Mack mengusap pergelangan tangan Stella dengan sangat lembut, seperti sapuan bulu halus, nyaris tidak menyentuh kulitnya. Matanya terarah pada bekas berwarna biru pada pergelangan tangan Stella.
"Apa ini menyakitkan?" Kali ini ibu jarinya menyentuh kulit Stella sepenuhnya. Gelombang penyesalan memenuhi hati Mack. Ia mengalihkan matanya dari tangan itu dan menatap istrinya. Sesaat Mack dapat melihat ekspresi yang dulu sering Stella tunjukan padanya, saat hubungan mereka jauh lebih menyenangkan.
Stella terpaku pada mata Mack, namun segera membuang muka dan bangkit berdiri.
"Stella." Mack meraih pergelangan tanganya lagi, takut kalau istrinya itu akan pergi seperti tadi pagi. Stella meringis dan Mack segera melepaskan tangannya. "Aku minta maaf."
Stella berjalan ke jendela dan membelakanginya. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang, tapi Mack terlalu putus asa untuk tidak berusaha meyakinkannya kali ini. Ia berjalan mendekati Stella.
“Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu.”
Tatapan Stella masih terarah ke luar jendela.
“Kau telah melewati banyak hal, dan aku minta maaf karena telah memperburuk keadaan.”
Stella berbalik dan melipat tangan di dada, kali ini Mack memfokuskan tatapannya ke wajah Stella.
Stella menyapu wajah Mack dengan matanya, seolah mencari kebenaran di sana. "Sejak kapan kau mulai mabuk-mabukan?"
Mack tidak tahu dari mana harus memulai dan seberapa banyak yang ingin ia sampaikan.
"Jawab aku Mack." Kemarahan Stella kembali muncul.
"Sejak sebelum aku mengenalmu.” Mack akhirnya mengakui. Ia melihat wajah Stella berubah, sama seperti hari dimana ia mendengar kabar tentang kecelakaan orang tuanya.
“Seberapa parah?” Suaranya hanya berupa gumaman.
Mack menimbang, cepat atau lambat bukankah Stella akan mengetahui kebenaran juga. Akhirnya ia berkata, “Seburuk yang bisa kau bayangkan.”
Air mata jatuh dari pelupuk matanya. “Kau membohongiku.”
“Aku tidak pernah membohongimu Stella.”
“Tidak membohongiku? Kau tidak pernah memberitahuku tentang kecanduanmu itu.” Stella mengibaskan tangan ke arahnya.
“Aku tidak pernah berniat untuk tidak memberitahumu.” Mack melangkah mendekati istrinya dan Stella tidak bergerak untuk menghindarinya. Kali ini Mack dapat dengan mudah menyentuhnya jika ia mau, tapi ia menahan diri. “Pada kenyataannya kita tidak pernah membicarakan banyak hal. Kita nyaris tidak pernah menghabiskan waktu bersama selama hampir empat tahun terakhir.”
Air mata Stella semakin deras, ia menggigit bibir untuk menghentikan isakannya. Mack tidak tahu perkataannya yang mana yang membuat Stella semakin emosional, kecanduan Mack atau kenyataan bahwa mereka tidak pernah membicarakan banyak hal selama ini. Apakah Stella merasa terjebak? Demi Tuhan Mack tidak pernah ingin melakukan hal buruk padanya, apalagi menjebaknya.
Melihat Stella menangis seperti ini membuat hati Mack pahit. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah istrinya, mengusap air matanya dengan ibu jari. “Aku minta maaf,” bisiknya.
Stella menggeleng dan menepis tangannya. “Kau menipuku.”
Remasan di hati Mack kini dua kali lipat lebih menyakitkan, dan ia melawan dorongan untuk meraih istrinya kembali, memeluknya, menciumnya, meyakinkannya bahwa semua yang ia lakukan sama sekali tidak dengan niat melukai Stella atau berbohong padanya. Ia ingin memperbaiki keadaan. Memperbaiki diri untuk Stella.
“Beri aku kesempatan.”
Stella menggeleng.
“Stella.” Mack nyaris memohon.
Stella menghindari tatapannya. “Aku tidak tahu Mack.”
Mack membuka mulut, namun ia tidak tahu bagaimana harus meyakinkan Stella. Ia sendiri tidak mempercyai dirinya sendiri saat ini. Walaupun terdengar sangat menyedihkan, bahkan di telinganya sendiri, Mack berkata, “Aku tidak akan mengulangi perbuatanku.”
Stella mengangkat wajah dan menatapnya, menembus jiwanya. Mencari kebenaran dari setiap kata-kata Mack.
Kini mereka berdiri sangat dekat, dan Mack bahkan dapat merasakan kehangatan dari tubuh istrinya. Matanya beralih ke bibir Stella. Gelombang keinginan yang selama ini ia tahan membanjiri sistemnya dan Mack tidak tahu bagaimana menghentikan dirinya sendiri. Tanpa sadar ia meraih rambut Stella dan menyelipkannya ke belakang telinga. Mack nyaris menghembuskan napas lega ketika Stella tidak menghindar.
Mereka masih saling menatap saat tangan Mack berpindah ke tengkuk Stella, membawa wajahnya lebih dekat. Sekarang ia dapat merasakan hembusan napas Stella di wajahnya. Wangi rambut yang dirindukan Mack memenuhi penciumannya, ia merasa terhilang dan detik berikutnya bibir mereka bertemu. Kedua tangan Stella kini berada di dada Mack. Ia menelusupkan jari-jarinya ke rambut tebal Stella, tangannya yang lain berada di pinggang istrinya itu, membawa Stella lebih dekat.
Mack nyaris terbang ke langit ketujuh saat tiba-tiba Stella mendorong dadanya, membuatnya terkesiap, nyaris kehabisan napas.
Mata Stella menyala-nyala. “Jangan pernah mencoba merayuku.” Ia meninggalkan Mack dan membanting pintu di belakangnya.
Untuk waktu yang lama, Mack berdiri terpaku.
***
Pagi ini Mack masih merasa frustrasi, karena sekali lagi Stella mengunci diri di kamar tamu dan berteriak padanya. Maminta Mack untuk meninggalkannya. Mack nyaris mendobrak pintu itu dan meyakinkan Stella untuk memaafkannya, mempercayainya dan memberi Mack kesempatan. Kapan perlu merayunya hingga Stella lupa pada kemarahannya sendiri.
Dengan kesal Mack membanting pintu mobil dan melaju di jalanan Krakas yang masih lengang menuju kantornya. Sekarang ketakutannya semakin bertambah, Ia takut Stella akan meninggalkannya. Ya, semenyedihkan kedengarannya. Tidak hanya Stella telah mengetahui temperamen Mack yang buruk, tapi juga masalahnya dengan alkohol. Selama ini ia selalu berhasil mengendalikan diri di hadapan perempuan itu, ia tidak menyangka bahwa pernikahan dapat membawanya pada level ini. Mereka tidak hanya terekspos secara fisik pada satu sama lain, tapi juga secara emosi. Mack takut bahwa akan lebih banyak hal dari dirinya yang tidak ingin ia ungkapkan pada siapapun akhirnya akan terungkap pada istrinya, mengubah pandangan Stella tentang dirinya dan meninggalkan Mack.
Ia tidak hanya menemukan cinta dan alasan klise lainnya untuk menikahi perempuan itu, tapi Stella berhasil membuatnya seperti manusia normal, punya arah dan tujuan hidup. Stella membuatnya merasa berarti dan diinginkan. Mack bahkan sempat berhenti mabuk sebelum kecelekaan itu, yang membunuh kedua mertuanya. Sekarang penolakan Stella membuat Mack tidak dapat berpikir dengan jernih dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Stella terus menunjukan sikap bermusuhan seperti sekarang, atau paling buruk, meninggalkannya.
Mack mencengkram setir mobil dengan kuat, sampai jari-jarinya serasa kebas. Ia mengabaikan satu atau dua lampu merah, bukan hanya karena tidak ingin berhenti tapi pikirannya tidak benar-benar berada di jalan.
Sebuah mobil dari arah berlawanan membunyikan klakson dengan nyaring dan Mack mebanting setir ke kiri hingga nyaris menabrak trotoar. “Brengsek!” Ia meninju setir dan menghantam tombol klakson. Mack mengumpat lagi berkali-kali ketika klakson itu berbunyi nyaring di jalanan yang lengang. Dengan kesal ia memacu kembali mobilnya dan melaju menuju kantor.
Mack masih belum pulih sepenuhnya dari perasaan jengkel, saat memarkir mobil di depan gedung kantor tiga lantai P&K Construction, perusahaan kontraktor dan arsitektur yang ia bangun bersama sahabatnya, Dean. Walaupun gedung itu modal pinjaman dari ayah Dean, dua tahun terakhir perusahaan mereka mulai menggeliat naik dan dilirik oleh beberapa pemilik proyek, termasuk pemerintah. Jika tidak bertemu Dean di bangku SMA, mungkin hidup Mack akan berakhir sebagai pecundang. Ia tidak akan mungkin melanjutkan pendidikan ke Fakultas Teknik atau membangun perusahaan seperti sekarang dan bertemu istrinya. Selamanya ia akan menjadi sampah masyarakat. Seperti ayahmu, kini suara itu mulai mengusik Mack, membuatnya semakin jengkel. Ia melampiaskan kejengkelannya dengan membanting pintu mobil saat ia keluar. Ia berjalan memasuki gedung, dan mengabaikan resepsionis yang menyapanya dengan senyum hangat. Mack terlalu marah untuk berbasa-basi.
"Ada jadwal apa hari ini?" tanya Mack pada Stefanie, sekretarisnya, ketika ia telah berada di lantai tiga. Mack berusaha bersikap senormal mungkin, walaupun darahnya masih panas dan pelipisnya berdenyut menyakitkan.
Perempuan bertubuh kecil itu mendongak dari komputernya dan tersenyum. “Selamat pagi Pak. Mohon tunggu sebentar, saya akan memeriksa jadwal.” Ia membaca agendanya. “Hari ini ada pertemuan dengan Ironwood Furniture pukul sepuluh di Meeting Room 2. Agendanya adalah untuk menandatangani nota kesepakatan pengadaan material kayu untuk perumahan pensiunan PNS yang sedang dibangun.” Stefanie lalu mengecek agendanya kembali. “Selain itu Bapak juga diundang untuk menghadiri makan malam, sekaligus pengumuman lelang proyek yang diadakan oleh Pemerintah Kota Krakas. Malam ini pukul 7 di Krakas Center."
"Malam ini?" Mack tidak ingat akan ada pengumuman lelang dalam waktu dekat.
"Betul Pak, beberapa waktu yang lalu Bapak meminta saya untuk mencatatnya dalam agenda. Kita mengajukan proposal untuk proyek Taman Hutan Kota."
Seolah syaraf-syarafnya telah terhubung kembali sesudah serangan emosinya pagi ini. Mack bergumam, “Oh, tentu saja.” Setelah apa yang ia lalui akhir pekan ini, semua agenda dan pekerjaannya terlupakan begitu saja. Mack merasa seperti orang bodoh, dan nyaris mengumpat lagi di depan sekretarisnya.
Seusai membahas beberapa detail jadwal hari ini dengan Stefanie, Mack masuk ke ruangannya. Belum lama ia duduk di belakang meja, Dean muncul sambil tersenyum.
Mack mendongak. "Ada apa dengan cengiran itu?"
Dean mengangkat bahu, masih dengan cengiran lebar di wajah. Ia duduk di sofa berwarna hitam merah di sisi lain ruangan yang berhadapan dengan Mack. "Apa Stefanie telah memberitahumu mengenai pengumuman lelang malam ini?"
Mack mengangguk. "Kenapa?"
"Aku harap kau tidak keberatan jika aku tidak ikut." Cengiran Dean semakin menjadi-jadi.