Stella terbangun dan melihat Mack sedang berpakaian.
"Kau mau ke mana?" Ia melihat jam di sisi tempat tidur yang menunjukan pukul 7 pagi dan membuatnya terkesiap kaget. Stella buru-buru mengendalikan ekspresinya. Di antara hari-hari langka lainnya, kali ini ia bangun telat lagi.
Mack tersenyum yang jarang ia lakukan, sambil mengancing kemejanya. "Aku akan ke kantor hari ini." Suasana hati Mack pagi ini nampaknya sedang dalam keadaan baik.
Stella mengerutkan kening, "Di hari Sabtu?"
"Dean dan aku sedang menyelesaikan suatu pekerjaan." Ia mengambil tas kerjanya dari meja di dekat pintu kamar.
Stella menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan memperlihatkan gaun tipis yang ia gunakan. Ia melihat mata Mack sesaat menulusuri tubuhnya namun segera beralih ke tas yang ia pegang untuk memeriksa isinya.
Beberapa hari terakhir suasana di rumah kembali normal dan Stella merasa lega bahwa mereka bisa kembali seperti saat pacaran dulu, tanpa pertengkaran atau saling menghindar, lebih tepatnya ia tidak lagi menghindari Mack. Mack pun tidak pernah pulang dalam keadaan mabuk atau marah dalam minggu ini.
"Aku mengundang tamu untuk makan malam bersama kita malam ini," kata Stella lalu berjalan ke meja rias untuk menyisir rambutnya yang kusut. Semalam tangan Mack tidak meninggalkan rambutnya sama sekali, suatu kebiasaan yang baru ia temukan satu minggu terakhir.
Mack mengangkat kepala dari tasnya, salah satu alisnya terangkat. "Tamu?"
Stella membalas tatapan Mack yang terpantul di cermin. "Aku mengundang Tante Mira."
Mack masih mengamatinya dari seberang ruangan, raut wajahnya kini berubah tidak senang. “Apa kau mengundang suaminya juga?”
Stella berbalik dari cermin dan menatap suaminya itu lngsung. "Malam ini ia akan datang bersama istrinya.”
Mack mendesah. “Itu bukan ide yang bagus.”
“Kenapa?” Stella berusaha membuat suaranya terdengar sesantai mungkin.
Mack kini meletakan tasnya kembali ke meja. Untuk sesaat ia terdiam seolah mempertimbangkan jawabannya. “Pria itu telah membatalkan perjanjian penyerahan lahan untuk proyek Taman Hutan Kota. Makan malam bersamanya bukanlah ide yang bagus."
"Bukannya ini akan menjadi kesempatan yang baik untuk berbicara padanya." Stella sadar Mack tidak senang, tapi ini adalah rencananya, apapun yang terjadi Mack harus setuju. Demi proyek itu.
Mack mendengus. "Tidak semudah itu, ia pria tua rakus yang rela membatalkan parjanjian yang melibatkan hukum sekalipun. Kami telah menyiapkan diri untuk mengajukan tuntutan padanya. Makan malam di rumah ini dengan pria itu bukan hal yang akan menyenangkan." Kemarahan kini terlihat jelas di wajah Mack.
Dengan perlahan Stella meletakan sisir di atas meja, ia menghela napas panjang dan memasang wajah sebaik yang bisa ia usahakan di saat sikap membantahnya hendak mengambil alih. Mack tidak akan melemah jika ia juga bersikap keras. Stella melangkah mendekati suaminya itu yang sekarang menatapnya penuh tanda tanya. Stella memberanikan diri untuk menyentuh tangan Mack dan menatap matanya.
"Aku minta maaf, jika kau merasa gusar pada Om Dony." Stella berkata dengan lembut, sekarang tangannya beralih ke wajah Mack dan menyentuh rahangnya dengan ujung jari-jarinya. "Aku janji, makan malam ini tidak akan seburuk itu." Ia berjinjit lalu mencium bibir Mack.
Untuk sesaat Mack hanya berdiri mematung, menatap Stella dengan mata bingung.
Stella tersenyum. "Tolong jangan pulang larut malam ini."
Mack mengerjapkan mata beberapa kali sebelum berkata, "Sebaiknya aku segera pergi."
***
Jam dinding di atas pintu masuk yang memisahkan ruang duduk dan ruang makan telah menunjukan pukul 6.20 saat Stella memastikan meja makan telah tertata dengan rapi dan semua hal yang dibutuhkan tersedia. Ida yang sejak pagi membantunya untuk menyiapkan makan malam itu meletakan hidangan di atas meja, lalu kembali ke ruang belakang.
Stella kembali melihat jam, kali ini ke jam di microwave, dalam waktu beberapa menit lagi pasangan Hartono akan tiba dan Mack belum menunjukan tanda-tanda akan pulang. Ia meraih handphonenya yang terletak di atas counter di antara ruang makan dan dapur, mencoba menghubungi telepon genggam suaminya. Mack tidak mengangkat teleponnya. Stella mendesah, menarik napas perlahan lalu kemudian menghubungi Dean, satu-satunya solusi yang dapat ia pikirkan saat ini.
"Stella?" kata Dean setelah deringan ketiga.
"Apakah kau berada di kantor?"
"Iya?" Nada Dean terdengar seolah bertanya.
"Apakah Mack juga ada di sana?" Sekarang Stella menarik-narik ujung rambutnya, menahan kegelisahan yang kini membuatnya awas.
"Iya, dia di ruangannya, sedang berbicara dengan Gemma."
"Gemma?" Stella mengerutkan kening, ia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya.
"Sekretaris baru Mack."