“Brengsek!” Mack melayangkan tinjunya ke setir mobil. Kemarahan masih menguasai sistemnya dan ia sangat ingin kembali ke dalam rumah dan memberi perempuan itu pelajaran. Dengan kasar ia membuka dashboard mobil dan mengambil sebotol vodka yang tersembunyi di sana. Ia tidak bisa menahan diri lagi dan mulai menenggak minuman itu seperti seseorang yang tidak minum setelah kehausan selama berhari-hari. Persetan dengan pengendalian diri.
Mack pikir setelah Stella setuju pergi ke acara makan malam pengumuman lelang itu bersamanya, maka keadaan di antara mereka akan membaik. Sudah seminggu Stella menghindarinya dan menolak bicara pada Mack, selama itu juga ia memilih untuk tidur di kamar tamu. Mack tidak tahu apakah Stella masih berkabung atau ingin menghukumnya atas tindak kekerasan dan kebohongan yang selalu ia tuduhkan pada Mack setiap kali ia mengajak istrinya itu bicara. Mack telah berusaha pulang cepat, membelikan Stella bunga atau hadiah kecil, meninggalkan untuknya pesan di kulkas, membelikannya vitamin dan blush on jika itu bisa membantu, bahkan mencoba membuatkannya sarapan walaupun Mack tidak pernah memasak sebelumnya. Semua itu ditolak Stella. Tidak ada satupun yang berhasil melunakan hatinya.
“Kau tidak perlu melakukan ini,” kata Stella pagi ini, sambil mengacungkan sekotak cokelat hitam kepada Mack, lalu melemparkannya ke dalam bak sampah di samping wastafel. “Atau ini.” Stella melakukan hal yang sama pada seikat mawar yang tadi malam diletakan Mack di atas meja, di depan pintu kamarnya.
Mack berusaha meredam rasa kecewa akibat penolakan Stella. Ekspresi perempuan itu dipenuhi kemarahan dan Mack sendiri ingin membuatnya mengetahui bahwa iapun sama marahnya seperti dirinya. Mack menarik napas perlahan, dan menjaga agar suaranya tetap datar. “Kau tidak menyukainya?”
Stella menghindari tatapan Mack dan mengepalkan tinju. Mack dapat melihat, kali inipun perempuan itu kembali membangun benteng pertahanan.
Mack mengalihkan tatapannya dari Stella dan meletakan piring nasi goreng yang telah ia masak di atas meja, rahangnya mengeras menahan amarah. Sebelum ia menjawab, Mack menarik napas tajam. “Aku sebaiknya pergi ke kantor sekarang.” Ia melangkah keluar dari ruang makan, tidak bisa berdiri lebih lama di hadapan Stella atau Mack akan menyerangnya dengan cara seorang pria biadab meperlakukan wanita.
Stella berbalik. “Mack.” Penyesalan mewarnai suaranya, tapi Mack tidak peduli. Egonya terlalu terluka untuk berbalik dan mencari tahu apa arti dari panggilan itu.
Kini Mack telah mengosongkan botol itu dan melemparkannya kembali ke tempat semula. Ia memasang seat belt, menyalakan mesin mobil yang langsung menderu di tengah keheningan pagi. Mack keluar dari garasi dengan kecepatan tinggi, menimbulkan suara berdecit tajam, kemudian melaju ke kantornya. Siapa yang peduli jika ia pergi ke tempat kerja dalam keadaan mabuk.
Kemarahan Mack kembali memuncak saat ia menemukan surat pengunduran diri Stefanie di meja kerjanya. Pengaruh alkohol semakin memperburuk temperamennya dan Mack sangat ingin melampiaskan kemarahannya pada sesuatu atau seseorang.
“Apa maksudnya ini?” Mack melemparkan amplop berwarna putih itu ke meja Markian, HRD yang sekarang membalas tatapannya dengan wajah khawatir. "Kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau Stefanie mengundurkan diri?"
"Saya minta maaf Pak, saya juga baru menerima pemberitahuannya pagi ini.” Markian menaikan kacamata yang melorot di hidungnya dengan gugup.
"Lalu sekarang apa yang akan kau lakukan?" Sergah Mack sambil menatap pemuda itu tajam. Ia merasa napasnya menderu seiring dengan memuncaknya emosinya. "Kau tahu betapa pentingnya sekretarisku, pengunduran diri seperti ini mengacaukan banyak hal."
"Saya benar-benar minta maaf Pak.” Markian semakin gugup, ia terdengar seperti seorang murid yang kedapatan menyontek oleh gurunya. “Saya sedang mencari penggantinya."
"Pastikan kau mendapatkannya segera."
"Baik Pak."
Mack hendak melangkah keluar dari ruang Markian saat ia teringat dan berbalik. "Apakah kontrak Stefanie sudah habis?"
Markian menelan ludah, tidak menduga bahwa Mack akan bertanya lagi. "Sebenarnya kontraknya masih setengah tahun lagi Pak. Tapi saya baru saja menerima pemberitahuan dari bagian keuangan kalau Stefanie telah mentransfer sejumlah uang, sebagai ganti rugi karena telah berhenti bekerja sebelum kontrak usai"
Mack menatap staffnya itu penuh tanda tanya. Stefanie telah bekerja bersamanya sejak P&K baru berdiri, perempuan itu tidak terlihat seperti seseorang yang akan mengakhiri kontrak secara sepihak seperti ini. Kerutan di dahi Mack semakin dalam. “Tolong cari tahu mengapa ia mengundurkan diri dari pekerjaannya.”
“Baik pak.” Markian terlihat lega setelah mendengar perubahan pada nada suara Mack.
Apapun alasannya, Mack harap bukan sesuatu yang akan menguji kesabarannya. Ia sudah cukup frustrasi menghadapi masalah pribadinya dan tidak ingin dipusingkan lagi dengan urusan pekerjaan. "Segera hubungi aku jika kau menemukan orang yang tepat untuk menggantikan Stefanie. Siapapun, aku tidak peduli."
"Baik Pak." Markian mengangguk.
Mack kembali ke ruangannya dan membanting pintu untuk melampiaskan rasa frustrasinya.
Ia meraih sebungkus rokok dari laci meja kerjanya dan menyalakan sepucuk Marlboro itu. Ia nyaris tidak pernah merokok lagi sejak sekian lama, tapi semua tekanan yang ia rasakan menuntut untuk dilepaskan. Mack ingin pergi ke bar atau ke manapun untuk segera menghilangkan suara-suara bising di kepalanya, membunuh rasa frustrasinya dan melupakan penolakan Stella atau pengunduran diri Stefanie yang tiba-tiba. Tapi ia harus cukup puas dengan menghisap rokok itu. Ia tidak bisa menambah kekacauan ini dengan bertambah mabuk lagi, tak peduli seberapa besarpun keinginannya untuk tenggelam dalam pengaruh alkohol yang mampu membuatnya berada dalam kendali.
Sambil menghisap rokoknya, Mack memijat pelipis ketika handphonenya berdering. Nomor baru yang tidak ia kenal terpampang di layar telepon genggam itu.
“Pak Mackenzie, ini Gunawan.” Mack mengenali suara adjudan Wali Kota Krakas itu. “Saya meminta kesediaan Bapak untuk dapat hadir dalam rapat darurat hari ini, di aula pertemuan kantor Wali Kota.”
Mack meletakan rokoknya di asbak, tiba-tiba perasaan gelisah menyergapnya, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Stella. Proses penggarapan proyek Taman Hutan Kota masih dianulir sampai waktu yang tidak dapat ditentukan, ia harap rapat kali ini akan memberinya kepastian. Menelan kegelisahannya, Mack berkata, “Tentu saja, pukul berapa?”
“Pagi ini pukul 11 Pak.”