“Aku tidak butuh terapis!” teriak Stella saat Mack berusaha mengajaknya bicara. “Aku baik-baik saja.”
“Kau tidak sedang baik-baik saja Stella. Kau butuh pertolongan.” Mack berusaha mengendalikan kejengkelannya. Ia ingin membantu Stella menghadapi kesedihannya namun Mack selalu ditolak, tidak dibiarkan masuk sedikitpun dalam emosinya. Ia tidak tahu hal apalagi yang bisa dilakukan untuk meringankan penderitaan istrinya.
“Kau pikir aku gila!” Stella melipat tangan di depan dada, membuat payudaranya terlihat lebih besar.
Demi Tuhan Mackenzie! Mack nyaris mengumpat. Matanya tidak seharusnya terarah ke sana, tapi Mack tidak bisa menahan diri. Sudah lebih dari sebulan setelah kematian kedua orang tua Stella, istrinya itu menolak untuk melakukan apapun, termasuk tidur dengannya.
“Aku tidak berkata begitu.” Mack memijit batang hidungnya dengan frustrasi.
“Kalau begitu berhenti memaksaku untuk pergi ke terapis itu.”
“Dengarkan aku.” Mack melangkah ke arahnya. “Kau pikir ini mudah untukku. Kau pikir aku senang melihatmu seperti ini.” Ia memegang bahu Stella. “Mau sampai kapan kau akan menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar, menolak untuk bicara dan menghindari semua orang. Berhenti mengasihani diri sendiri.”
“Hentikan!” Stella berteriak. “Kau tidak tahu apa-apa Mack. Kau tidak mengerti perasaanku.” Bibir bawahnya mulai bergetar dan Mack tahu sebentar lagi Stella akan mulai menangis.
“Aku tidak bermaksud meremehkan perasaanmu atau menganggap mudah apa yang kau hadapi, tapi kau harus bisa melupakan kepedihanmu.”
“Aku tidak butuh terapis!” Ia memukul dada Mack dan menangis histeris. “Kau dan semua orang lainnya tidak mengerti kehilangan yang aku alami.” Ia kembali berteriak dan terus memukul Mack.
Ia meraih tangan istrinya yang masih memukulnya dengan liar. “Stella dengarkan aku.”
Mack mulai kehilangan kesabaran. Ia tahu kematian orang tuanya bukan sesuatu yang mudah bagi Stella, tapi Mack mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri. Stella menangis di malam hari dan mengurung diri di siang hari, membuat Mack frustrasi. Ia tidak tahan berada di ruangan yang sama dengan istrinya tanpa keinginan untuk menyeretnya ke terapis atau siapapun yang akan mengembalikan Stella yang ia kenal. Seseorang yang bersemangat, penuh tawa dan kehidupan. Seseorang yang bahkan bisa menertawakan hal kecil yang tidak lucu sekalipun. Tapi sarannya selalu Stella tolak. Mack tidak tahu sampai kapan ia bisa bertahan dalam keaadaan ini
Stella memberontak. “Lepaskan aku!”
Mack mempererat cengkramannya. “Stella!” Suaranya mulai meninggi.
“Lepaskan!” Stella memberontak dan menendang dengan membabi buta. Detik selanjutnya kaki Stella mendarat tepat di antara kedua kaki Mack.
Ia langsung melepaskan tangannya dan terjatuh ke lantai. “Sialan Stella!”
“Tinggalkan aku!” Ia berteriak lalu berlari ke lantai atas.
“Brengsek.” Mack melenguh kesakitan. Kali ini ia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Masa bodoh dengan semua pengendalian diri dan bersikap sebagai suami yang baik.
Setelah rasa sakit di antara kakinya perlahan menghilang, Mack bangkit dari lantai dan mengambil kunci mobil. Tidak ada gunanya berusaha meyakinkan istrinya untuk mendapatkan pertolongan, dan Mack tidak bisa tetap tinggal di rumah ini tanpa melakukan sesuatu yang akan ia sesali.
***
Mack merasa tenggorokannya terbakar sesaat setelah menenggak cairan terkutuk itu. Cairan yang masih belum dapat ia tolak hingga hari ini. Begini lebih baik, perlahan rasa sakit di kepalanya mulai menghilang.
Tindakan Stella malam ini adalah akhir dari kesabarannya. Ia tidak menikahi perempuan itu untuk ini. Dalam suka maupun duka. Mack tidak peduli.