“Apakah kamu sedang duduk dengan nyaman, Georg?” Dalam kepalaku, aku bisa mendengar suara seraknya yang dalam, dan sekarang bukan hanya dalam video; aku mendengar suara Ayah seakan-akan dia tiba-tiba kembali hidup dan duduk di ruangan itu bersama kami.
Meskipun amplop itu tertutup rapi ketika aku membukanya, aku harus bertanya kepada orang-orang dewasa di situ apakah mereka telah membaca surat yang panjang itu, tapi mereka semua menggelengkan kepala dan berkata bahwa mereka belum membaca sepatah kata pun.
“Tidak satu suku kata pun,” kata Jørgen. Suaranya terdengar agak malu-malu, dan itu tidak seperti kebiasaannya. Tapi, dia menyarankan agar mereka dibolehkan untuk membaca surat Ayah setelah aku selesai. Kupikir dia sangat ingin tahu isi surat itu. Aku merasa bahwa dia punya rasa bersalah tentang sesuatu.
Nenek menjelaskan mengapa dia dan Kakek buru-buru menaiki mobil dan berangkat ke Oslo sore itu. Itu karena dia yakin akan bisa memecahkan teka-teki yang sudah terpendam lama, katanya. Ini terdengar agak misterius, dan memang demikianlah.
Ketika Ayahku sakit, dia mengatakan kepada Ibu bahwa dia sedang dalam proses menuliskan sesuatu untukku, yaitu surat yang akan kubaca ketika aku sudah besar. Tapi, surat itu tak pernah ditemukan dan kini aku sudah berusia lima belas tahun.
Tiba-tiba, sekarang Nenek teringat hal lain yang dibicarakan oleh Ayah. Ayah meminta dengan sangat agar tak seorang pun membuang kereta dorong merah itu. Nenek ingat persis perkataan Ayah ketika dia terbaring di rumah sakit. “Jangan pernah membuang kereta dorong merah itu, ya,” kata Ayah. “Kumohon, jangan. Kereta itu sangat berarti buatku dan Georg selama beberapa bulan terakhir ini. Aku ingin Georg mendapatkan kereta dorong itu. Katakan itu kepadanya suatu kali nanti. Katakan kepadanya, ketika dia cukup besar untuk mengerti, bahwa aku sangat ingin menjaganya untuk dia.”
Dan demikianlah kereta dorong tua itu tak pernah dibuang atau diberikan ke loakan. Bahkan, Jørgen pun mendapatkan instruksi mengenai halitu. Semenjak dia pindah ke Humleveien, dia sudah tahu bahwa ada satu hal yang tidak boleh disentuhnya, dan itu adalah kereta dorong merah tersebut. Bahkan, karena rasa hormatnya atas instruksi itu, dia memaksa untuk membeli kereta dorong baru untuk Miriam. Barangkali, dia tidak suka membayangkan membawa anak perempuannya sendiri berjalan-jalan dengan kereta dorong yang sama dengan yang digunakan Ayah untuk membawaku berjalan-jalan bertahun-tahun yang lalu. Tapi, mungkin juga karena dia menginginkan kereta dorong yang lebih baru dengan model yang lebih bagus. Dia lumayan sadar-mode, kalau bukan bahkan sangat terpengaruh olehnya.
Jadi, ada sepucuk surat dan sebuah kereta dorong. Tapi, Nenek memerlukan waktu sebelas tahun untuk memecahkan teka-teki ini. Baru belakangan terpikirkan oleh Nenek untuk masuk ke gudang dan memeriksa kereta dorong tua itu dengan lebih teliti. Dan kecurigaan Nenek rupanya terbukti. Kereta dorong itu bukan sekadar kereta dorong, melainkan sebuah kotak surat.
Aku tidak cukup yakin apakah cerita ini bisa kupercaya. Tidak pernah mungkin untuk memastikan apakah orangtua dan kakek-nenek kita sungguh-sungguh bicara jujur kepada kita, apalagi kalau menyangkut, seperti kata Nenek, “halhal sensitif”.
Sekarang, bila kuingat-ingat, kupikir tekateki terbesar dari seluruh hal ini adalah mengapa tak seorang pun terpikir untuk menyalakan komputer Ayah sebelas tahun yang lalu. Di situlah Ayah menulis surat ini! Mereka tentu mencoba untuk menyalakannya, tapi tidak punya imajinasi yang cukup untuk menebak kata sandinya. Panjang maksimal kata itu delapan huruf—demikianlah komputer pada zaman itu. Tapi, bahkan Ibu pun tak pernah berhasil memecahkan kode itu.Sulit dipercaya. Jadi, mereka taruh saja komputer itu di loteng!
Tapi, cerita tentang komputer Ayah akan kuberitahukan lebih lanjut nanti. Sekarang, sudah waktunya untuk mendengarkan Ayah. Namun, aku akan menyelipkan beberapa komentarku sendiri di sepanjang cerita. Aku juga akan menambahkan catatan akhir. Aku perlu melakukan itu karena, dalam penulisan surat ini, Ayah mengajukan beberapa pertanyaan serius kepadaku. Bagaimana aku menjawab pertanyaanpertanyaan itu akan sangat penting baginya.
Aku mengambil sekaleng Coke dan membawa surat itu ke kamarku. Ketika untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengunci pintu kamarku dari dalam, Ibu protes. Tapi, dia tahu protes itu tak ada gunanya.
Membaca surat dari seseorang yang tidak lagi hidup tampak begitu istimewa sehingga aku tidak bisa membayangkan membacanya dengan membiarkan semua anggota keluarga berjingkat-jingkat di sekelilingku. Lagi pula, itu adalah surat dari Ayahku sendiri, dan dia sudah tiada sejak sebelas tahun yang lalu. Aku butuh sedikit ketenangan.
Aneh rasanya memegang halaman-halaman hasil printout itu di tanganku. Rasanya mirip seperti menemukan album yang belum pernah dibuka sebelumnya, berisi foto-foto baru Ayah dan aku. Di luar sedang turun salju dengan lebat. Salju mulai turun ketika aku berjalan pulang dari les musik tadi. Kurasa salju tidak akan sampai menumpuk. Sekarang baru awal November. Aku berbaring di tempat tidurku dan mulai membaca.
Apakah kamu sedang duduk dengan nyaman, Georg? Setidaknya kamu mesti duduk dengan punggung yang tegak karena aku akan menyampaikan kepadamu sebuah cerita yang menyedihkan. Mungkin kamu sedang berselonjor santai di sofa kulit berwarna kuning itu. Meskipun saat kaubaca ini, aku tidak tahu apaapa lagi—mungkin saja kamu sudah menggantinya dengan sofa baru. Aku dengan mudah bisa membayangkan kamu sedang duduk di kursi goyang tua di rumahkaca itu, kursi yang sangat kamu senangi. Atau, barangkali kamu sedang di beranda? Aku tidak tahu tahun berapa saat ini. Dan, mungkin kamu tidak lagi tinggal di Humleveien sekarang ini.