The Other Side

Mizan Publishing
Chapter #2

Fall

Cinta tahu bagaimana cara memaafkan, tetapi tidak untuk melupakan sakit ketika dikecewakan

Sudah seminggu Alea meninggalkan Kota Bandung, kota yang mampu membuatnya tersenyum dan tersedu pada satu waktu di kala dia mengingatnya. Baginya, Bandung kota yang telah menciptakan cerita indah untuknya, sekaligus yang mengajarkannya arti luka yang sebenarnya.

Sudah satu minggu juga Alea memasuki sekolah barunya di Jakarta. Sekolah itu bernama SMA Gempita. Sekarang, Alea sudah duduk di bangku kelas XI. Di sana, Alea memilih untuk mendaftar menjadi pengurus OSIS dan ini hari pertamanya untuk memasuki organisasi itu.

Langkah Alea terdengar sangat jelas karena dia tengah berjalan cepat untuk menuju ruang OSIS. Bahkan karena terlalu cepat, dia tak memperhatikan lingkungan di sekitarnya, sampai-sampai dia tak sengaja menabrak seseorang yang tengah memegang gitar.

Gitar itu terlepas dari tangan pemiliknya dan terlemparmengenai kepala Alea. Alea memegangi kepalanya yang sakit seraya menatap gitar yang jatuh di dekatnya. Itu bukangitar murahan. Alea mengetahui harganya.

“Eh, sori.” Lelaki itu meminta maaf. Alea hanyamengangguk, lalu mengalihkan pandang ke arahnya.

Saat menatap wajah lelaki itu, entah mengapa darahnya terasa berdesir lebih cepat, perasaannya juga menjadi tak karuan.

Alea tidak mengerti mengapa wajah lelaki itu bisasangat mirip dengan seseorang yang pernah dia kenal.

“Kepala lo sakit?” tanya lelaki itu sambil menatap Alealekat. Alea membalas tatapan itu. Kini, dia seperti menatap mata yang sama, tapi milik orang yang berbeda.

Tatapan lelaki itu sangat tajam. Dia tak henti-hentinyamemandangi wajah Alea. Entah karena dia merasa bersalahatau karena Alea sedari tadi hanya diam saja.

“Lo enggak pa-pa?” tanyanya lagi yang membuat Alea tersadar dari lamunannya.

“Hah? Enggak pa-pa, kok, gue juga salah.”

“Ya, udah, kalo lo enggak kenapa-kenapa, gue duluan, ya. Gue lagi buru-buru soalnya.” Lelaki itu mengambilgitarnya yang terjatuh, lalu pergi meninggalkan koridor.

Alea melanjutkan langkahnya dan segera memasuki ruangan OSIS. Sesampainya di sana, seisi ruangan menyorotdirinya dengan tatapan tajam. Terutama, sosok lelaki yang kini tengah berjalan menghampirinya.

“Maaf, Kak. Saya telat—” ujar Alea terpotong.

“Anak baru udah berani telat, ya?” tanya lelaki berparastampan—Ketua OSIS SMA Gempita. Namanya Aria.

“Yang daftar OSIS, tuh, banyak, kali. Enggak kamudoang!” sentak Aria. “Kamu baru masuk aja udah seenaknya kayak gini. Gimana ke depannya? Enggak usahlahmasuk ke sini.”

“Saya minta maaf, Kak. Tapi, saya—” lagi-lagi ucapannya terpotong.

“Saya enggak butuh kata maaf kamu. Ini. Kamu baca semua peraturan di sini, terus kamu tentuin bidang apayang mau kamu urus. Oh, iya, kalo kamu mau di sini, kamuharus dapat tanda tangan wakil saya sama ketua koordinasi bidang yang kamu pilih. Lusa, surat itu harus udah ada di saya atau kamu enggak usah ada di sini.” Aria menyerahkansurat-surat tersebut kepada Alea.

Alea menerimanya. “Oke, Kak, makasih.”

“Ya, udah, sekarang kamu duduk sana,” suruh Aria. Alea mengangguk, lalu duduk di kursi kosong di sebelah gadis yang berparas cantik.

“Yang sabar, ya,” ujar gadis itu. “Kak Aria emang otoriter banget. Apalagi, kalo ada orang baru, dia enggak mau kalo misalnya ada yang masuk cuma main-main doang. Tapi, kalo lo udah resmi masuk, dia bakal baik, kok,” ujar gadis itu. Alea mengangguk mengerti.

“Kenalin, nama gue Bella.” Gadis itu mengulurkan tangannya.

Alea menjabat tangan gadis itu. “Gue Alea.”

“Gue pasti bakal bantu lo, kok, buat penuhin syarat dari Kak Aria. Semangat!” ujar Bella menyemangati.

“Siapa yang suruh kamu buat nolongin dia?” sentakAria seraya menatap Bella tajam. Bella hanya terdiam.

“Pokoknya, kamu harus penuhin semuanya sendiri.Emang susah, ya, syarat kayak gitu doang?” bentak Aria.

“Iya, nanti saya cari wakil Kakak sendiri, kok,” jawab Alea. Aria menatapnya sinis, lalu kembali ke depan. Alea menghela napas sejenak.

“Pokoknya, wakil ketua OSIS kita itu namanya—” ujar Bella terpotong.

Belum selesai Bella berbicara, Alea sudah memotongnya. “Gue bisa cari dia sendiri, kok.”

“Aduh, Alea, dari mana lo bisa tahu? Daripada, nanti Kak Aria marah-marah sama lo kalo lusa belom bisa dapat tanda tangan dari wakilnya,” dumel Bella. “Waketos kita itu kadang masuk kadang enggak. Bukan berarti dia demen bolos, tapi dia sibuk dispen acara ini-itu. Pokoknya, lo bakalsusah, deh, kalo mau nemuin dia. Kalo mood-nya lagi ancur apalagi, minta ditonjok.”

“Oh, ya?” Alea tertawa pelan. “Lo baik banget,makasih, ya. Tapi, gue pasti bisa sendiri, kok.”

******

Cinta tahu bagaimana cara memaafkan, tetapi tidak untuk melupakan sakit ketika dikecewakan.

“Alea siapa, sih? Kata siapa dia mantan gue? Gue ajaenggak pernah kenal sama dia. Ngaku-ngaku aja kali dia.”Kata-kata itu masih teringat jelas di memori Alea. Hatinyaselalu terasa panas ketika dia mengingatnya.

Dia ingat betul, bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tak mungkin jadi miliknya.

Bagaimana rasanya mencintai seutuhnya, tapi dikecewakan seutuhnya juga.

Bagaimana rasanya pernah sedekat nadi dan menjadisejauh matahari.

Bagaimana pernah merasa disayang, tapi kenyataannya dianggap ada pun tidak.

Bagaimana dia selalu menunggu, tapi diabaikan.

Bagaimana dia mengorbankan banyak hal, tapi berujung sia-sia.

Lihat selengkapnya