The Naked Face

Riri
Chapter #16

Chapter 16. Tears

Lucas Enzo Machiavelli 

...

Air..

Air...

Air....

Aku hanya melihat air yang keluar dari mata Ellis, bagaimana mungkin mata seseorang bisa memiliki air sebanyak itu. Seperti mata air yang tidak pernah kering. Begitulah tangisan Ellis yang terus mengalir dari mata lalu turun di sepanjang pipinya kemudian jatuh di atas bahuku.

Ellis bersandar dibahuku sambil menangis sesegukan. Kuarasa ini sudah satu jam lamanya dia menangis menghadapi kenyataan hidupnya yang pahit. 

Setelah tiba dirumah sakit tidak butuh waktu lama bagi dokter untuk menyatakan kematiannya. Penyebab kematiannya yaitu serangan jantung, penyakit umum yang menderita lansia. 

Kami duduk di depan kamar jenazah, dimana tubuh ringkih neneknya Ellis terbaring. 

Aku tahu betul bagaimana rasanya ditinggalkan orang yang paling dicintai, maka dari itu aku tidak bisa menganggap tangisan Ellis berlebihan. Hanya saja aku seorang pria, yang meskipun hatinya hancur dan tersakiti akan pura-pura kuat dan menahan badai air mata. 

Pria tidak menangis.

Itulah yang orang bilang saat seorang pria menangis atau bersedih baik pria kecil maupun pria dewasa. Padahal terlepas daru jenis kelamin kita semua adalah manusia yang memiliki hati dan perasaan. Yang akan merasa bahagia bila hatinya senang dan akan menangis saat hatinya hancur.

Pria dan wanita cenderung bertolak belakang dalam masalah ini. Kalau pria lebih banyak menahan kesedihan, wanita tidak. Mereka sangat terbuka dalam mengekspresikan emosi mereka. 

Tertawa saat senang, menangis saat sedih dan berteriak saat frustasi. Terkadang aku iri dengan betapa leluasanya mereka menangis meluapkan perasaan kesedihan mereka. Tidak perlu khawatir dengan perkataan orang. Dan tidak terbayangi dengan kata Pria tidak boleh menangis.

"Semuanya akan baik-baik saja" ujarku membelai rambut panjang Ellis. 

Ellis memdongak dan menatapku dengan mata hijaunya yang memerah "Tidak, semuanya tidak baik-baik saja, nenekku pergi. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku sebatang kara Enzo."

Aku tidak bisa lagi menatap matanya. Kesedihan dan kehancuran ada dimana-mana, diseluruh bagian tubuhnya seolah tertulis kehancuran.

Matanya hijaunya kini berwarna kemerahan, kuncir kudanya berantakan, kerutan tercipta di wajahnya saat dia menangis. Dan Ellis sama sekali belum mengganti seragam kerjanya. Seragam yang pendek dan ketat. Sebelumnya aku tidak memperhatikan dengan detail penampilan Ellis. Tapi sekarang kedekatan kami rasanya cukup intim. Bukan karena napsu melainkan karena sebuah perasaan duka.

_____

Gaun hitam selutut yang Ellis kenakan kotor oleh tanah, rambut panjangnya yang digerai jatuh dikedua sisi wajahnya untuk membentuk sebuah tirai. Ellis berlutut di samping makam neneknya. 

Tak ada suara yang ia keluarkan tapi air matanya masih menetes dalam kebisuan. Lingkaran hitam terlihat jelas dibawah matanya. 

Aku ikut berlutut disamping Ellis, merangkul tubuhnya di kedalam pelukanku. Aku tidak menyangka keterlibatanku dalam proses pemakan neneknya sampai sejauh ini. mungkin karena pengalamanku yang membuatku bertahan disisi Ellis, menemaninya dan merangkulnya. Pengalaman pahitku yang mengubur ibuku seorang diri membuatku bertahan disisi Ellis. 

Aku tidak ingin Ellis mengalami penderitaan bertubi-tubi, dia sudah cukup kehilangan orang tuanya dan sekarang harus mengubur neneknya seorang diri. 

"Ayo kita pulang Ellis" aku berbisik ditelinganya.

Lihat selengkapnya