The Naked Face

Riri
Chapter #11

Chapter 11. New job

Ellisa Grace 

...

Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di Bar. Tapi masih tersisa sebelas jam lagi sebelum Pekerjaanku dimulai. Pekerjaan yang Julia tawarkan. 

Hari masih terlalu pagi untukku beraktivitas. Tidak seperti biasanya, karena rencananya aku akan mengundurkan diri dari pekerjaanku di coffee shop. Sayang sekali memang, padahal aku sudah bekerja disana selama dua tahun. Dan mengenal tempat itu dengan baik sebaik aku mengenal telapak tanganku sendiri. Orang-orangnya juga ramah padaku, kami semua sudah seperti keluarga. 

Aku tidak berhenti memikirkan itu tadi malam, bagaimana kalau orang ditempat kerjaku yang baru tidak sebaik yang lama? Tapi ego yang memaksaku untuk bekerja disana berkata. Bahwa aku disana tidak untuk berkawan melainkan bekerja. Kemudian Nuraniku mendebat bahwa berkawan dengan orang ditempat kerja itu penting, agar aku merasa nyaman saat bekerja. Dan akhirnya otakku yang waras mengambil alih bahwa bagaimanapun situasi di tempat kerjaku yang baru nanti sepanjang itu tidak merugikanku. Maka aku harus tetap mengambilnya karena aku sangat membutuhkan uang itu.

Uang. Semuanya demi uang, aku mengorbankan masa mudaku yang sebagian orang habiskan dengan bersenang-senang dengan mencari uang. Mungkin aku bisa bersenang-senang seperti yang lain. Tapi hatiku tidak akan tenang karena harus memikirkan. Esok mau makan apa? Aku harus Menjadi tulang punggung Membalas jasa nenekku yang membesarkanku. Sekaligus belajar mandiri setalah nenek tiada. 

Pemikiran tentang nenek yang suatu saat akan pergi meniggalkanku untuk selamanya membuatku bergidik ngeri. Pasalnya aku benar-benar akan hidup sebatang kara.

Aku memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurku atau pikiranku akan memikirkan hal-hal yang aneh lagi. Aku berjalan menuju balkon kecil yang berada diluar kamarku. Untuk mendapat sedikit cahaya matahari di penghujung musim dingin.

Balkon ini jarang aku gunakan di siang hari, padahal sinar matahari sangat bagus dibalkon ini. 

Mau tahu kenapa?

Hanya karena empat kata yaitu M.A.L.U.

Sekarangpun aku malu mengatakannya, tapi sudah bertahun-tahun sejak aku tinggal dirumah susun ini. Seingatku,

aku pernah duduk disitu pada pagi hari hanya sekali dan menjadi yang terakhir kalinya. Aku biasanya keluar hanya malam hari untuk merasakan udara malam. 

Jadi Kenapa aku malu? Karena didepan bagunan rumah susun tua yang ku tempati ini. Berdiri sebuah apartemen yang menurutku bagus. Kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana kelihatannya. Bagaikan surga dan nereka yang digelar didepan matamu. Sungguh sedih sekaligus mengerikan keadaannya. 

Menurut cerita orang-orang yang telah lama tinggal dilingkunganku. Bahwa awalnya apartemen itu adalah rumah susun yang sama seperti yang aku tempati tapi kemudian dirobohkan dan dibangun apartemen. Tidak ada yang tahu kenapa, tapi asumsi orang-orang bahwa pemilik bangunan itu telah menjualnya. Dan pemiliki barunya mengubahnya menjadi apartemen.

Jarak Bangunan tua tempat tinggalku dengan apartemen itu kurang lebih seratus meter. Dan aku bisa melihat penghuni apartemen itu keluar di balkon mereka menikmati matahari sepertiku.

pada saat pertama kali aku duduk di balkonku, perasaan malu dan tidak percaya diri menggerogotiku saat berhadapan dengan penghuni apartemen itu. Aku tidak tahu apa yang orang-orang itu pikirkan saat melihatku tapi aku merasa seperti orang yang sangat menyedihkan. 

Jika kalian yang berasal dari keluarga pas-pasan mungkin mengerti perasaanku. Saat kalian melihat teman kalian yang berpakaian bagus kalian pasti minder berada disebelahnya. Yang kalian inginkan adalah tanah yang kalian injak seketika terbelah dan menelan kalian dan menyelamatkan kalian dari rasa malu dan tidak percaya diri. Begitulah perasaanku saat itu. Dan aku tidak ingin merasakan perasaan itu lagi.

Tapi mungkin bagi kalian yang pandai bersyukur bisa mengatasi masalah itu. Tapi aku tidak. Kadang-kadang aku berpikir kenapa aku tidak dilahirkan dari anggota keluarga yang lengkap dan berada, dimana aku bisa mendapatkan apa yang aku kuinginkan. Atau setidaknya dilahirkan dari keluarga yang bahagia. Tapi aku kamu dan kita semua tidak bisa memilih dari keluarga mana kita dilahirkan.

Hari ini adalah sejarah, karena ini kedua kalinya aku keluar untuk duduk dibalkon kecilku. Aku hanya ingin menikmati matahari pagi dan menikmati kemewahan ini tanpa mengeluarkan uang. Matahari sangat langka saat musim dingin jadi tidak heran kalau dalam beberapa hari atau minggu aku tidak melihat bola api raksasa itu.

Aku juga telah memutus urat maluku sebelum keluar menuju balkon untuk berhadapan dengan penghuni apartemen didepanku. Dan tidak sekalipun membuka kelopak mataku, sehingga aku tidak perlu menatap mereka. Yang kulakukan hanya berjemur sambil menikmati waktu senggangku yang berharga.

______

Aku berdiri di depan sebuah bangunan yang alamatnya Julia berikan. Terdapat papan nama besar di atas pintu masuk yang bertuliskan 'Cheers' yang dihiasi dengan lampu berwana-warni yang berkelap-kelip mengelilingi papan nama tersebut.

Oke jadi ini saatnya, aku menarik napas dari hidung dan menghembuskannya dari mulut, hal itu kuulangi beberapa kali Untuk menenangkan debaran jantungku yang gugup.

Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Bar. Dan tidak tahu bagaimana standar Bar & Restaurant agar bisa disebut bagus atau tidak. Suasananya tidak terlalu ramai karena baru jam tujuh malam. Desaignnya juga tidak terlalu mewah. 

Lihat selengkapnya