The Naked Traveler 8: The Farewell

Bentang Pustaka
Chapter #2

Traveling Zaman Dulu

(yang Mungkin Nggak Kebayang pada Zaman Sekarang)

SAYA sudah terbiasa traveling sejak kecil. Tidak ada yang hebat, saya merasa biasa-biasa saja. Saya justru merasa “aneh” ketika traveling pada zaman sekarang, lebih tepatnya sejak era ponsel dan internet. Segalanya jadi sangat mudah, tinggal ketak-ketik sebentar langsung jadi.

Untuk generasi milenial, berikut beberapa perbedaan yang mencolok saat traveling zaman dulu yang mungkin tidak bisa kalian bayangkan kalau terjadi pada zaman sekarang;

Di Pesawat Boleh Merokok

Ini perbedaan yang paling mencolok antara dulu dan sekarang. Bayangin, dulu penumpang boleh merokok di dalam pesawat terbang! Smoking area di dalam pesawat ada di kursi-kursi bagian paling belakang. Tidak ada pemisah kaca seperti di ruangan merokok di bandara, jadi asap membumbung sampai ke langit-langit, bahkan sampai terasa di kursi depan pesawat. Saya malah pernah mengalami merokok bareng pramugara dan pramugari di galley belakang, bahkan konon dulu pilot juga merokok. Sekarang membayangkannya aja jadi ngeri! Kok bisa ya cuek banget zaman dulu? Udah sepesawat bau asap, lalu gimana kalau pesawat kebakaran akibat bara api puntung rokok? Hiy!

Tiket Pesawat Segepok

Sekarang tiket pesawat sudah tersimpan di ponsel, dan bisa langsung ditunjukkan ke petugas, bahkan QR code-nya bisa langsung jadi boarding pass. Dulu beli tiket harus datang ke kantor maskapai penerbangan atau travel agent. Setelah membayar, tiket diberikan dalam bentuk buku kecil panjang yang bentuknya kayak kuitansi. Di tiket tertera nama, destinasi, tanggal, dan jam keberangkatan yang ditulis pakai tangan. Meski yang terpenting adalah halaman itu doang, tiket itu segepok banyaknya. Yang lain isinya adalah terms & conditions. Bayangin, berapa banyak kertas yang terbuang zaman dulu?

Pasrah Menginap

Dulu travel agent itu berkuasa banget karena merekalah yang bisa booking pesawat dan hotel. Masalahnya, mereka hanya bekerja sama dengan hotel-hotel berbintang, jadi sebagai backpacker sulit untuk mencari penginapan murah semacam hostel. Zaman belum ada internet, booking dilakukan via telepon—di telepon umum koin pula. Bentuk hostel kayak apa nggak kebayang, kecuali ada gambarnya di brosur yang tersedia di bandara atau stasiun kereta utama, itu pun sangat jarang. Parahnya lagi, tidak ada testimoni dari tamu yang pernah menginap, jadinya sering ketipu. Makanya, dulu saya sering go show. Sampai di suatu kota, berjalan kaki sambil cari-cari penginapan, masuk-keluar kamarnya untuk ngecek kondisi, baru diputuskan belakangan. Seringnya kalau sudah capek, pilih yang mana duluan kosong, jadi pasrah, terima aja apa pun kondisinya.

Lihat selengkapnya