Stella memuntahkan isi perutnya ke dalam kloset saat pagi ini ia tiba-tiba terbangun dengan rasa mual yang semakin hari semakin intens. Ia duduk di lantai keramik kamar mandi, menunggu hingga serangan mual itu berakhir. Setelah yakin bahwa ia tidak akan memuntahkan isi perutnya lagi, Stella bangkit dan berkumur. Tangannya bergetar saat ia menyalakan keran air dengan kepala yang terasa ringan. Ia harus memakan sesuatu jika ia tidak ingin pingsan.
Stella turun ke lantai bawah dan melangkah ke dapur saat ia melihat Mack duduk di meja makan, cangkir kopi mengepul di hadapannya. Bau kopi memenuhi ruangan dan membuat kepala Stella kembali berputar. Ia segera berlari ke wastafel dan memuntahkan isi perutnya untuk kesekian kalinya pagi ini.
Stella dapat merasakan Mack berdiri di belakangnya dan meraih rambutnya yang terurai ke wajahnya. Mack memegang rambut Stella hingga ia selesai mengeluarkan sisa-sisa terakhir makan malamnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Mack, terdengar khawatir.
Sebelum menjawab, Stella berkumur dan mencuci mulutnya, kemudian berbalik untuk menatap Mack. Ia menggeleng pelan. Bau memuakan itu kini tercium lagi, membuat Stella mengernyitkan hidung. "Aku tidak pernah bermasalah dengan kopi sebelumnya." Ia bergumam lalu menatap Mack dengan ragu. Semalam ia tidak yakin apakah Mack pulang ke rumah atau tidak. Saat ia terbangun di tengah malam, ia tidak menemukan pria itu berbaring di sisinya.
"Aku akan membuangnya." Mack berjalan ke arah kopinya.
Stella segera menggeleng dan memegang lengannya. "Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu membuang kopimu."
Mack menatapnya tidak yakin, lalu matanya jatuh ke perut Stella namun tatapannya segera kembali ke wajah Stella, seolah tidak nyaman dengan arah matanya barusan.
"Aku akan pindah ke ruang kerjaku kalau begitu?" kata Mack dengan nada bertanya.
Stella menggeleng lagi. "Kau bisa tetap di sini. Aku hanya akan membuat sarapan."
Mata Mack menyelidikinya, seakan mempelajari wajah Stella. Seolah sadar bahwa ia menatap Stella terlalu lama, Mack mengambil kopinya lalu membuang isinya ke wastafel. Stella tidak berkomentar, lebih baik ia tidak mengusik pria itu entah apapun emosi yang ia rasakan saat ini. Setelah menemukan Mack bergumul dalam mimpi buruk malam itu, mereka tidak banyak bicara, Stella bahkan nyaris tidak bertemu dengannya dalam beberapa hari terakhir.
Ia membuat nasi goreng walaupun Stella tidak ingin memakannya saat ini, tapi ia tahu Mack akan sangat menghargainya dibandingkan roti yang diolesi selai. Ia membawa nasi goreng itu ke meja dan meletakan seporsi di hadapan Mack yang duduk menunggunya, sesekali tatapan mereka bertemu, namun tidak sepatah katapun keluar dari mulut keduanya. Stella mengambil roti untuk dirinya sendiri. Ia bersyukur bahwa bau bawang tidak seburuk bau kopi.
"Bagaimana keadaan di kantor?" tanyanya ketika ia tidak tahan lagi dengan keheningan di antara mereka.
Mack meletakan cangkir kopinya di atas meja. "Seperti biasa."
Stella menatapnya, ia tahu Mack tidak berbagi banyak hal padanya, terutama mengenai pekerjaannya. Apalagi mengenai mimpi buruknya. Ada begitu banyak hal yang ingin Stella tanyakan, yang ingin ia bicarakan pada Mack, tapi ia tidak ingin mempersulit keadaan atau membuat Mack kehilangan kesabaran dengan semua pertanyaan yang akan ia ajukan. Stella berharap Mack dapat terbuka padanya.
"Semalam kau tidak tidur di kamar," gumamnya.
Mack membalas tatapannya, untuk sesaat Stella dapat melihat matanya melembut, seolah ia ingin menceritakan apa yang menjadi beban pikirannya. "Ada sedikit masalah."
Stella mengangguk, sedikit artinya banyak, namun ia tidak mendesak. Ia menyeruput teh pepermintnya yang membuat mualnya sedikit berkurang dan merasa lebih baik ketika menghirup teh yang mengepul itu. "Hari ini aku akan pergi lagi ke desa Jala," katanya, Mack menunggu. "Lebih tepatnya ke desa tetangganya. Aku akan mengajar anak-anak di sana, tapi akan pulang sebelum matahari terbenam."
Mack mengalihkan tatapannya ke luar jendela, raut wajahnya tidak dapat dimengerti. Stella menunggu jawaban Mack dengan perasaan gelisah.
Mata mereka kembali bertemu. "Apa kau yakin?" tanya Mack akhirnya.
Stella mengangguk. "Aku menyukai tempat itu dan anak-anak di sana."
Mack menjawab dengan anggukan.
"Mungkin kau juga akan menyukainya, jika kau ada waktu untuk pergi ke tempat itu," berusaha membuat percakapan.
Mack tersenyum kecil yang akhir-akhir ini jarang dilakukannya, "Mungkin." Secepat datangnya, senyum itu kembali menghilang. Mack bergumam, "Aku tidak melarangmu untuk pergi."
Stella berusaha membaca raut wajah Mack, ia tidak terlihat marah, tapi tidak terlihat senang juga. Stella tidak mengerti, namun berusaha tersenyum dan berkata, "Terima kasih."
***
Perjalanan menuju Desa Jala kali ini tidak seberat perjalanan pertama Stella beberapa hari yang lalu. Ia bahkan tidak merasa pusing atau mual sama sekali, udara segar di sepanjang jalan menuju desa membuatnya merasa tenang. Hari ini Stella dan Katerin akan menuju desa tetangga yang bernama desa Balihe, jaraknya sekitar 45 menit dengan menggunakan kelotok, sementara Gebby dan Ranti akan mengajar di desa Jala.
Kali ini Tante Mira dan Dessie tidak ikut serta. Ketiga gadis yang jauh lebih muda dari Stella itu terlihat begitu bersemangat, mereka membicarakan banyak hal, termasuk mengomentari apa yang mereka lihat di sepanjang jalan, Ranti yang pendiam pun ikut mengomentari. Di kesempatan lain, gadis itu sangat pendiam dan hanya berbicara jika diajak. Stella bertanya-tanya bagaimana ia dapat mengajar jika ia tidak banyak bicara seperti itu.
Sesampai di Desa Jala, mereka turun dari mobil yang Stella kendarai sendiri. Ada beberapa mobil dan kendaraan lain di sana, ia yakin kendaraan-kendaraan itu adalah milik pekerja yang membangun perpustakaan. Dari kejauhan Stella dapat mendengar suara mesin dan suara-suara kayu yang bertemu dengan palu. Di sisi jalan masuk ke arah hutan, dimana lokasi perpustakaan akan dibangun, terdapat tumpukan besar material bangunan berupa balok dan papan kayu ulin.
"Aku tidak menyangka proses pembangunan perpustakaan ini akan berjalan begitu cepat," komentar Gebby saat mereka berjalan menuju balai desa, jembatan kayu itu berderit-derit menopang berat tubuh mereka.
"Aku tidak sabar lagi ingin melihat bangunan perpustakaan seperti apa yang telah dirancang oleh Bobby Susilo," timpal Katerin. Terdengar jelas kekaguman pada pria itu di nada suaranya.
Walaupun tidak berbicara, Stella dapat melihat bahwa Ranti menyimak percakapan di antara kedua gadis lainnya. Stella tidak melihat tanda-tanda adanya Bobby Susilo di desa itu kali ini dan ia merasa lega. Pertemuan terakhir mereka menyebabkan perasan dingin di tulang belakang Stella, tatapan pria itu padanya hari itu membuat Stella ingin menjauh.
Setiba di balai desa, mereka disambut oleh istri kepala desa, Bu Ungga yang berdiri menunggu di beranda depan. "Silakan masuk, anak-anak sudah datang berbondong-bondong ke sini karena tahu kalian akan datang." Ia tersenyum, memperlihatkan gigi bagian atasnya yang jarang-jarang.
Stella tersenyum. "Terima kasih." Lalu mengikutinya ke dalam. "Hari ini Katerin dan saya akan mulai mengajar di Desa Balinei."
Ia mengangguk. "Suami saya menitip pesan pagi ini, mengatakan bahwa kalian akan mulai menggunakan kelotok," kata Bu Ungga sambil memimpin mereka ke dalam balai. "Agau, putra saya yang akan mengendarai kelotok itu." Ia lalu memanggil anaknya.
Seorang pemuda tinggi kurus muncul di ambang pintu. Ia menyalami mereka satu per satu, lalu kembali lagi keluar.
"Saya rasa kami akan langsung berangkat ," kata Stella.
Bu Ungga mengangguk lagi. "Sebaiknya kalian cepat pergi sebelum matahari sudah tinggi."
"Hati-hati di jalan," kata Gebby dan Ranti sambil melambaikan tangan pada Stella dan Katerin. Anak-anak turut mengantarkan mereka ke dermaga. Mereka berdiri di jembatan kayu itu, memperhatikan ketiganya yang berjalan menuruni tangga menuju kelotok.
Stella dan Katerin berjalan di belakang Agau dan menaikan tiga buah kotak berisi buku yang akan mereka titipkan di desa Balihe. Kelotok bercat hijau dengan tulisan 'Perpustakaan Keliling' itu bergerak pelan oleh gelombang sungai. Di kedua sisinya tertancap metal berbentuk 'n' yang berfungsi untuk menopang atap kelotok yang terbuat dari kain tenda. Katerin masuk ke dalam perahu terlebih dahulu diikuti oleh Stella di belakangnya. Kelotok kecil itu bergoyang pelan saat keduanya bergerak mencari posisi duduk yang nyaman.
"Siap?" tanya Agau yang sekarang duduk di bangku pengemudi di bagian depan kelotok.
Kedua guru itu mengangguk sambil tersenyum padanya.
Stella duduk di bagian tengah kelotok, di atas lantai kayu yang dihaluskan, terasa dingin dan licin saat kulit Stella menyentuhnya.
Agau menyalakan mesin kelotok yang masih baru itu, terdengar halus, berbeda dari suara mesin kelotok yang biasa Stella dengar di Desa Atei. Kelotok itu bergerak perlahan meninggalkan dermaga, ia melambai pada Bu Ungga dan anak-anak yang mengawasi kepergian mereka. Kemudian Gebby dan Ranti membawa anak-anak itu masuk ke dalam balai.
"Kakak pernah naik kelotok sebelumnya?" tanya Katerin, saat mereka telah berada di tengah sungai berwarna pekat itu. Suara mesin menggema di kedua sisi sungai yang ditumbuhi pohon besar yang rindang. Cahaya matahari tidak sampai pada mereka, karena daun-daun pohon itu menaungi sungai seperti atap.
"Iya. Aku pernah mengajar di pedalaman, salah satu cara menuju ke sana adalah menempuh jalan sungai yang hanya bisa dilalui oleh kelotok kecil seperti ini," jawab Stella. Ia memperhatikan tatapan Katerin terarah pada pepohonan di sepanjang sisi sungai itu dengan raut kagum.
"Aku belum pernah," gumamnya, nyaris berbisik, seolah ia sedang meresapi apa yang sedang ditangkap oleh matanya. "Aku merasa beruntung mendapatkan kesempatan ini."
Stella tersenyum. "Apa kau akan tetap mengajar di desa seperti ini jika kau telah menyelesaikan kuliahmu?"