The Pain of Yesterday

Lina A. Karolin
Chapter #6

Bab 6

"Stella.” Mack bergumam sambil terus mengeratkan pelukannya. Salah satu kakinya menindih kaki Stella, seolah sedang mencari kehangatan, terlepas dari kenyataan bahwa tubuh Mack terasa sangat panas.

"Apa kau marah padaku?" tanya Stella sambil memperhatikan raut wajah Mack, ia tidak terlihat semarah tadi dan Stella merasa lega.

Mack menatapnya untuk waktu yang sangat lama, membuat Stella merasa gelisah, ia berusaha untuk tidak mengernyitkan hidung ketika napas Mack yang berbau alkohol menyapu wajahnya. Dengan suara serak, Mack akhirnya berkata. “Awalnya.” Ia mengakui. “Pagi ini kau membuatku sangat marah.”

 Stella meneguk liur sambil membelai sisi wajah Mack, entah untuk menenangkan pria itu atau dirinya sendiri. “Apa itu yang membuatmu mabuk sekarang?”

Mack menatap mata Stella dengan tatapannya yang berkabut, seolah ia akan tertidur kapan saja. Mack menggeleng, lalu membenamkan wajah di leher Stella. "Ada sedikit masalah." Suaranya terdengar berat. Udara hangat dari mulut Mack menyentuh kulit leher Stella saat ia bicara.

"Masalah apa?" Stella memberanikan diri untuk bertanya. Mungkin Mack akan terbuka padanya saat ia sedang mabuk seperti ini.

"Kau ingat proyek Taman Hutan Kota yang berhasil kami menangkan?" Mack bergumam malas sambil mengelus sisi tubuh Stella dengan pelan. Meninggalkan jejak hangat di kulitnya. Napas Mack perlahan tenang.

"Iya, ada apa dengan proyek itu?"

Stella menunggu, tapi tidak mendapatkan jawaban karena Mack telah tertidur dalam pelukannya. 

Setelah memastikan bahwa Mack telah benar-benar terlelap, Stella melepaskan diri darinya, memindahkan kepala Mack ke bantalnya sendiri. Ia kemudian menatap wajah itu yang sekarang terlihat jauh lebih damai. Mack terlihat tampan saat sedang tidur, tapi sangat menyebalkan saat ia bangun.

Stella berbaring di sisi terjauh tempat tidur, tidak ingin mencium bau napas Mack, lalu berbaring memunggunginya. Ia bertanya-tanya, ada apa dengan proyek itu yang membuat Mack sangat gusar. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalanya membuat Stella gelisah, ia kemudian berbalik dan kembali memandangi wajah Mack yang terlihat tenang, seolah dengan menatapnya Stella akan mendapatkan jawaban.

***

Setelah Mack pergi bekerja keesokan harinya, Stella mengambil handphone dari atas meja. Ia menghubungi Dean, satu-satunya sahabat Mack yang ia ketahui.

"Stella?" kata Dean setelah deringan kedua. Suaranya terdengar tenang seperti yang Stella ingat.

"Hai, maaf meneleponmu pagi-pagi."

Dean tertawa. "Tidak masalah. Apa kabar?"

"Aku baik, terima kasih," jawab Stella agak tidak sabar. Sudah menjadi kebiasaan Dean untuk menanyakan kabarnya setiap kali mereka bertemu atau berbicara di telepon, tapi kali ini Stella tidak ingin berbasa-basi. "Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan."

"O ya? Tentang apa?"

"Ini tentang proyek Taman Hutan Kota"

"Oh. Kau tertarik dengan proyek itu?" Stella dapat mendengar senyum di suara Dean.

Stella mengabaikannya. "Apakah semuanya baik-baik saja?"

"Ya, kurasa kami baik-baik saja." Sekarang ia terdengar lebih serius. "Kenapa?"

"Aku hanya menebak, apa ada masalah dengan proyek kalian?"

Dean mendesah. "Pengerjaan proyek itu masih ditunda hingga waktu yang tidak dapat ditentukan." Ia terdiam sebelum melanjutkan, Stella membayangkannya sedang menggaruk dagu ketika ia sedang berpikir. "Dony Hartono menarik kembali lahan yang telah ia hibahkan untuk proyek tersebut." Dean tidak setertutup Mack jika menyangkut pekerjaan. "Mack tidak memberitahumu?"

Stella tertawa skeptis. "Kau tahu sahabatmu itu, ia tidak membicarakan banyak hal yang dipikirnya tidak perlu aku ketahui. Aku yakin ia berpikir bahwa ini adalah urusan laki-laki."

"Tipikal Mack," timpal Dean, ia mengatakannya nada mengejek. "Kami sedang berusaha bernegosiasi dengan Dony Hartono, tapi tampaknya pria tua itu telah memutuskan untuk menyerahkan lahannya pada SS Plantation."

"SS Plantation?"

"Sebuah perusahaan sawit, salah satu yang terbesar di Kalimantan. Lahan itu hampir berada di tengah kota Stella, aku tidak percaya Dony Hartono berpikir bahwa pohon sawit jauh lebih indah dibandingkan sebuah taman hutan kota."

"Taman hutan kota terdengar jauh lebih baik dibandingkan kebun sawit."

"Aku tahu."

"Dean, aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa bahwa kau melangkahi Mack dalam hal ini.” Stella berkata dengan hati-hati. Ia berharap Mack tidak salah paham jika ia mendapati bahwa istrinya bertanya tentang urusan pekerjaan pada sahabatnya. “Apa kau keberatan untuk menjelaskan lebih detail tentang proyek taman hutan kota ini padaku?"

Dean terdiam sebelum akhirnya menjawab. "Aku tidak keberatan untuk menceritakan detail proyek ini, tapi kenapa kau bertanya?"

Walaupun Dean adalah sahabat Mack, Stella tidak ingin membahas urusan rumah tangganya pada siapapun, termasuk pada Dean. "Katakan saja seorang istri sedang berusaha untuk membantu pekerjaan suaminya."

Dean tertawa. "Baiklah, aku harap kau tidak sedang merencanakan sesuatu." Kemudian ia menjelaskan tentang proyek itu pada Stella.

Setelah mengakhiri pembiacaraan dengan Dean, Stella bergegas ke lemari dan mencari tas tangannya. Ia mencari-cari di antara dompet dan beberapa kartu yang terabaikan di dalam tas tangan itu dan menemukan kartu yang dicarinya. Stella mengetik kontak Mira Hartono di handphonenya.

"Hallo?" Suara Tante Mira terdengar bertanya dan Stella merasa lega bahwa wanita itu mengangkat panggilannya.

"Tante Mira, ini Stella Pambudi."

"Stella!" Seru wanita itu, nada mengenali mewarnai suaranya. "Ini adalah suatu kejutan, aku tidak menduga kau akan menelepon, tapi aku senang kau akhirnya menghubungiku."

Stella memindahkan telepon genggam itu dari telinga kiri ke telinga yang lain. "Aku minta maaf karena telah menelepon Tante tanpa pemberitahuan terlebih dahulu."

Tante Mira tertawa kecil. “Kartu nama yang aku berikan padamu itu adalah kartu nama khusus dengan nomor pribadiku, tidak banyak yang mendapatkannya, jadi aku langsung tahu bahwa hanya orang-orang yang aku kenal yang akan menghubungi kontak ini. Anyway, apakah ada yang ingin kau bicarakan padaku?”

Stella tersenyum seolah Tante Mira dapat melihatnya. “Iya Tante, ada yang ingin aku bicarakan secara pribadi, aku harap Tante tidak keberatan jika kita bertemu dan bicara secara langsung."

Tante Mira terdengar sangat senang. "Setelah malam lelang itu aku telah lama menanti kesempatan untuk bertemu denganmu lagi Stella. Ada hal penting yang juga ingin aku bicarakan padamu."

Lihat selengkapnya