Terkadang, kenyataan memang sangat sulit untuk dipercaya.
Pagi ini, Alea harus masuk sekolah dan menyerahkansurat itu kepada Aria. Namun, bahkan sampai kini pundia tak kunjung menemukan sang wakil ketua. Kakinyamasih terasa sakit, tapi dia tahu dirinya harus tetap pergike sekolah. Selain karena dia harus mengaku kepada Aria bahwa dia belum menemukan wakil ketuanya, dia jugaharus mengumpulkan tugas sekolah.
Alea menghampiri Aria yang sudah terlebih dahuluberada di depan ruang OSIS. “Kak Aria, saya belum dapat tanda tangan dari wakil Kakak,” ujar Alea gugup.
“Kamu enggak sanggup?” tanya Aria ketus.
“Saya bisa, kok, saya cuma minta perpanjangan waktu,”jawab Alea, lalu menundukkan kepalanya.
“Kamu baru masuk aja udah ngelunjak. Ya, udah, saya kasih waktu ke kamu dua hari lagi. Tapi, gantinya, kamu harus lari keliling lapangan dua puluh putaran,” suruh Ariatanpa melihat kaki Alea yang tengah berbalut perban.
“Dua puluh putaran, Kak?”
Aria mengangguk tegas. “Iya, kenapa? Kamu enggak sanggup juga?”
Alea berpikir sejenak, bagaimana dia bisa berlaridengan kondisi kakinya yang seperti ini? Alea menatapAria sejenak, mencoba meminta penawaran. “Kak, tapikaki saya lagi sakit.”
“Lembek banget, sih, kamu. Saya enggak peduli. Pokoknya kalo kamu enggak lari, ya, enggak ada perpanjangan waktu.” Lelaki itu tampak marah dengan mata yang membelalak ke arah Alea.
“Iya, deh, saya lari.”
Alea pun mulai berlari mengitari lapangan. Namun, baru tiga putaran saja, dia sudah jatuh tersungkur hingga sulit untuk bangun. Dan, sialnya, Alea tidak melihat Aria di sana. Ternyata, Aria tidak mengawasinya.
“Ah, gila, sakit banget.” Dia memegangi kakinya. Namun, tak lama, seseorang datang menghampirinya.
“Lo bego banget, sih. Udah tahu kaki lo masih pincang,ngapain, sih, lari-lari?” sentak lelaki itu. Iya, itu lelaki yangkemarin menabraknya.
“Gue, tuh, lagi dihukum, awas!” jawab Alea. Dia ingin beranjak bangun, tapi nyatanya tak bisa, dia pun kembali terjatuh. Lelaki itu menarik napas sejenak, lalu membantu Alea untuk bangun dan menyuruh gadis itu duduk di bangkuyang terletak di tepi lapangan.
“Lo jalan aja masih pincang, ngotak dikit kenapa, sih. Makanya, jangan bandel, dihukum guru, kan?” Lelaki itu memarahi Alea.
“Sok tahu banget, sih, lo. Bukan guru yang ngehukum, tapi senior yang hukum gue. Udah, deh, gue, tuh, haruslari lagi. Nanti kalo dia lihat gue enggak lari, bisa abis gue. Minggir enggak lo?”
“Senior lo enggak punya otak apa gimana, sih? Udah lo diem aja, nanti gue yang urus senior lo. Gila emang. Lo salah apa, sih, sampe dia nyuruh lo lari-lari? Dia enggak lihat kaki lo lagi sakit begitu? Udah, deh, enggak usah takutsama senior,” ujar lelaki itu dengan begitu perhatian.
“Enggak tahu, ah, gue pusing. Dari kemaren, guenyari orang, tapi enggak ketemu,” jawab Alea. Lelaki itumengerutkan dahinya.
“Lo nyari siapa emang? Siapa tahu gue kenal.”
“Enggak, senior gue bilang, gue harus cari sendiri,”tepis Alea.
“Yaelah, santai aja kali. Gue juga enggak bakal ngomong-ngomong ke senior lo. Emang lo nyari siapa, sih?” tanyanya penasaran.
Alea berdecak kesal. “Lo enggak perlu tahu.”
“Enggak usah takut sama senior, dia juga manusia kali.Siapa, sih, emangnya yang lo cari?”
Alea menatap lelaki itu sejenak, lalu menghela napas.
“Jadi, gue, tuh, baru seminggu di sini, terus gue mau masuk OSIS. Nah, ketuanya bilang, gue harus minta persetujuan sama wakilnya dulu. Tapi, gue enggak tahu wakilnya siapa, gue udah nyari di mana-mana, tapi gue enggak—” ujar Alea terpotong. Dia kaget dan matanya membulatketika lelaki itu merebut surat yang tengah Alea pegang. Lelaki itu membacanya, lalu menandatanganinya.
“Eh lo gila, ya? Itu, kan, enggak boleh di coretcoret. Aduh.
Kenapa lo asal tanda tangan aja, sih? Nambahin masalah aja tahu enggak, sih, lo,” dumel Alea.
“Nambahin masalah gimana, sih?”
“Ya, lo nambahin masalah, lah. Kalo ketos gue tahu, dia bisa tambah marah sama gue. Kertas itu enggak bolehdicoret-coret. Kalo waketos gue marah terus malah enggakmau tanda tangan gimana? Lo mau tanggung jawab?”
Lelaki itu justru tertawa. “Yaelah, kocak banget, sih, lo.Nih, ya, ketos lo enggak bakalan marah sama lo. Apalagi waketos lo.”
“Hah? Enggak bakalan marah gimana, sih? Ketos gue itu galak banget. Gimana kalo misalnya wakilnya lebihgalak dari dia? Mereka pasti bakalan marah, lah, gara-gara kertas itu dicoret-coret!”
“Katanya lo lagi nyari Wakil Ketua OSIS, kan?” tanyanya.
“Iya.”
“Ya, udah sana kasih ke Aria.”
Alea mengerutkan dahinya. “Apaan, sih? Ya, lo sama aja palsuin tanda tangan, dong!” jawab Alea kesal. “Loemang pengin lihat gue dimarahin abis-abisan lagi, ya?”
“Palsuin apaan, sih? Aneh lo. Udah kasih ke Aria sana. Bilang sama dia, otak dipake jangan ditaro dengkul. Senioritas aja terus sampe mampus,” ujar lelaki itu dengan beraninya. Alea menatapnya bingung. Sepertinya, lelaki itu sadar gadis di sebelahnya tengah kebingungan.
“Gue wakil ketua OSIS,” ujarnya.
Alea menggeleng tak percaya. Dia mengamati lelaki itu dari atas hingga bawah.
“Hah? Apa?”
“Gue wakil ketua OSIS,” ulangnya lagi.
“Boong. Masa, wakil ketua OSIS begajulan kayak lo?”
“Dih, terserah kalo enggak percaya.”
“Emang enggak percaya.” Alea melongo sekaligusberpikir.
“Di mana-mana anak OSIS itu keren, pinter, berwibawa.Mana ada wakil ketua OSIS kayak lo?”
“Ya, udah, terserah lo, lah. Nih.” Lelaki itu mengembalikan surat itu kepada Alea, lalu pergi meninggalkan Aleasendiri di lapangan.
Alea menatap sosok itu dari belakang. Masa, iya, lelakiseperti dia wakil ketua OSIS sekaligus ketua koordinasi?
Setelah itu, dengan perlahan Alea berjalan untukmemasuki ruang kelasnya. Alea menghela napas sejenak, kemudian duduk di bangku kelasnya. Dia terus berpikir, apakah mungkin bahwa lelaki yang mirip dengan mantannya itu seniornya? Wakil ketua OSIS pula.
“Gila, gila, gila!” seru seorang cewek di kelasnya. “Gueketemu sama Kak Revo tadi. Ganteng banget, coy!”
“Ih, gue juga ketemu Kak Revo di parkiran. Kak Revo punya gue pokoknya.”
“Enggak. Dia pangeran di hati gue.”
Alea bergidik geli mendengar percakapan teman-temansekelasnya yang sedari tadi membicarakan seseorang bernama Revo. Sepertinya, sudah setiap hari dia mendengar nama itu. Alea menoleh ke arah Acha, teman sekelasnya yang tengah memainkan ponsel.
“Cha!” panggil Alea.
“Hm?” Acha menyahut, masih sibuk dengan ponselnya.
“Revo—siapa, sih? Kok, tiap hari gue denger Reva RevoReva Revo,” dumel Alea.
Acha terkekeh kecil. “Orang ganteng, Le. Kayak enggaktahu aja nasib orang ganteng di Gempita gimana. Samakayak cewek cantik macem gue ini, jadi buah bibir setiap hari,” sahut Acha.
Alea bergedik geli. “Najong!”
“Lo anak OSIS, kan? Masa, enggak kenal Revo, sih?” tanya Acha bingung.
Alea mengerutkan dahinya. “Emangnya, Revo siapa, sih?”
“Enggak usah gitu. Jelek. Revo, kan, Waketos Gempita.”Acha menjelaskan. Alea hanya mengangguk seraya mencerna perkataan Acha. Setelah mencerna ucapan Acha, Alea mengingat sesuatu. Berarti, Revo orang yang dia cari-cari.
“Lo tahu enggak orangnya yang mana? Seriusan dia waketos?” tanya Alea menggebu-gebu. Acha mengangguk.
“YANG MANA? ANTERIN GUE KE DIA BALIK SEKOLAH, YA? PLEASE!” teriak Alea di telinga Acha. Acha mendorong kepala Alea pelan.
“Enggak usah pake teriak di kuping bisa enggak, ya, Ibu Alea? Lagian ngapain, sih, lo nyariin waketos sendiri? Setahu gue, nih, ya, di OSIS ada peraturan kalo sesama anggota OSIS itu dilarang pacaran. Masa, lo enggak tahu, sih?”
“Cha, siapa yang mau ngajak dia pacaran coba? Ketos gue nyuruh gue minta persetujuan dari waketosnya dulu, baru, deh, gue resmi jadi OSIS. Lo mau, kan, nganterin gue?Dia kelas berapa?” tanya Alea.
“Iya, Alea. Iya. Dia XII IPA 2, nanti gue tunjukin, deh,orangnya yang mana, yang paling ganteng pokoknya,”jawab Acha.
“Makasih, Cha. Lo baik, deh.” Alea memeluk tubuh mungil Acha.
“Lebay lo, ah!”
******
Sepulang sekolah, Acha menemani Alea ke depan kelas XII IPA 2. Matanya mencari seseorang di antara ramainya siswadan siswi SMA Gempita yang berlomba-lomba untuk segerapulang ke rumahnya masing-masing. Tak lama kemudian, mata Acha membulat ke satu titik, lalu menepuk pundak Alea. “Le, itu!”
“Itu Kak Revo!” Acha menunjuk seseorang yang hendakberjalan.
“Yang mana?” Alea menyipitkan matanya.
“Itu! Yang pake jaket biru dongker. Cepetan kejar, dia mau balik, tuh.” Acha menunjuk orang itu.
“Ayo, temenin.”
“Kejar sendiri, ah, Le. Laper, nih, gue, mau makan,” cengir Acha. Alea mengangguk pasrah, temannya itu memang suka sekali makan.