“Sial!” Mack memegang kepalanya yang berdenyut menyakitkan. Ia mengerjapkan mata dan berusaha mengingat mengapa ia merasa seperti seonggok kain kotor sekarang. Ia mengumpat lagi saat kejadian tadi malam memenuhi kesadarannya.
Apa yang telah ia lakukan. Ia ingat mengejar Stella ke lantai bawah dan berusaha membujuknya, tapi perempuan itu terlalu keras kepala untuk mendengarkan. Ia mengurung diri di kamar tamu. Mack tidak bermaksud mendorong Stella atau menyakitinya. Tindakan refleks sialan yang selama ini berhasil ia pelihara ketika merasa terancam justru membawanya dalam ancaman lain. Kehilangan istrinya.
Mack ingin menendang diri sendiri jika itu bisa membuat keadaan lebih baik. Ketakutan di wajah Stella bukan sesuatu yang bisa ia abaikan. Ia tidak ingin istrinya itu mengartikan tindakannya sebagai kekerasan. Yang mana adalah kekerasan itu sendiri. Suara itu kembali mengejek Mack. Ia mengertakan gigi, melawan keinginan untuk berbicara balik pada pikirannya.
Bagaimana mungkin ia bisa tertidur dengan enaknya sementara istrinya ketakutan setengah mati. Ia harus meminta maaf kepada Stella sebelum semuanya terlambat. Ia akan meninggalkanmu. Jika Mack bisa meninju suara itu, maka sudah lama akan ia lakukan. Dengan panik Mack bangkit dari tempat tidur dan menghambur keluar kamar.
“Stella?” Mack memanggil, ia tidak menemukannya di kamar tamu. Mack membuka setiap ruangan, pergi ke halaman depan, bahkan ke ruang kerjanya, ia tidak melihatnya dimanapun. Mack menyisir rambut dengan frustrasi. “Stella?” panggilnya lagi.
Mack memasuki dapur dan terhenti. Istrinya duduk di meja makan dengan secangkir teh di hadapannya. Tatapan Stella tertuju pada titik kosong di tengah meja.
“Stella?” Mack memulai. Ia menyisir rambutnya lagi dan perlahan berjalan mendekat.
Stella mengangkat kepala dan melemparkan tatapan tajam padanya. Mack tidak bisa menebak, apakah amarah atau ketakutan yang ia lihat di sana.
Mack membuka mulut, “Aku… .”
Stella langsung bangkit dari tempat duduk begitu cepat hingga kursinya jatuh terjungkir, seolah suara Mack telah menyengatnya. Tanpa berkata apa-apa Stella meninggalkan Mack.
"Stella!" Mack mengikutinya menaiki tangga.
Stella mengabaikannya dan berjalan dengan tergesa-gesa, nyaris berlari. Ia meraih pintu kamar, berniat membantingnya di depan wajah Mack. Sebelum Stella dapat menutup pintu itu, Mack menahannya.
"Dengarkan aku." Mack mendorong pintu hingga terbuka, lalu mencengkram kedua lengan atas Stella dan memaksanya untuk melihat matanya.
"Jengan sentuh aku!" Stella menyentak tangan Mack dan menjauh. Sekarang kemarahan terlihat jelas di wajahnya.
Mack tidak mau mundur, ia meraih pergelangan tangan Stella. "Aku minta maaf."
"Kau pikir dengan meminta maaf semua masalah akan selesai!" Stella berusaha melepaskan diri. "Perlakuanmu padaku tidak bisa diterima!"
"Aku tidak bermaksud menyakitimu." Mack masih mencengkram pergelangan tangan Stella. Ia tidak siap melepaskannya dan Mack ingin meyakinkan istrinya itu bahwa apa yang dilakukannya semalam tidak akan terulang lagi.
Stella tertawa hambar. "Awalnya selalu begitu. Tidak bermaksud, tidak berniat, dan tidak akan mengulangi kesalahan adalah pernyataan yang akan selalu menjadi excuse. Apapun alasannya, kau telah menyakitiku.”
Mack merasa terpancing dan ingin mencium bibir merah muda itu untuk membungkamnya. Tapi ia justru berkata, “Aku tidak peduli kau berpikir apa, tapi aku serius bahwa apa yang terjadi semalam bukan karena aku ingin menyakitimu.”
Seolah tersulut emosi, Stella menatap tepat di mata Mack dan mendesis. “Sekali bajingan tetap bajingan.”
Seketika perkataan Stella menghantam Mack dan melukai egonya. Ia lupa bahwa dirinya sedang berusaha meminta maaf. Kini bukan penyesalan lagi yang ia rasakan tapi justru kemarahan. Tanpa sadar ia mencengkram pergelangan tangan Stella lebih erat.
"Apa maksudmu?" Mack memicingkan mata pada perempuan itu, yang ia pikir adalah orang yang tenang dan penuh pengendalian diri.
"Lepaskan aku.” Stella menarik tangannya dengan sia-sia. “Kau menyakitiku."
Mack tidak peduli. Ia merasa begitu marah pada Stella sehingga ia ingin menyakiti perempuan itu. "Katakan apa maksudmu," geram Mack.
Stella menatapnya dengan penuh kebencian. "Aku pikir aku menikahi pria dewasa yang dapat aku andalkan. Orang yang akan melindungiku dan ada untukku, tapi aku tidak menyangka kau begitu kasar, egois, pembohong!"
“Pembohong?” Mata Mack menyipit dengan kemarahan.
“Ya, pembohong,” tantang Stella, mengangkat dagu. Ia tidak terlihat setakut malam tadi, membuat kekesalan Mack memuncak.
“Kau tidak tahu apa yang kau katakan.”
“Oh aku tahu persis apa yang aku katakan. Berapa lama lagi kau akan berpura-pura dan menjadi seorang Mackenzie Pambudi yang sempurna."
"Kau tidak tahu apa-apa."
"Apa yang tidak aku ketahui? Bahwa kau suka mabuk-mabukan?"
"Cukup Stella!" Sekarang kesabaran Mack meninggalkannya, tanpa sadar ia melepaskan cengkramannya dan mengangkat tangan hendak melampiaskan emosinya.
Stella mengernyit dan memejamkan mata.
"Brengsek!" Mack mengambil benda terdekat dan melemparkannya ke seberang ruangan, pas bunga itu menghantam cermin di meja rias. Kepingan kaca berhamburan di lantai kamar.
Stella menjerit.
“Aku tidak ingin menyakitimu.” Mack menggeram dari dasar kerongkongannya. “Tapi kesabaranku ada batasnya.” Tangan Mack terkepal di sisi tubuhnya. Ia tidak ingin menyakiti atau membuat Stella ketakutan, tapi Mack juga tidak dapat menahan luapan kemarahannya.
Mereka berdiri saling menatap, bertarung dalam diam dan menimbang, langkah atau perkataan apa yang hendak mereka lemparkan kepada satu sama lain saat handphone Mack berdering, membuat keduanya menatap benda itu. Mack mengabaikannya, namun setelah deringan sialan itu tak kunjung berhenti, Mack akhirnya mengangkat panggilan itu.
Masih menatap Stella dengan mata menyala-nyala, Mack berkata, "Halo." Tidak berusaha menyembunyikan suaranya yang gusar.