The Pain of Yesterday

Lina A. Karolin
Chapter #12

Bab 12

"Kenapa hal seperti ini bisa terjadi!" sergah Mack sambil menampar meja yang membuat semua kertas berhamburan. Hendro, supervisi yang mengawasi pembangunan proyek yang mereka tangani selama ini menjengit kaget, sementara Dean duduk di sofa di sisi terjauh ruangan dengan raut wajah datar. Jelas ia juga tidak senang dengan kabar ini.

"Saya minta maaf Pak." Hendro berkata dengan wajah cemas saat melihat sikap Mack yang seolah hendak melayangkan tinjunya ke wajah supervisi itu.

"Ini bukan soal minta maaf!" bentak Mack, napasnya pendek-pendek karena amarah yang ia rasakan. "Bayangkan berapa banyak kerugian yang akan kita alami jika BMKG menuntut ganti rugi."

Dengan frustrasi Mack menyisirkan jari-jari pada rambutnya. Ia baru saja menerima telepon dari kepala BMKG bahwa terdapat keretakan di beberapa bagian bangunan kantor BMKG yang baru, yang dirancang dan dibangun oleh P&K Construction tahun lalu. Bahkan lantai dasar bangunan itu juga retak. Pria itu memintanya untuk membereskan masalah ini segera dan menuduhnya telah melakukan kecurangan dalam proses pembangunan. Mack tidak memperhitungkan bahwa hal semacam ini akan terjadi, terutama dengan sistem kerja dan metode pembangunan yang mereka gunakan. Walaupun ia tidak selalu hadir untuk mengawasi pekerjaan anak buahnya, tapi seharusnya Hendro mampu mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Sesaat setelah menutup telepon itu, Mack langsung memanggil Hendro ke ruangannya.

"Saya akan mencari tahu tentang kasus ini lebih lanjut," janji Hendro.

Tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu sebelum Mack dapat menjawab. Gemma muncul lalu berkata, "Pak ada tamu."

"Aku sedang sibuk!" Mack membentak tajam yang sontak membuat Gemma kaget. Wajahnya berubah menjadi pucat, lalu ia buru-buru keluar. Mack tidak peduli siapapun tamunya, ia tidak bisa menghadapi siapapun sekarang.

"Kau sebaiknya mencari tahu apa penyebab keretakan bangunan itu hingga tuntas!" hardik Mack. "Karena jika kita terbukti bersalah maka reputasi baik yang telah kita bangun selama ini tidak akan ada gunanya. Bukan hanya aku yang akan merasakan dampaknya, tapi dirimu juga." Ia menatap pria yang lebih tua darinya itu dengan tajam. Mack ingin melampiaskan rasa frustrasinya pada pria itu dengan menonjok wajahnyanya atau melempar sesuatu padanya, tapi Mack tahu ia harus mengendalikan amarahnya yang saat ini terasa sangat sulit untuk dilakukan.

"Baik Pak." Hendro berkata, "Saya permisi." Ia buru-buru keluar ruangan.

Mack duduk di kursinya, kepalanya terasa pening karena emosi yang masih berusaha ia kendalikan. Mack mengendurkan dasinya. Brengsek! Ia tidak pernah suka menggunakan jas apalagi dasi sialan itu. Tapi rapat dengan calon klien hari ini memaksanya berpenampilan demikian.

"Kerusakan itu belum tentu karena kesalahan dari pihak kita," kata Dean seolah sedang berusaha untuk berpikir positif. Ia masih duduk di sofa dengan ekspresi yang sama.

Mack tidak langsung menjawab. Dari sudut pandang manapun, keretakan pada bangunan kantor itu jelas menjadi tanggung jawab mereka, entah disengaja atau tidak. "Lalu menurutmu apa penyebabnya?"

Dean terdiam. Ia menatap berkas pembangunan kantor BMKG yang ia bawa ke ruangan Mack saat mendengar kabar tersebut.

"Umur gedung itu belum setahun," kata Dean. "Dari pengalaman dan teknologi yang kita gunakan untuk membangunnya, seharusnya tidak ada celah untuk kerusakan pada bangunan. Bahkan jika gedung kantor itu dibangun di atas tanah gambut sekalipun, seharusnya fondasi yang kita bangun tidak akan menyebabkan kerusakan. Apapun penyebab keretakan bangunan itu jelas akan menjadi tanggung jawab kita."

Mack kembali berdiri, berusaha menekan keinginan untuk berjalan mondar mandir di ruangannya. Ia benar-benar merasa frustrasi, perusahaan ini adalah bagian dari dirinya, reputasinya. Ia tidak bisa membiarkan kesalahan seperti ini merusak apa yang telah ia dan Dean bangun dari nol.

***                                                                                      

Waktu menunjukan pukul 5 sore saat Stella memasuki gerbang, perjalanan dari Desa Jala membuat seluruh tubuhnya terasa sakit semua. Di halaman depan telah terparkir Ford Ranger berwarna silver milik Mack. Tidak biasanya Mack pulang kerja di saat matahari belum terbenam seperti ini. Stella memarkir mobil di garasi, lalu masuk melalui pintu samping.

Dari dapur, Stella dapat menangkap suara Mack yang terdengar gusar di ruang kerjanya. Masalah apalagi yang pria itu hadapi sekarang. Stella meletakan tas tangannya di atas konter yang memisahkan dapur dan ruang makan, lalu beranjak ke kulkas untuk mengambil minuman dingin. Ia menghela napas, malam ini ia ingin memberitahu Mack segera mengenai kehamilannya, tapi mendengar nada suara suaminya itu membuat Stella ragu apakah itu ide yang bagus.

Ia mencuci gelas yang baru saja ia pakai saat mendengar langkah kaki Mack berjalan ke arah dapur.

"Dari mana saja kau?" sergahnya.

Stella berbalik, kemarahan apa lagi yang hendak Mack lampiaskan padanya kali ini. "Aku baru saja pulang dari tempatku mengajar," jawabnya. Rahang Mack mengeras dan ia tidak terlihat senang.

"Apakah aku terlihat menginzinkanmu bergaul dengan keluarga Hartono!" ucap Mack penuh kegusaran.

"Aku tidak melihat ada yang salah dengan bergaul bersama mereka, lagipula aku telah meminta izin darimu." Stella berusaha mengendalikan diri, walaupun jauh di dalam hatinya ia merasa takut. Takut kalau Mack akan semakin marah dan bertindak nekad.

"Diam kau perempuan!" Bentaknya. "Istri macam apa yang tidak ada di rumah saat suaminya pulang!"

Stella menarik napas panjang. "Kita akan membicarakan ini jika kau jauh lebih tenang." Ia meraih tas tangannya dan berjalan menuju pintu, yang ternyata adalah tindakan keliru.

Hanya dalam hitungan detik, Mack mencengkram kedua lengan atas Stella. Ia mendorongnya dengan kasar hingga pinggang Stella membentur konter dengan keras.

Stella menjerit.

"Aku belum selesai denganmu," geram Mack dengan kertakan gigi. Matanya menyala-nyala dalam kemarahan. "Kau pikir kau bisa melakukan apapun sesukamu di rumah ini."

Stella menatap wajah berang itu. "Aku tidak...."

"Jangan sekali-sekali membantahku Stell!" Ia menekan tubuh Stella ke tembok dan cengkraman Mack di kedua lengannya semakin erat.

"Lepaskan aku. Kau menyakitiku Mack." Tanpa terasa air mata mengalir di wajah Stella, bukan air mata kesedihan melainkan kemarahan. Ia tidak percaya Mack melakukan ini lagi padanya.

"Kau seharusnya berpikir sebelum membantahku." Ia mengguncang tubuh Stella, membuat punggung dan pinggangnya membentur konter lebih keras dan menyakitkan.

Lihat selengkapnya