat apa – apa. Dia sering membeli buku tentang politik di toko buku.” ujar Anastasia. “Bukan itu yang aku cemaskan…” ujar Vanessa. “Lalu..?” tanya Anastasia. “Raja itu…bisa melakukan apa saja kan? Aku tau….Aku tau istana selir itu sudah di kosongkan dari belasan tahun yang lalu…Tapi…Kak William...Atau bahkan orang lain…...bisa saja mengisi tempat itu lagi bukan” ujar Vanessa.
Anastasia pun terdiam sejenak. “Jangankan selir, Ratu ke-2 pun bisa saja kan? Walau pangkat menjadi ratu pertama itu paling tinggi. Walau, anakmu nanti menjadi raja selanjutnya. Tapi, memangnya ada yang menjamin kalau anakmu nanti bisa tetap hidup sampai menjadi raja?” tanya Vanessa. “Aku sudah dengar banyak dari dongeng dan sejarah. Banyak anak dari ratu pertama yang mati dengan tragis karena dibunuh. Entah pelakunya adalah anak dari ratu lainnya, atau bahkan anak dari seorang selir” ujar Vanessa.
“Semua hal bisa saja mengancam nyawa anakmu nanti demi kekuasaan. Berebut kekuasaan. Itulah yang aku benci juga yang menjadi alasan aku ingin segera turun tahta. Aku sendiri saja takut, jika saja aku akan terus menjadi pemimpin negri ini, lalu menjadi ratu dari seorang raja karena kepentingan politik.” Jelas Vanessa. “Belum lagi rasa sakit yang diterima. Banyak orang bilang katanya sakit banget rasanya kalau diduakan. Apalagi kakak yang…Yang…Bahkan bisa lebih dari dua” ujar Vanessa.
“Tak kusangka kau sampai memikirkan hal sejauh itu. Pantas saja tadi pagi Candace memintaku untuk segera mengambil alih kekuasaan. Sepertinya, dia mulai bosan mendengar keluhanmu tentang memimpin negara” ujar Anastasia. “Aku sudah tau semuanya dari Candace tentang bagaimana kau memimpin negara ini.” ujar Anastasia. “Yaah…Kau benar juga sih. Tapi ya mau bagaimana lagi? Nggak mungkin dia gak jadi raja. Kalau aku cerai, nanti bisa merusak hubungan dengan pihak Gerald. Lagi pula yang memulai itu kan kau” ujar Anastasia.
“Lah, kok aku?” ujar Vanessa. “Kau yang rewel minta turun tahta. Kau juga yang memberikan tahtamu padaku. Aku gak mungkin jadi pemimpin lagi kalau sudah menikah. Jadi, kakak iparmu lah yang harus menerima tahta itu” ujar Anastasia. “Tidak apa – apa, jangan terlalu di pikirkan. Memang sudah jadi takdirku, menjadi seorang permaisuri.” Ujar Anastasia. Senyum merekah di wajahnya. Ia pun mengusap kepala adik bungsunya itu dengan lembut.
Di lain pihak……………
William nampak sedang berjalan di koridor. Raut wajahnya penuh dengan kecemassan. “Aneh sekali, aku belum melihat Kayla lagi semenjak sampai di istana ini. Di mana dia?” gumam William. Tiba – tiba Adeline datang dari arah berlawanan. “Oh, Adeline! Kau lihat Kayla gak? Aku belum melihatnya lagi semenjak kita kesini” tanya William. “Oh, Kayla ada di kamarnya. Aku juga nggak tau kenapa dia di sana. Setelah dia keluar dari taman istana, tiba – tiba saja dia mengurung di kamar” ujar Adeline.
“Oh, terima kasih. Ngomong – ngomong kau mau kemana?” tanya William. “Asher memintaku pergi ke halaman belakang, kenapa?” ujar Adeline. “Tidakkah kau pikir dia punya sesuatu untukmu?” tanya William. Ia pun berjalan kedepan. “Sesuatu?......Hah?!! Kakak ini mikir apa sih?!!” ujar Adeline yang menyadari maksud perkataan kakaknya itu. Wajahnya merona. Ia pun pergi.
Kayla nampak termenung sendiri di kamarnya sambil memeluk sebuah bantal. “Tok…Tok…Tok” terdengar suara ketukan pintu. “Siapa? Kalau itu kau pergilah….Aku ingin menyendiri” tanya Kayla. “Ini aku William, dan siapa yang kau maksud ‘kau’?” ujar William. Kayla pun segera membukakan pintu. “Ada apa kak?” tanya Kayla. “Kayla ngapain mengurung kamar sendirian?” tanya William. “Nggak, nggak ada apa – apa” ujar Kayla.