The Pain of Yesterday

Lina A. Karolin
Chapter #1

Bab 1

  Jantung Stella seakan berhenti berdetak ketika matanya menangkap guratan tintah di punggung Mack. Tadi malam ia tidak memperhatikan, terutama karena Stella menolak untuk melepas pakain di bawah sorot lampu. Ia meneguk gumpalan yang mengganjal kerongkongannya. 

“Kau bertato,” gumamnya. Jari-jari Stella menyusuri lengkungan sayap yang berawal dari tulang belakang Mack dan berakhir di kedua tulang belikatnya. Debaran jantung yang masih belum kembali normal membuat tangan Stella gemetar. Sebuah tato bukanlah hal yang buruk, tapi baru mengetahui hal ini setelah malam pertama mereka membuat Stella sedikit terguncang. Berapa banyak lagi hal yang tidak ia ketahui tentang Mack yang akan tersingkap.

    Mack berbalik, ia membelai wajah Stella lalu meraih rambutnya yang jatuh, menyelipkannya di belakang telinga. Cahaya dari luar membuat mata cokelat Mack nyaris transparan. Ia tersenyum jahil. “Kau belum pernah melihatku tanpa busana sebelum ini.”

  Stella menggigit bibir, entah mengapa menemukan tato itu pagi ini membuat darahnya berdesir tidak menyenangkan.

     “Kau tidak menyukainya?”

    Ia menggeleng. “Aku hanya sedikit kaget. Aku tidak menyangka bahwa orang sepertimu akan bertato.”

   Mack tersenyum. “Memangnya aku seperti apa?”

   Stella mengangkat bahu. “Kau tidak terlihat seperti berandalan.”

  “Apa aku terlihat seperti seorang berandalan karena aku bertato?”

  “Bukan itu maksudku.”

 Mata Mack menyapu wajah Stella, membaca setiap ekspresi yang diperlihatkannya.

“Apa ada hal lain yang tidak aku ketahui?”

Mack menatap Stella dan memperlihatkan keraguan yang walau hanya melintas selama sepersekian detik. Mack tersenyum kecil. “Mungkin,” katanya sambil mengangkat santai kedua bahunya. “Aku tidak tahu, tapi pernikahan akan selalu mengungkapkan sisi lain dari pasanganmu.”

Pernyataan Mack justru membuat Stella merasa semakin tidak karuan, namun ia lebih memilih untuk menelan kecurigaannya. “Kau benar,” katanya berusaha mengiyakan. Ia pun memberikan senyuman kecil dan berharap bahwa kekhawatirannya akan segera menghilang. “Apa arti di balik tato itu?” tanyanya.

Seolah sedang berpikir, Mack memandang langit-langit kamar. “Aku tidak benar-benar memikirkannya," jawabnya. "Tidak ada arti khusus.” Tatapannya beralih pada Stella yang berbaring di sampingnya. “Aku mendapatkan tato ini saat berusia enam belas tahun, saat perkataan teman jauh lebih penting dibandingkan perkataan orang tua atau guru." Ia terkekeh kecil, membuat suasana kamar lebih hangat, perlahan perasaan gelisah meninggalkan Stella. "Hampir semua anak laki-laki yang aku kenal saat itu mempunyai tato, jadi kupikir aku juga harus punya.”

Mendengar itu, Stella pun berpikir dan memberanikan diri untuk bertanya. “Anak-anak seperti apa yang bergaul denganmu di masa remaja?” Ia merasa terkejut bahwa banyak hal tentang diri Mack yang luput dari pemikirannya.

“Bukan anak-anak yang akan disukai guru.” Mata mereka bertemu, sekilas wajah Mack terlihat muram, namun ia tersenyum.

 “Apa kau menyesali tatomu?”

Mack tidak langsung menjawab. “Sejujurnya aku tidak terlalu peduli.”

Ia meraih Stella ke dalam pelukannya, mereka bergelung di bawah selimut dan menatap ke luar jendela. Stella tidak tahu apa yang dipikirkan suaminya, mungkin sama seperti dirinya. Mack pun barangkali telah menemukan hal lain dari diri Stella yang membuatnya tidak puas, atau ia tidak memikirkan apapun tentang kekurangan Stella seperti tato tak bersalah yang sanggup membuat hatinya mencelos. Atau Stella hanya terlalu paranoid. Apa yang lebih buruk dari sebuah tato? 

Ia meletakan kepala di dada Mack. Debur ombak menjadi nada konstan yang mengingatkan Stella bahwa saat ini ia tidak sedang berada di Krakas, kota kecil di tengah pulau Kalimantan, atau di rumah orang tuanya yang dikelilingi pepohonan. Suara hujan dari luar jendela adalah alasan mengapa ia berbaring berlama-lama di tempat tidur bersama Mack, bukannya berjalan menyusuri tepi pantai seperti yang direncanakan. Di kejauhan, sekelompok burung camar beterbangan ketika ombak menyapu tepi pantai. Seolah tidak jera, mereka kembali hinggap di sana dan mematuk di antara pasir pantai yang basah. Barangkali mematuk ikan-ikan kecil yang terbawa gelombang laut.

Stella mengangkat pelan tangan kirinya dan melihat cincin emas melingkari yang jari manisnya. Cincin itu bertengger di sana sejak tiga hari yang lalu. Apakah ia sungguh-sungguh telah menikah? Menikahi Mackenzie Pambudi, seorang pria tampan yang menjadi incaran banyak perempuan muda. Rasanya baru kemaren Stella mengiyakan lamaran Mack. Ia bahkan masih mengingat bau min dari napasnya atau mata cokelatnya yang memelas dan berhasil menyentuh jiwa Stella di siang terik bersejarah itu.

Stella ingat hari itu ia turun dari bus yang ditumpanginya dari salah satu kecamatan di pedalaman Kalimantan, tempat dimana ia mengajar. Stella berlari ke dalam pelukan pria itu. Mack memeluknya sangat erat dan membenamkan wajah di rambut Stella, menghirup napas dalam-dalam.

“Ada yang ingin kukatakan.” Suaranya terdengar serak. Ia melepaskan Stella.

Stella mengangkat kedua alisnya, namun mengikuti langkah Mack yang menuntunnya ke mobil.

Lima belas menit berlalu menuju rumah Stella, selama di dalam mobil Mack hanya fokus menyetir dan masih belum mengatakan apapun, ekspresinya sangat serius dan Stella pun merasa sangat khawatir. Apakah Mack akan menyampaikan kabar buruk atau mengakhiri hubungan dengannya. Kemungkinan yang terakhir sontak membuat hati Stella mencelos. Ia tersadar dari lamunanya dan menatap lekat wajah Mack, tetapi tidak berani bertanya.

Mereka sudah hampir sampai di rumah saat Mack tiba-tiba menepikan mobil ke bahu jalan. Jantung Stella nyaris copot, ia pikir mereka mengalami selip atau seseorang telah menyerempet mobil mereka. Ia tidak pernah melihat Mack setegang itu sebelumnya.

Ia melepas seat belt dan mengarahkan wajah pada Stella. “Kita telah berpacaran cukup lama.” Mack meneguk liur.

Jantung Stella tiba-tiba berdegup liar.

“Aku yakin kau telah mengenalku, sama seperti aku telah mengenalmu.” Ia berdehem. “Sekarang pekerjaanku bukan lagi masalah yang perlu dikhawatirkan, dan kuharap kau juga telah merasa puas dengan semua petualanganmu di desa." Ketenangan yang tadi ditunjukannya kini hilang. Mack mengusap wajah dengan frustrasi.

Stella menutup mulut dengan tangan, lalu mulai tertawa.

Mack melotot.

Stella menarik napas, namun gagal menahan senyum.

“Sudahlah,” kata Mack, berusaha mengendalikan kejengkelannya. “Stella Agnesia Kaharap, maukah kau menikah denganku?”

Tawa Stella langsung pecah. Ia memegang perutnya dan untuk beberapa menit berusaha mengendalikan diri. Ia pikir jika Mack melamarnya maka Stella akan menangis terharu, tapi ekspresi Mack membuatnya ingin tertawa. Dan kenyataan bahwa Mack tidak sedang mengakhiri hubungan mereka membuat Stella tertawa semakin nyaring.

“Aku serius.” Mack menatapnya jengkel.

Stella kembali menarik napas, kali ini ia memasang wajah serius. Tatapan Mack membuat jantungnya kembali berdetak dua kali lipat lebih cepat dari normal. Stella menggigit bibir, lalu bergumam, “Aku tidak tahu Mack.”

Mata Mack membelalak dan nada suaranya terdengar tidak senang saat ia berkata, “Kita sudah berpacaran hampir empat tahun. Jika kau tidak yakin padaku, kita seharusnya mengakhiri hubungan ini sejak lama.” Ia menyisirkan jari-jari ke rambutnya yang sangat pendek.

Senyum merekah di wajah Stella. “Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan jika aku tidak menikah denganmu.”

Mata Mack membelalak, kali ini bukan karena jengkel. “Kau serius?”

Ia mengangguk. “Jawabanku adalah ya.”

Mack langsung meraih Stella ke dalam pelukannya, lalu menciumnya sampai ia nyaris kehabisan napas.

Suara derai hujan yang semakin deras membuat Stella tersadar dari lamunannya. Ia bergelung, merapat ke tubuh suaminya. Mengenang semua itu lagi membuat Stella berpikir. Apakah ia menyesali keputusannya untuk menikahi Mackenzie Pambudi hanya karena sebuah alasan sepele? Mustahil.

Ia menyapukan jari-jari di sepanjang lengan Mack, apapun yang akan ia temukan nanti, Stella harap tidak lebih buruk dari sebuah tato.

***

Lihat selengkapnya