Stella berdiri di depan cermin kamar mandi yang berkabut sambil menatap pantulan dirinya. Tanpa sadar ia menatap perutnya yang rata dan berpikir, bagaimana rasanya mengandung seorang manusia di dalam dirinya. Stella kemudian melihat payudaranya, dan membayangkan bagaimana rasanya menysui seorang bayi. Bayi sungguhan, bukan boneka seperti yang sering ia mainkan ketika masih kanak-kanak. Apakah ia menginginkan seorang bayi sekarang. Cepat-cepat ia menepis pikiran itu, malam ini ia memiliki tujuan berbeda yang tidak ada hubungannya dengan bayi.
Dengan perlahan Stella menyisir rambut hitamnya yang sekarang telah sampai ke pertengahan punggung, mungkin sebaikanya ia memotong saja rambutnya, barangkali Mack tidak akan setuju. Stella mendesah, apakah ia juga harus menanyakan pendapat suaminya tentang urusan rambut. Ia kemudian keluar dari kamar mandi dan mengenakan gaun tidur tipis berwarna merah hati yang dihadiahkan oleh Tante Diana di hari pernikahannya dan Mack. Stella belum pernah mengenakan gaun itu sebelumnya, tapi rencananya malam ini nampaknya perlu usaha lebih. Stella kemudian memakai lotion di seluruh permukaan kulitnya, dan menunggu Mack pulang. Ia harap malam ini suasana hati suaminya tidak dalam keadaan buruk.
Stella duduk di tepi tempat tidur sambil membaca sebuah buku saat Mack memasuki kamar. Ia mendongak dari bukunya. “Kau pulang larut,” katanya, lalu meletakan buku itu di atas meja di sampingnya.
Mack meletakan tas kerjanya di atas sofa di kaki tempat tidur, terlihat lelah. Tidak ada tanda-tanda kemarahan atau ekspresi gusar di wajahnya, yang artinya pekerjaan Mack berjalan lancar atau Stella tidak melakukan sesuatu yang akan menyulut emosinya.
"Kupikir kau sudah tidur," suara Mack terdengar serak, seolah ia sedang bicara dalam lamunan. Stella melihat mata pria itu terarah ke gaun tidurnya yang tersingkap dan memperlihatkan kulit pahanya. Mack menelan liur.
"Aku menunggumu," jawab Stella sambil tersenyum. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah Mack.
Mata suaminya itu mengikuti setiap gerakan Stella.
Saat telah berdiri cukup dekat, Stella melingkarkan tangan di leher Mack. "Apa kau merasa lelah?" Ia kemudian memijat pelan bahunya.
Mack membalas tatapannya dengan raut bertanya, tapi tidak mengatakan apapun.
Stella berjingkit lalu mencium bibir Mack dengan lembut. Ia menatap sepasang mata cokelat itu, yang sekarang terlihat bingung tapi juga penuh antisipasi.
Stella kemudian menyentuh dada Mack, kemudian dengan perlahan membuka kancing kemejanya.
"Apa yang kau lakukan?" Tangan Mack menangkup tangan Stella yang sekarang menyelusup ke balik kemejanya.
"Kau tidak menginginkan aku malam ini?"
Sesaat Mack hanya menatapnya, seolah sedang mempertimbangkan. Stella merasa nyaris ciut namun kemudian melihat kedua mata Mack berubah menjadi lebih gelap, tanpa berkata tangannya beralih ke wajah Stella. Ia menariknya mendekat dan detik berikutnya bibir mereka bertemu. Mack lalu membawanya ke tempat tidur.
"Mack," suara Stella bergetar saat bibir Mack berada di rahangnya. Ia membelai lembut rambut pria itu.
Mack tidak menjawab, bibirnya kini berada di leher Stella.
Mungkin ia harus mengatakannya dengan lebih jelas sekarang. "Aku ingin mengajar lagi."
Mack langsung terhenti, ia mengangkat kepala lalu menatapnya. "Apa?"
Stella tersenyum, tangannya masih berada di rambut Mack. "Apa aku boleh mengajar lagi?"
Ekspresi Mack berubah seketika, apakah ia tidak ingin Stella bekerja di luar rumah. Setelah terdiam cukup lama, ia bertanya, "Apa kau benar-benar ingin mengajar lagi?"
Stella mengangguk pelan.
"Kurasa kau telah mendapatkan izin dariku,” gumamnya, lalu melanjutkan apa yang tadi sempat terhenti.
***
Mack duduk di kantornya dengan pikiran kembali pada apa yang terjadi tadi malam. Stella tampaknya mempunyai cara baru untuk meminta sesuatu darinya, dan Mack tidak merasa keberatan dengan cara itu. Bukan apa yang Stella lakukan yang mengganggu Mack, ia justru merasa senang dengan kemajuan yang terjadi di antara mereka karena seringkali Mack merasa bahwa ia harus menahan diri setiap kali berada di dekat istrinya itu. Pertanyaan Stella mengenai kembali mengajar lagi yang mengusik pikiran Mack. Ia bukanlah seorang pria kolot yang akan melarang istrinya bekerja, tapi jika pekerjaannya bukan di luar kota seperti mengajar di program pendidikan Tante Mira, atau melibatkan Bobby Susilo di dalamnya. Ia mendengar bahwa pria itu telah menawarkan diri untuk membangun perpustakaan itu.
Sekilas kenangan di masa lalu menyeruak tanpa diinginkan Mack, yang segera ditepisnya dengan gusar. Tadi malam ia terlalu terpengaruh suasana sehingga memberi izin begitu saja pada Stella tanpa benar-benar bertanya dimana ia akan mengajar dan dengan siapa ia akan bekerja. Mack tidak percaya pada hal-hal kebetulan dan semacamnya, tapi Bobby Susilo adalah salah satu bagian dari sejarah kelamnya dan ia tidak ingin Stella terlibat dengan pria itu dalam bentuk apapun. Tiba-tiba telepon di meja Mack berdering, mengalihkannya dari pikirannya yang berkecamuk. Gemma mengingatkannya akan pertemuan hari ini dengan beberapa investor untuk pembangunan taman hutan kota. Mack meletakan gagang telepon kembali ke tempatnya. Untuk saat ini urusan pribadinya harus disingkirkan terlebih dahulu.
***
Stella memarkir mobil di halaman galeri yang diisi oleh beberapa mobil dan motor, kemudian berjalan menuju pintu di salah satu jalan masuk menuju dalam galeri itu. Saat pertama kali ke tempat ini, Stella tidak memperhatikan pintu itu, yang tersembunyi di antara tanaman rambat di tembok tinggi berwarna krem.
"Stella!" Tante Mira telah berdiri di sana untuk menyambutnya. Tangannya terbuka lebar lalu memeluk Stella singkat dan kemudian memberikan cipika-cipiki. "Aku senang kau bisa datang," katanya lalu menuntun Stella masuk.
"Terima kasih sudah mengundang saya tante," jawab Stella. Ia berjalan mengikuti wanita itu melalui jalan setapak berkerikil yang menanjak menuju bagian dalam halaman. Mereka melewati beberapa undakan dan labirin tanaman yang pernah dilalui Stella sebelumnya.
"Nonsense!" Jawab Tante Mira. "Kehadiranmu ditunggu. Hari ini kita akan membahas program dan rencana perpustakaan. Aku ingin mendengar pendapatmu." Setelah melewati gerbang pohon kelapa yang sebelumnya berhiaskan lampu warna-warni, mereka berjalan ke sekelompok orang yang telah duduk mengelilingi salah satu meja di sudut halaman galeri. Terdapat beberapa meja dengan atap dan beberapa lagi kursi taman yang pada malam penggalangan dana itu tidak diperhatikan oleh Stella. Beberapa orang muda sedang duduk di sana sambil menikmati minuman dingin.
"Aku tidak menyangka akan ada banyak orang," komentarnya. Ia dapat melihat beberapa orang lagi di dalam ruangan di mana lukisan-lukisan tergantung di dinding. Beberapa karya seni lain berupa pahatan kayu atau kerajinan tangan dari rotan diletakan di beberapa titik di galeri itu.
"Tidak semua orang yang kau lihat di sini datang untuk pertemuan hari ini. Mereka hanya pengunjung atau calon pembeli lukisan," jawab Tante Mira sambil tersenyum. Ia memperkenalkan Stella pada sekelompok orang yang duduk di meja panjang itu. "Perkenalkan, Stella Pambudi, dia akan membantu kita dengan rancangan program perpustakaan yang hari ini akan kita susun."
Stella tersenyum dan menjabat tangan semua orang di meja itu. Ada empat orang anak muda, mungkin mahasiswa semester awal yang terlihat masih sangat muda bersama dengan Dessie yang pernah ia temui pada malam penggalangan dana itu.
Stella duduk di hadapan perempuan muda berkacamata yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai Katerin. Ia tersenyum pada Stella, tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Pembangunan perpustakaan ini akan dimulai bulan depan." Tante Mira memulai pertemuan, matanya terarah pada laptop abu-abu tipis yang ada di hadapannya. "Kita beruntung salah satu perusahaan pengembang mau bekerja sama dengan kita. Tepatnya ia mau berkontribusi untuk merancang dan membangun perpustakaan ini sebagai bentuk tanggung jawab sosial kepada warga di pinggiran sungai Krakas."
Stella bertanya-tanya, siapakah pengusaha murah hati itu ketika ia memperhatikan Tante Mira berbicara. Walaupun telah berumur, wnita itu tetap terlihat cantik, hari ini ia berpenampilan santai dibandingkan dengan penampilannya pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Tante Mira mengenakan kemeja putih polos yang dipadukan dengan celana kulot biru tua, wanita itu bahkan menggunakan kacamata baca berbingkai hitam yang belum pernah Stella lihat ia gunakan sebelumnya.