The Pain of Yesterday

Lina A. Karolin
Chapter #11

Bab 11

Stella terduduk di atas kloset yang tertutup dengan tangan gemetar. Ia mengerjapkan mata berkali-kali, seolah dengan demikian ia dapat melihat dengan lebih jelas. Air mata membuat penglihatannya kabur dan isakan pelan keluar dari mulutnya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia temukan. Dua garis merah di kelima tes kehamilan yang ia gunakan menunjukan hasil yang sama. Stella hamil.

Ia tidak tahu apa yang dirasakannya, apakah bahagia atau justru sedih. Ia tidak menduga ini dan tidak merencanakannya. Stella sudah telat datang bulan selama lebih dari dua minggu dan hari ini ia memberanikan diri untuk melakukan tes. Bukannya Stella tidak ingin hamil, tapi dengan keadaan sekarang dan ketidakpastian sikap Mack, ia tidak merasa bahwa menemukan dirinya sedang hamil membuatnya bahagia. Stella belum siap dan sekarang ia baru saja akan memulai program mengajar bersama Tante Mira dan timnya.

Lagipula ia tidak berencana untuk hamil, selama ini ia selalu meminum pil KB secara teratur setiap hari. Kesadaran ini membuat Stella mengecek kotak obat-obatan yang ditaruh di atas konter di dekat wastafel. Ada dua strip obat yang persis sama di sana, yang satu masih penuh, sementara yang lain sudah hampir kosong. Ia membaca tulisan di kedua strip itu lebih dekat. Seketika darahnya berdesir meninggalkan wajahnya, strip pil KBnya masih penuh. Selama ini ia keliru mengira bahwa vitamin yang Mack letakan di sana sebagai pil KBnya. Stella memasukan kembali obat-obatan yang berserakan di atas konter kayu itu ke dalam kotak dengan tangan bergetar. Ia seharusnya tidak boleh hamil. Tidak sekarang.

Stella menatap pantulan dirinya di cermin dan tersentak. Oh Tuhan, maafkan aku. Ia mengelus perutnya yang masih rata. Stella tidak bermaksud menolak bayi ini, tapi ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau apa yang akan dikatakannya pada Mack. Pria itu pasti tidak akan senang entah apapun alasannya. Stella merasa tidak siap untuk mengatakan kabar ini padanya sekarang, apalagi melalui telepon. Mack telah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali.

Stella membuka keran air dan membasuh wajahnya lalu bernapas perlahan dan berusaha menenangkan diri. Tangannya kini kembali ke perutnya. Ia akan mengatakannya pada Mack malam ini, pria itu pasti bisa bersikap dewasa. Lagipula ini adalah darah dagingnya sendiri dan mereka adalah pasangan menikah, tidak ada yang salah dengan hamil di luar rencana. Ia tidak perlu merasa takut ataupun cemas atas kehamilannya. Bukankah Stella menginginkan seorang bayi.

Ia tidak perlu memikirkan kehamilannya sebagai masalah sekarang, itu terdengar tidak benar. Ia yakin Mack bisa menerimanya. Stella bergegas keluar dari kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke desa Jala, dimana ia akan mulai mengajar.

***

Setelah dua jam berada di dalam mobil melalui jalanan tanah liat yang tidak rata. Jauh di dalam hatinya, Stella menyesali keputusannya untuk setuju datang ke desa Jala hari ini, bukan demi dirinya tapi demi bayi yang ia kandung. Walaupun ia tidak merencanakan kehamilan ini, tetap saja keselamatan bayinya adalah hal yang sangat penting. Entah karena telah mengetahui bahwa ia sedang hamil, Stella mulai merasa mual, dan kepalanya serasa berputar. Ia tidak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya, seburuk apapun perjalanan yang ia lakukan.

Stella turun dari mobil sambil memegang perutnya. Merasa ingin muntah tapi muntahan itu tidak kunjung keluar. Ia meminum air putih dari botol yang ia bawa, lalu memejamkan mata sejenak hingga rasa mual itu menghilang.

"Apa kakak baik-baik saja?" tanya Katerin yang baru saja turun dari mobil dan berdiri di sampingnya. "Kakak terlihat pucat."

Stella tersenyum lemah. "Hanya sedikit mual."

Mobil yang membawa Tante Mira dan Dessie menyusul dan parkir di samping mobil yang ditumpangi Stella. Mereka membawa beberapa kotak berisi buku yang nantinya akan disimpan sebagai koleksi perpustakaan.

Sama seperti namanya, Desa Jala. Hampir di semua teras rumah warga tergantung jala yang mereka gunakan untuk menangkap ikan di sungai. Rumah-rumah di desa itu berbentuk sama, rumah panggung dengan tiang tinggi untuk menghindari banjir. Bangunan-bangunan kecil itu berbaris meliuk-liuk di sepanjang tepi sungai Krakas, lapuk dan kusam termakan cuaca. Di sisi lain desa, yang Stella anggap sebagai bagian belakang desa itu, adalah hutan dengan pepohonan besar, tumbuh menjulang melampaui pohon kelapa dan pohon buah-buahan lain. Hutan itu seolah menjadi tembok pemisah desa Jala dari dunia luar.

"Selamat datang," kata seorang pria paruh baya sambil berjalan menghampiri mereka. Ia ditemani seorang perempuan berambut ikal, digelung tipis di belakang kepalanya.

Perempuan itu tersenyum lalu mengikuti pria tadi menjabat tangan mereka satu per satu dan memperkenalkan diri. Pria itu bernama Bendi dan memperkenalkan diri sebagai kepala Desa Jala. Keduanya adalah pasangan suami istri, dan istrinya bernama Ungga.

"Terima kasih," jawab Tante Mira. "Saya yakin kalian telah lama menunggu.

Pak Bendi tertawa ceria, memperlihatkan dua gigi depannya yang hilang. "Tidak juga, tapi warga yang telah berkumpul di balai desa sudah duduk menunggu kedatangan ibu-ibu sekalian. Siap mendengarkan apapun yang akan kalian sampaikan."

"Kalau begitu kita langsung saja ke sana," ucap Tante Mira.

"Mari." Pak Bendi memimpin jalan, melintasi jembatan kayu yang menghubungkan rumah-rumah warga. Nampaknya menjadi satu-satunya jalan yang dapat dilintasi jika ingin bepergian dari hulu ke hilir.

Jembatan itu berderit-derit saat mereka melewatinya. Berbeda dari Desa Atei, dimana Stella pernah mengajar sebelumnya, walaupun tempat itu sangat terisolasi, jauh dari listrik dan signal telepon, namun rumah-rumah di sana cukup banyak dan penduduknya hampir berjumalah seribu orang. Diapit oleh sungai dan hutan, Desa Jala terlihat jauh lebih kecil.

Stella tersenyum pada warga yang duduk di beranda rumah mereka. Ada yang duduk mengobrol sambil minum kopi, ada yang memperbaiki jala mereka dan ada pula ibu-ibu yang duduk bergerombol sambil mencari kutu, mungkin. Setella tersenyum geli, sudah lama ia tidak melihat pemandangan seperti ini.

Pandangan Stella kemudian beralih ke sisi kirinya dan melihat sungai Krakas mengalir tenang. Airnya berwarna kemerahan karena gambut dan akar pepohonan di tepi sungai.

Stella kembali memperhatikan rumah-rumah warga, di beranda, selain jala, berderet jemuran ikan kering dan jemuran pakain warga, termasuk pakaian dalam yang tidak disembunyikan. Mereka menjemur ikan hasil tangakapan itu di nampan-nampan bundar yang terbuat dari bambu atau rotan. Baunya menyengat tapi Stella menghirup napas dalam-dalam, perpaduan antara garam dan matahari. Anehnya ia tidak merasa mual.

Mereka tiba di depan sebuah bangunan kayu yang terlihat paling besar di antara rumah warga yang lain, warnanya pun berbeda. Jika sebagian besar warna rumah yang ia lewati berwarna abu-abu, maka bangunan ini berwarna hijau cerah, seolah baru saja dicat ulang. Terdengar suara orang-orang mengobrol dan berbicara dari dalam bangunan itu. Sendal-sendal jepit tertumpuk di undakan depan, ada yang diberi nama atau inisial, barangkali takut seseorang keliru dan membawanya pulang.

Stella dan rombongan itu melepaskan alas kaki masing-masing lalu masuk ke dalam balai.

"Duduk di sini nak," kata istri Pak Bendi pada Stella sambil menunjuk lantai di sampingnya.

Lihat selengkapnya