Suara benturan keras yang disusul dengan benda pecah membangunkan Stella. Untuk sesaat ia berbaring terlentang di atas tempat tidur mereka yang berukuran king, sisi yang biasa ditiduri Mack terasa dingin di sampingnya dan berusaha menangkap apakah suara-suara itu benar-bernar terjadi atau ia hanya memimpikannya. Stella kemudian mendengar suara mesin mobil. Apakah itu Mack? Hatinya mencelos. Ia berharap kali ini Mack tidak pulang dalam keadaan mabuk dan melanjutkan kemarahannya.
Dengan jantung berdebar Stella bangkit dari tempat tidur. Ia menyeret kakinya ke arah jendela dan kemudian menyibakan gorden berwarna cokelat muda itu. Ia mengintip keluar dan melihat mobil Mack terparkir melintang di halaman. Moncong mobil itu menyeruduk sekumpulan pot bunga di sisi halaman yang bersebelahan dengan pintu masuk pagar. Asap knalpot mengepul dari mobil yang menandakan mesin masih menyala. Tidak ada tanda-tanda bahwa Mack akan segera keluar dari sana.
Stella mengambil mantel tidur yang tersampir di punggung kursi, kemudian berjalan keluar. Ia dapat mendengar suara napasnya sendiri saat menuruni tangga menuju ruang depan. Hampir semua ruangan di rumah itu gelap, kecuali dapur yang diterangi cahaya redup. Selain suara napasanya, Stella dapat mendengar dengungan halus yang berasal dari kulkas di dapur. Ia mengikuti cahaya temaram yang terpantul di kaca jendela dari teras depan. Angin dingin menerpa wajah Stella saat ia membuka pintu depan, membuatnya bergidik kedinginan.
Setelah menutup dan mengunci pintu pagar, Stella berjalan ke mobil Mack yang bergetar halus dari mesin yang masih menyala. Pecahan pot bunga bersama dengan kaca lampu depan mobil Mack berserakan di halaman berumput itu.
"Mack?" Stella mengetuk pintu pengemudi. Kepala Mack bergerak dengan sangat perlahan, seolah ia membutuhkan usaha yang sangat keras untuk melakukannya. Ia menoleh kepada Stella dan terlihat bingung. Ia kemudian membuka pintu mobil, namun kepalanya kembali tertelungkup di atas roda kemudi. Stella mematikan mesin mobil, mencabut kunci yang anehnya terasa licin dan berlendir di jari-jarinya. Ia mengabaikan rasa aneh di tangannya itu, lalu memasukan kunci tersebut ke dalam saku mantel tidurnya. Stella mengumpulkan keberanian untuk mengguncang bahu Mack, yang dilakukannya dengan sangat pelan. "Bangun Mack," katanya setengah berbisik. Takut kalau-kalau ia membuat Mack kembali murka.
Pria itu mengerang, namun tidak bergerak. Tercium bau alkohol dan sesuatu seperti bau asam dari muntahan yang menyengat hidung Stella. Sekilas ia menyapukan pandangannya ke tubuh tertelungkup Mack dan menyadari ada sesuatu yang salah dengan penampilannya.
Stella mendorong Mack hingga tubuh dan kepalanya bersandar di sandaran kursi mobil. Bagian depan kemejanya berlumuran sesuatu berwarna cokelat yang juga menempel di jeans birunya. Tiba-tiba perasaan bergolak mengocok perut Stella. Detik berikutnya ia muntah di samping mobil yang membuat kepalanya serasa berputar memusingkan, sehingga ia harus menyandarkan diri di mobil agar tidak terjatuh ke tanah.
Perasaan bergolak itu muncul lagi saat Stella melihat muntahannya sendiri di atas rumput. Berikutnya ia mengeluarkan semua isi perutnya, hingga yang tersisa hanyalah cairan asam dari lambungnya yang memaksa keluar dan menyebabkan tenggorokan Stella serasa terbakar. Ia memegang perutnya yang masih bergolak namun terlalu kosong untuk mengeluarkan apa-apa lagi. Merasa begitu lemah untuk berdiri tegap, ia mencengkram pintu mobil yang rupanya berlumuran muntahan juga. Ia berusaha menekan perasaan mual yang kembali menyerbunya.
"Mack, bangun!" katanya dengan napas tersengal. Stella tidak tahu apakah rasa mualnya yang tiba-tiba ini dikarenakan kehamilannya atau karena bau alkohol serta muntahan Mack dan muntahannya sendiri. "Mack!" ucap Stella, kali ini dengan lebih nyaring yang hanya dibalas dengan erangan pria itu. "Bangun Mack, kau harus pindah dari sini." Napas Stella terasa berat, bau napas Mack membuatnya pusing lagi, tapi ia harus membangunkannya dan membuat Mack masuk ke dalam rumah.
Stella menangkup wajah pria itu lalu mengguncangnya. "Mack, kau harus masuk ke dalam rumah." Rasa takut Stella kini hilang sepenuhnya. Perlahan Mack membuka matanya yang sangat merah.
"Apa?" gumam pria itu parau. Stella mengernyit menahan napas saat bau tajam dari mulut Mack menghantam wajahnya.
"Keluar dari sini dan masuk ke rumah."
Mack bergumam dengan tidak jelas. Dalam gerakan yang amat lambat seperti dalam film, ia bergerak dan menyeret dirinya dari tempat duduk. Tanpa disadari Stella, Mack melompat dari mobil yang ternyata jatuh ke atas genangan muntahan di atas rumput. Bagus, batinnya. Mack terhuyung lalu ambruk ke bahu Stella.
"Ya Tuhan Mack kau berat sekali." Ia berusaha tetap berdiri sambil menahan berat tubuh Mack yang jauh lebih besar darinya.
Pria itu bergumam tidak jelas lagi. Tangannya terkulai di samping tubuhnya, sementara kepalanya bersandar di bahu Stella, ini membuat Stella memencet hidung saat napas Mack berembus ke arahnya.
Stella memapah suaminya ke arah rumah yang ternyata sangat sulit untuk dilakukan, karena yang dilakukan pria itu hanyalah menyeret kakinya alih-alih menggunakannya untuk berjalan. Stella tersengal, seolah ia baru saja keluar dari dalam air setelah menyelam untuk waktu yang sangat lama. Melintasi halaman, lalu melangkah ke teras, Stella membawa Mack ke pintu depan.
"Kita sudah hampir sampai," geram Stella sambil menahan tubuh Mack. Bahu kanannya serasa terbakar karena menopang tubuh Mack. Ia mengginggit bibir bawahnya, berusaha menghentikan sengatan air mata yang mengancam untuk mengalir keluar. Hidup macam apa yang sekarang sedang ia jalani. Tidak pernah terpikirkan oleh Stella bahwa seseorang yang ia nikahi akan mengisi malamnya dengan cara seperti ini. Bukan kekurangan seperti ini yang ia pikir akan ia temui pada Mack setelah mereka menikah, mungkin sesuatu yang kebih ringan seperti cara memencet pasta gigi atau meletakan barang pada tempatnya dengan cara berbeda. Sekarang ia hamil dan suaminya kembali menunjukan sifat lamanya. Akan seperti apa jadinya rumah tangga mereka bila Mack tidak segera membereskan kecanduannya dan terus-terusan seperti dirinya yang sekarang.
Ketika mereka telah berada di depan pintu, Mack terhuyung lalu membentur pintu kayu itu yang langsung terbuka dan terkapar di lantai.
Stella hampir menjerit putus asa saat Mack tidak bergerak. Perjalanan mereka ke dalam rumah akan lebih sulit jika Mack tetap berbaring di sana dan tidak sadarkan diri. Stella melepaskan sepatu nike putih Mack beserta kaus kakinya yang ternyata kena muntahan juga. Stella melemparkan sepatu dan kaus kaki itu ke teras sambil mengerang frustrasi dan menahan dorongan untuk muntah lagi. Dengan susah payah ia menyeret Mack ke arah sofa di ruang duduk. Mungkin punggungnya tidak akan bertahan hingga ia berusia empat puluhan jika ini terus terjadi.
Stella melepaskan kemeja dan jeans Mack dengan hanya meninggalkan boxernya. Pria itu bergumam namun Stella tidak dapat mendengar apa yang ia katakan. Setelah selesai melepaskan semua pakaian kotor itu dari tubuh Mack, Stella berusaha membuatnya terbangun lagi. "Mack!" Stella mengguncang bahunya yang telanjang, kulitnya terasa sangat panas. "Mack, kau harus bangun. Aku tidak mampu mengangkatmu ke atas sofa."
Kelopak mata Mack bergetar lalu perlahan terbuka, "Huh?" Wajahnya terlihat bingung dan ia terlihat seperti anak kecil yang tersesat.
"Kau. Harus. Pindah. Ke. Atas. Sofa," ujar Stella, kata demi kata sambil menunjuk sofa di dekatnya. Mack mengangkat kepala dari lantai dan menoleh ke arah yang ditunjukan Stella. "Naik ke sofa," ulang Stella.
Perlahan pria tinggi besar itu bergerak dan Stella membantunya naik ke sofa saat Mack menyeret diri dengan susah payah. Ia langsung terkapar sesaat setelah tubuhnya menyentuh tempat duduk empuk berwarna abu-abu itu. Stella yakin bahwa Mack telah pingsan, namun napasnya yang tenang membuat rasa panik Stella langsung menghilang. Ia bergegas mengambil selimut dari kamar, lalu menyelimuti Mack dengan selimut tebal berwarna putih itu.
Stella pergi ke dapaur dan mengambil mangkuk berisi air dan sapu tangan yang ia gunakan untuk mengelap wajah dan leher Mack. Ia berlutut di samping pria itu untuk beberapa saat dan menatap wajah suaminya. Mack tidak terlihat menakutkan sama sekali ketika ia sedang tidur, atau saat ia tidak sedang merah. Stella menyibakkan rambut yang jatuh ke kening Mack, mengusap pipi suaminya dengan lembut.
Setelah meletakkan gelas air putih di atas meja kayu di samping sofa, Stella meninggalkan pria itu. Paling tidak Mack terlalu mabuk untuk tidak melanjutkan kemarahannya malam ini.
***
Stella kembali terbangun saat mendengar suara-suara, suara seperti seseorang yang sedang berteriak atau mengerang. Ia menoleh ke arah meja dimana jam berada. Waktu menunjukkan pukul 4.15 pagi. Suara itu kembali terdengar, yang kemudian disadari Stella berasal dari lantai bawah. Ia kmudian bergegas keluar kamar. Saat Stella telah berada di lantai dasar, ia menemukan bahwa suara itu berasal dari Mack yang terbaring di ruang duduk.
Stella mendekati sofa tempat Mack berbaring, pria itu bergerak dengan gelisah di sana. Selimut yang Stella pakaikan untuk menutupi tubuh Mack kini melilit kaki dan sebagian besar pinggangnya. Keningnya mengerut dengan raut, ketakutan? Marah dan menyesal. Stella tidak yakin.
"Mack!" Stella berlutut di sampingnya lalu mengguncang bahunya. "Mack bangun!" Stella mengguncang-guncang tubuh suaminya dengan lebih keras ketika erangannya semakin liar dan nyaring.
"Mack bangun!" Stella setengah berteriak di dekat telinganya. "Mack!" Ia mengguncang bahu pria itu dengan keras, membuatnya tersentak dan terkesiap seperti perenang yang baru keluar dari dalam air. Mack membuka matanya dan melihat Stella dengan tatapan liar. Ia terlihat sangat bingung, seolah tidak mengenali istrinya sendiri.
"Kau bermimpi buruk," kata Stella sambil menatap wajahnya lekat.
Mack berusaha untuk duduk dan Stella membantunya untuk bersandar pada lengan sofa. Suaminya itu menatap wajah Stella kembali.
"Stella?" Suara Mack terdengar serak dan berat, bahkan nyaris pecah jika suara dapat dikatakan demikian. Ia berusaha membaca raut wajah pria itu. Tidak ada kemarahan atau kebencian di sana. Ia justru terlihat bingung dan sedih.