Kali ini kami berada di dalam Ruang Agung sambil dengan sabar bertahan menghadapi satu lagi pelajaran etika saat batu-batu bata menerjang masuk melalui jendela. Elise langsung menjatuhkan diri ke lantai dan mulai merangkak menuju pintu samping, merintih di sepanjang perjalanannya ke sana. Celeste melengkingkan jeritan bernada tinggi dan berlari ke bagian belakang ruangan, nyaris tak bisa lolos dari hujan pecahan kaca. Kriss menyambar lenganku, menarikku, dan aku pun sontak berlari di sisinya saat kami bergerak menuju pintu keluar.
“Cepat, ladies!” teriak Silvia.
Dalam hitungan detik, para pengawal istana telah berbaris di jendela-jendela dan melancarkan tembakan. Semburan berbagai suara pun bergema di telingaku saat kami berlarian menyelamatkan diri. Entah apakah mereka datang dengan senjata api atau batu, siapa pun yang menunjukkan level agresi sekecil apa pun di dalam area istana akan mati. Tak ada lagi kesabaran yang tersisa untuk serangan-serangan ini.
“Aku benci berlari dengan sepatu ini,” Kriss menggerundel, setumpuk gaun tersampir di atas lengannya, matanya terfokus ke ujung koridor.
“Salah seorang dari kita nantinya harus terbiasa dengan ini,” kata Celeste, napasnya tersengal-sengal.
Aku memutar bola mataku. “Kalau orang itu aku, aku akan memakai sepatu sneakers setiap hari. Aku sudah muak dengan sepatu ini.”
“Lebih sedikit bicara, lebih banyak bergerak!” Silvia berseru.
“Bagaimana cara kita turun ke lantai bawah dari sini?” Elise bertanya.
“Bagaimana dengan Maxon?” Kriss terengah.
Silvia tidak menyahut. Kami mengikuti Silvia melewati jalur-jalur labirin koridor yang rumit, mencari jalan ke basemen, mengamati saat pengawal demi pengawal berlari ke arah berlawanan. Aku mendapati diriku mengagumi mereka, penasaran dengan keberanian yang dibutuhkan untuk berlari menuju mara bahaya demi orang lain.
Para pengawal yang melewati kami benar-benar tak bisa dibedakan antara satu dengan yang lainnya, sampai kemudian sepasang mata hijau beradu dengan mataku. Aspen tidak terlihat takut atau bahkan terkejut. Ada suatu masalah, dan dia sedang dalam proses untuk memperbaikinya. Memang seperti itulah Aspen.
Tatapan kami singkat, tetapi itu cukup. Memang seperti itulah kalau dengan Aspen. Dalam waktu sepersekian detik, tanpa kata, aku bisa memberitahunya, Hati-hati dan jaga dirimu. Tanpa mengucapkan apa pun, Aspen akan menjawab, Aku tahu, pokoknya kamu jaga saja dirimu.
Meskipun bisa dengan mudah merasa tenang dengan hal-hal yang tak perlu kami ucapkan, aku tak punya keberuntungan semacam itu terhadap hal-hal yang telah kami ucapkan. Perbincangan terakhir kami justru tidak membahagiakan sama sekali. Waktu itu aku baru mau meninggalkan istana, dan aku telah meminta Aspen agar memberiku ruang untuk melupakan Seleksi. Namun, kemudian, akhirnya aku tetap bertahan di Seleksi. Aku juga belum memberi penjelasan kepada Aspen soal kenapa aku masih bertahan.
Mungkin kesabaran Aspen terhadapku mulai memendek, dan kemampuannya untuk melihat hanya yang terbaik pada diriku mulai mengering. Entah bagaimana, aku harus memperbaikinya nanti. Aku tak bisa melihat sebuah kehidupan untukku yang tidak menyertakan Aspen di dalamnya. Bahkan, sekarang ini, saat aku berharap agar Maxon kelak akan memilihku, sebuah dunia tanpa Aspen tetap terasa tak terbayangkan.
“Ini dia!” Silvia berseru, mendorong sebuah panel misterius di dinding.
Kami mulai menuruni tangga. Elise dan Silvia memimpin di depan.
“Sial, Elise, lebih cepat, dong!” Celeste berteriak. Mendengar Celeste mengatakan itu, rasanya aku jadi kesal. Namun, aku juga tahu bahwa kami semua memikirkan hal yang sama.
Saat kami turun ke dalam kegelapan, aku berusaha untuk mengakurkan diriku sendiri dengan jam-jam yang akan tersia-siakan, dan bersembunyi seperti sekawanan tikus. Kami terus bergerak. Keributan dari bunyi lari kami menutupi teriakan-teriakan yang terdengar, sampai satu suara laki-laki menggelegar tepat di atas kami.
“Berhenti!” teriak laki-laki itu.
Aku dan Kriss berbalik serempak, menyaksikan saat seragam itu kian terlihat jelas. “Tunggu,” Kriss berseru kepada gadis-gadis di bawah. “Itu seorang pengawal.”
Kami berdiri di anak tangga, bernapas dengan susah payah. Pengawal itu akhirnya sampai di dekat kami, juga terengah-engah.