The Pain of Yesterday

Lina A. Karolin
Chapter #9

Bab 9

"Aku akui kau beruntung memiliki istri yang dapat berpikir dengan baik," kata Om Dony dengan wajah datar. Mereka meninjau lokasi proyek taman hutan kota yang sejauh mata memandang hanya terlihat lautan hijau tak berujung.

Mack berusaha tersenyum, tidak benar-benar ingin menanggapi pria tua itu. Sejak makan malam itu ia melihat sisi lain dari diri Stella, cara istrinya memandang situasi yang dihadapi oleh perusahan dan bagaiman ia mengambil langkah berbeda untuk mencapai suatu kesepakatan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya oleh Mack. Tentu saja Om Dony akan mendengarkan apapun yang dikatakan oleh Mira Hartono.

"Aku tidak pernah berpikir bahwa Mira Hartono memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap suaminya," komentar Dean saat mereka kembali dari rapat yang diadakan oleh Wali Kota seminggu yang lalu, setelah Om Dony mengeluarkan surat pernyataan pada tim proyek bahwa ia telah menghibahkan lahannya yang seluas seratus hektar itu. Rapat itu dilakukan untuk kesepakatan akhir dan memutuskan waktu pelaksanaan proyek.

"Istrinya adalah kelemahan pria itu," jawab Mack sambil menatap layar komputernya. Setelah lahan itu resmi diserahkan untuk taman hutan kota, Mack merasakan kepastian yang tidak ia rasakan sebelumnya. 

"Kurasa kita harus berterima kasih pada Stella," kata Dean pelan. 

Mack mengangguk. Ia tidak pernah berpikir bahwa Stella tertarik pada pekerjaannya dan ia merasa kecurigaannya, lebih tepatnya kecemburuannya pada Dean beberapa waktu yang lalu sama sekali tidak beralasan. Kini ia mulai melihat bahwa Stella yang dulu membuatnya jatuh cinta perlahan kembali.

Sejak menikah, tanpa ada diskusi, Stella memutuskan untuk tinggal di rumah dan berhenti dari pekerjaannya yang diakui Mack membuatnya senang dengan keputusan tersebut. Tanpa benar-benar memikirkannya sebelumnya, Mack menyadari bahwa ia sering membayangkan bahwa Stella akan menunggunya di rumah setiap malam sepulang bekerja, yang memberikan perasaan stabil pada dirinya. Ia merasa ada alasan untuk pulang ke rumah tanpa harus berhenti di club malam. Mack yakin bahwa menikahi Stella adalah solusi terbaik untuk mengatasi kecanduannya, atau lepas dari masa lalu yang coba ia kubur dalam-dalam.

Kematian kedua orang tua Stella yang mendadak justru membuat Mack kembali pada kebiasaan mabuk-mabukannya. Saat itu ia merasa bingung, terombang-ambing dengan perubahan sikap Stella yang tiba-tiba. Mack berusaha memahami perubahan sikap istrinya itu, tapi ia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan karena yang ia tahu satu-satunya cara untuk menghadapi tekanan dan masalahnya adalah dengan cara mabuk-mabukan. Saat menemukan Stella dan sikap murungnya, Mack belum siap dan ia justru merasa marah, tidak tahu bagaimana memperbaiki keadaan.

Menyadarkan Mack dari pikirannya, Om Dony berkata. "Pembicaraan pada makan malam itu membuat aku berpikir kembali tentang kegunaan lahan ini." Tatapannya mengarah ke hamparan hijau di hadapan mereka. "Tentu saja dengan dorongan Mira, aku merasa bahwa memberikan tanah ini untuk Proyek Taman Hutan Kota adalah hal yang tepat untuk dilakukan."

Mack yakin bahwa Tante Mira tidak hanya mendorong pria itu, barangkali memaksanya untuk menandatangani surat izin pelepasan lahan itu. "Bukankah sejak awal om telah menyetujui pembebasan lahan ini untuk proyek tersebut," jawab Mack. Dari sudut matanya ia dapat melihat Dean sedang berbicara pada Wali Kota dan beberapa staffnya.

Om Dony tidak langsung menjawab, pria itu seolah berusaha melihat apa yang belum kelihatan di hadapannya. Mereka berdiri di salah satu puncak bukit berbatu dimana lokasi taman hutan kota akan dibangun. Mack memicingkan matanya ke kejauhan, bukan pepohonan raksasa seperti yang banyak terdapat di hutan Kalimantan yang sekarang ada di hadapan mereka, tapi hanya pohon-pohon kecil dan bukit berbatu. Pohon-pohon raksasa itu hampir semua telah ditebang sejak puluhan tahun yang lalu, entah berapa lama waktu yang diperlukan untuk membuat tempat ini menjadi hutan kembali. Hutan yang sesungguhnya, dimana tanaman dan hewan endemik Kalimantan dapat hidup dan tinggal dengan aman.

Om Dony tertawa pelan, membuat Mack berpaling padanya. Kening pria itu berkerut saat ia berkata, "Kadang apa yang terlihat benar untuk dilakukan tidak selalu sesuai dengan kebenaran itu sendiri. Dengan semua hak yang kumiliki atas tanah ini, aku bisa melakukan apa saja dan memberikannya kepada siapa saja. Tapi, memberikan lahan ini untuk proyek yang kau menangkan itu mungkin adalah hal yang benar yang aku lakukan sebelum aku mati. Seperti yang Mira sering katakan." Ia tertawa sekali lagi, hanya saja kali ini dengan keceriaan. Seolah dengan memikirkan istrinya, pria itu menjadi jauh lebih bahagia dengan keputusan yang telah ia ambil. Antara uang dan melakukan apa yang benar, terkadang garis pemisahnya begitu tipis.

***

Dari dinding kaca yang memisahkan ruangan Pak Mack dan ruangan tempat Gemma berada saat ini, ia dapat melihat pria itu sedang berbicara pada Dean. Tatapannya terarah pada layar komputer saat sahabatnya itu berbicara padanya. Seperti pada hari-hari lainnya, ekspresi Mack terlihat serius. Sekalipun Dean tersenyum lebar, ia tidak membalasnya dengan keceriaan yang sama. Hati Gemma mencelos, ia memaki diri sendiri ketika menyadari bahwa untuk kesekian kalinya hari ini ia mencuri pandang pada bosnya itu.

Ok Gemma, dia adalah pria beristri, jangan pernah sekalipun berpikir macam-macam, batinnya. Ia berusaha fokus pada laporan hasil survey lahan proyek yang mereka lakukan hari ini. Namun pikirannya kembali pada Mackenzie Pambudi, pada ciri-ciri fisik pria itu beserta kepribadiannya yang membuat Gemma tidak dapat fokus pada apa yang sedang ia kerjakan.

Gemma tidak tahu apa yang membuat Mack berada di pikirannya selama beberapa minggu terakhir, atau lebih tepatnya sejak hari pertama ia bertemu dengannya. Dari kejauhan Mack adalah pria yang sangat fokus pada pekerjaannya, memiliki tujuan dan goal yang jelas. Ia memiliki jiwa kepemimpinan yang diakui Gemma sangat ia kagumi. Mack membangun perusahaannya bersama Dean dari nol hingga seperti sekrang ini, dan tentu saja tubuhnya yang jangkung dan macho, bahu dan dadanya yang bidang, membuat hati Gemma semakin gundah gulana. Dengan semua kepribadian dan ciri-ciri fisik yang dimiliki oleh Mackenzie Pambudi, apalagi yang kurang dari seorang pria. Perasaan yang sejak lama berusaha Gemma tepis kini kembali mencuat dengan kekuatan penuh, membuat perutnya bergolak.

Saat memikirkan semua itu, tiba-tiba Gemma merasa kesedihan melandanya. Tanpa dapat dijelaskannya, ia merasa perih hanya dengan memikirkan bahwa Mack telah menikah. Lebih tepatnya menikah dengan seorang perempuan yang sangat cantik, berwibawa, terlihat sangat dewasa, dan cerdas seperti Stella Pambudi.

Gemma tidak tahu, apakah Mack adalah seorang pria menikah yang bahagia. Dari apa yang ia saksikan saat makan malam di rumahnya beberapa waktu yang lalu, entah bagaimana Mack dan istrinya terlihat sangat formal di antara satu sama lain. Walaupun Stella begitu ramah, bahkan mengajak Gemma berbicara setelah makan malam usai. Ia dapat merasakan bahwa ada ketegangan di antara keduaya. Apakah Mack merasa bahagia bersama Stella? Atau sebaliknya? Terlepas dari itu semua, Gemma akui Stella adalah seorang wanita yang memiliki pikiran yang tajam. Selama beberapa minggu Dony Hartono membuat Mack, Dean dan tim proyek uring-uringan, sepertinya salah satu pria terkaya di Krakas itu tidak akan mengubah keputusannya mengenai lahan proyek tersebut. Namun setelah makan malam itu, beberapa hari kemudian Gemma mendapati bahwa proyek mereka akan segera berjalan dengan adanya izin pelepasan sekaligus penyerahan lahan dari Dony Hartono. Tentunya Stella berperan penting dalam hal itu. Tiba-tiba Gemma merasa bahwa dibandingkan dengan Stella Pambudi, ia tidak ada apa-apanya.

***

Tante Diana berdecak jengkel sambil berkacak pinggang saat ia menyambut Stella di pintu depan rumah Belda. "Aku tidak percaya Mack melewatkan piknik keluarga ini," katanya gusar.

Stella tersenyum kecil. "Mack sedang sibuk tante."

"Ah alasan basi," kata mertuanya itu sambil mengibaskan tangannya tidak sabar. Ia kemudian menatap Stella, ekspresi dan nada bicaranya tiba-tiba berubah lembut saat ia berkata, "Bagaimana kabarmu sayang?" Disusul dengan cipika cipiki. Walaupun hari ini hanya piknik keluarga biasa di halaman belakang rumah Belda dan Khen, penampilan Tante Diana begitu rapi dan formal dalam balutan gaun putih bercorak bunga berwarna biru pada roknya, seolah ia hendak pergi ke kondangan. Rambut ikalnya, yang walaupun di usia lima puluhan masih terlihat tebal, ditata rapi dalam sanggul elegan.

"Kabarku baik tante," jawab Stella singkat. Ia mengikuti mertuanya itu ke halaman belakang, dimana piknik dilakukan. Mereka melewati ruang duduk Belda dan Khen dimana terdapat sebuah TV berukuran besar menempel di salah satu sisi ruangan persegi itu, sebuah sofa empuk berwarna krem dan bantalan senada terletak membelakangi sisi lain ruangan yang didominasi oleh foto pernikahan iparnya itu. Ini adalah kali pertama Stella berkunjung ke rumah mereka yang baru setelah ia menikah dengan Mack. Mereka melewati rak buku berwarna putih yang dihiasi dengan bunga hidup dan foto yang memisahkan ruang duduk dan ruang makan.

Lihat selengkapnya