GILANG DIJUANG.
Jalak harupat, 10 November 2049
Riang menemani tumbuh kembang anak semata wayang, aktif disegala bidang baik akademis maupun nonakademis, jika namanya disingkat, mucul ‘AFF’ , nampak lebih dekat pada sebuah ajang ternama di Asia, apalagi kalau bukan dengan hiruk-pikuk seorang komentator yang bicara tentang lincahnya bola menyobek gawang, tepat sekali, ialah “Asian Football Confederation” menggambarkan betapa lincah nan elok permainannya, mulai dari permainan dribling sampai menyobek kasarnya jaring gawang milik lawan. Seperti hari ini, melengkapi koleksi medali dan piala dari tingkat kelurahan sampai nasional ia lengkapi sore ini dengan bendera-bendera biru seiras warna senja kala itu.
Air yang merangkul bahagia dimata kedua orang tua yang tak sanggup menahan tetesan bangga nan haru pada makna ketika Ahmad melambai-lambaikan tangan pada seluruh pendukung dan menatap dengan cermin mata kedua orang tuanya, “hiks, Karim.., anak kita hebat, hiks-hiks.” Rahma memeluk kencang Karim begitupun sebaliknya, saling beri kehangatan.
“Iya Rahma, kelak ia kan jadi orang besar suatu saat nanti! Hiks.” pijakan mereka becek dengan air mata yang tak henti mengalir sampai akhirnya Ahmad datang memeluk mereka dan menyeka air mata sekaligus mencium pipi basah mereka, lalu pergi meninggalkan menuju podium sang jawara.
“Baiklah para hadirin sekalian, mari bersama kita menyimak beberapa patah kata dari sang kapten tim kita, sang jawara, Ahmad!” sorak-sorai yang memberi nada pada langit senja, tak membuang waktu Ahmad langsung menerima mikrofon dan lekas berbicara.
“Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” semangat.
“Alhamdulillahirabbil ‘alamin, terimakasih pada Yang Maha Kuasa, ALLAH S.W.T., terimakasih untuk kedua orang tuaku, teman-teman, kerabat, dan semua orang dibalik layar kesuksesan ini, tak lupa pada kalian para pecinta bola. Singkat saja, ayahku pernah berkata, jangan menyerah pada takdir, sungguh pemegang takdir ialah dirimu sendiri. Gapailah mimpi tak perlu rumpi, hanya butuh diskusi, sampai dimimpi jangan menepi atau tertepi, patenkannya, jangan sampai diganggu gugat siapapun, sekian. Wasslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” mengakhiri kalimatnya, ia kembali berlari mendekap kedua orang tua seraya mengangkat piala setelah peluk penuh haru itu.
“Aku sayang Umi sama Abi.” Sebulir air mata menetes dari mata bangganya bangkitkan semangat bumi pasundan, tamparan hati, dimasa depan? Entahlah ku bukan Yang Maha Mengetahui.
UIN Jakarata, 28 0ktober 2052
Tak kalah gemilang menghadapi nonakademis, setelah turnamen nasional sepak bola silam, yang tak pernah kelam, kali ini ia tunjukkan akdemis ‘Enstein’-nya, siapa sangka dari keluarga yang sederhana lahir generasi yang begitu cendikiawan sebanding dengan para bangsawan.
Sekarang ia menghadapi panasnya adrenalin cerdas cermat matematika dan ilmu pengetahuan alam atau, kejuaran MIPA nasional di Universitas Islam Nasional syarif hidayatullah Jakarta atau, UIN Jakarta, sirkulasi udara yang panas bermutasi dalam podium kian mencengangkan, walau tanpa gandeng tangan ibu maupun ayah, mandiri.
Dua tim yang selalu mengobarkan rasa panas dihati kian bringas, adanya baku adu mulut dan lontaran lengan hendak menjawab kadang menancap bahkan tak dihirau, sebenarnya wajar saja, karena ini final penentuan pemegang gelar juara.
Usai dari tanya-jawab per-tim, saatnya sesi rebutan,” bagaimana cara kerja seperangkat lampu listrik pararel?” tanya seorang juri.
TIT!
“Baiklah, tim A silahkan menjawab.” Dengan penuh percaya diri, Ahmad menjawab.
“Cara kerja seperangkat listrik pararel ialah; ada dua arus juga dua lampu, setiap lampu mendapat arus tanpa lampu satunya, satu lampu akan tetap menyala meski yang lainnya mati, keuntungannya ialah: cahaya lampu lebih terang dan lampu yang di butuhkan tidak bisa dimatikan. Begitulah”panjang jelas, namun belum tentu tepat.
“Baiklah, kita kunci jawaban tim A, apakah jawabannya tepat?