Walaupun hari ini Mack masih harus dipusingkan dengan telepon yang berdering setiap dua puluh menit sekali, mengatur ulang jadwal dan mengerjakan paper work yang terabaikan sejak pengunduran diri Stefanie, paling tidak untuk saat ini ia tidak harus memikirkan keadaan rumah tangganya. Stella masih tertidur lelap saat Mack meninggalkannya pagi tadi. Ia tidak tahu yang mana yang ia sukai, Stella yang marah-marah atau Stella yang mabuk. Setelah sekian lama ditolak, Mack merasa bahwa malam tadi hubungan mereka kembali membaik. Walaupun kata mabuk membuatnya merasa ironis, tapi Stella yang berada di bawah pengaruh alkohol mungkin jauh lebih baik.
Mack kembali fokus pada pekerjaannya dan menyingkirkan berkas proyek Taman Hutan Kota dari meja dan berusaha menyelesaikan pekerjaan lain untuk mengalihkan kekesalannya pada Dony Hartono. Hingga pagi ini Om Dony menolak menerima teleponnya atau membalas emil yang ia kirim. Setelah sekian kali bekerja sama dengannya, Mack pikir pria tua itu akan bisa menghilangkan sikap serakahnya yang seringkali merugikan banyak orang. Tapi kali ini pun Om Dony memilih tawaran yang jauh lebih menggiurkan dibandingkan proyek yang telah ia sepakati itu.
“Mack!”
Mack mendongak dari laporan pembangunan yang sedang ia pelajari saat Dean muncul di ambang pintu. Ia mengangkat salah satu alisnya. Usianya dan Dean tidak jauh berbeda, tapi entah mengapa kadang saabatnya itu bisa bersikap seperti seorang adik kecil. Muncul tiba-tiba di saat yang tidak diinginkan.
“Apa kau tidak masalah jika aku menerima satu lagi klien di luar proyek yang sedang kita kerjakan?”
Sekarang kedua alis Mack bertautan.
Dean memperlihatkan deretan giginya dalam suatu cengiran lebar, seperti Tom dalam Tom and Jerry. “Kau ingat perempuan yang aku kencani beberapa hari yang lalu?”
“Ya?” Sekarang Mack meletakan berkas di tangannya ke atas meja dan memperhatikan Dean sepenuhnya.
“Ia memintaku untuk mendesign sebuah bangunan untuk butiknya.”
Mack mengedipkan mata beberapa kali. “Apa kau harus bertanya padaku mengenai hal ini?”
Dean mengangkat santai kedua bahunya. “Aku tidak tahu. Kupikir aku harus bertanya, terutama seberapa banyak pekerjaan yang bisa aku ambil di luar pekerjaan dari perusahaan.”
Mack menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Jika menyangkut urusan wanita, kadang-kadang Dean bisa terdengar sangat bodoh. “Klien,” kata Mack sambil membuat tanda kutip dengan jari-jarinya. “Artinya membayar. Apa kau menawarkan diri secara gratis atau memintanya membayar jasamu?”
Dean terlihat ragu. “Aku menawarkan diri secara gratis,” katanya pada akhirnya.
“Kau tidak perlu bertanya padaku kalau begitu.”
Dean mengerutkan kening.
“Kau bisa mendesign sebanyak mungkin bangunan untuknya jika itu bisa membuatnya lebih kagum lagi padamu." Mack kembali membaca laporan di atas mejanya.
“Hmm… itulah yang sekarang sedang aku lakukan. Aku berusaha mengimpresinya dengan menawarkan diri untuk merancang butik itu.” Mack mendengar Dean berkata pelan, seolah sedang bicara pada diri sendiri.
Ruangan itu kini hening. Mungkin sekarang Dean sedang menyusun strategi untuk merayu siapapun perempuan itu, atau ia sudah pergi dari ruangan Mack. Mack mengangkat kepala untuk memastikan keberadaan Dean dan menemukan sahabatnya itu masih di sana, matanya terarah ke luar jendela, tenggelam dalam lamunan. Mack kembali ke berkasnya.
“Mack?”
Mack kembali mengangkat wajahnya dan menatap Dean, kali ini ia terlihat serius.
“Apa ada kabar dari Dony Hartono?”
Mack mendesah dan sekali lagi meletakan berkas yang sedang ia baca ke atas meja. Ia menggeleng. “Dony Hartono tidak bergeming, Pemerintah sekalipun sepertinya tidak bisa mencegah pria itu dari menarik kembali lahannya.”
“Apa kau tidak ingin melakukan sesuatu terhadapnya?”
“Seperti apa?”
“Menindak Dony Hartono secara hukum. Bukankah ia telah melanggar kesepakatan.”
Mack menghela napas panjang. “Kita bisa menuntutnya, tapi saat ini yang lebih berwenang adalah pemilik proyek dan penanam modal. Jika mereka tidak melakukan apa-apa, maka kitapun tidak dapat berbuat banyak.” Mack teringat malam dimana ia memporak-porandakan ruang duduk di rumahnya. Sekarang ia merasa tindakannya itu sangat bodoh dan kekanak-kanakan. Tak peduli seperti apa kemarahan yang Mack tunjukan pada pria itu, tampaknya tidak akan bisa membuat Om Dony mengubah pendiriannya. Yang perlu ia pikirkan sekarang adalah rencana antisipasi atas kerugian yang mungkin akan mereka alami seandainya proyek ini gagal.
Dean termenung sebelum berkata, “Kemarin pagi Stella meneleponku.”
Kali ini perhatian Mack tertuju pada wajah Dean. “Apa yang ia bicarakan denganmu?”
“Sepertinya ia tertarik pada proyek Taman Hutan Kota itu.”
Mack hendak bertanya lagi saat tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Ia mengalihkan tatapannya dari wajah Dean ke daun pintu dan berkata, “Masuk.”
Markian muncul di ambang pintu. “Mohon maaf menginterupsi Bapak,” katanya. “Saya telah menerima berkas pelamar untuk posisi sekretaris. Ada satu kandidat yang memenuhi hampir semua kualifikasi, saya pikir sebaiknya Bapak mempelajari berkasnya terlebih dahulu.” Markian meletakan sebuah map berwarna merah di atas meja Mack.
Mack membuka map itu dan melihatnya sekilas tanpa benar-benar membaca isinya. “Jika menurutmu orang itu memenuhi kualifikasi, sebaiknya kau segera panggil saja untuk wawancara.”