Mereka menurunkan Ati dari rumah panggung itu dengan menggunakan tandu. Cahaya matahari di luar rumah membuat kulitnya terlihat nyaris kuning dan ia memejamkan mata seolah tidak sadarkan diri. Pak Marko turut membantu warga membawa Ati ke dermaga dan meletakkannya dengan hati-hati di atas lantai kelotok yang telah digelari tikar rotan. Walaupun gerakannya tenang, wajah suami Ati terlihat begitu murung. Matanya menatap liar dan sesekali Stella menemukan ia melamun. Pria itu membawa tas kain yang warnanya telah kubas tempat semua peralatan yang mungkin akan diperlukan Ati.
Saat mereka berada di tepi sungai, ibu Ati menggenggamkan dua lembar uang lima puluh ribu ke tangan menantunya sambil berlinang air mata. "Semoga kalian selamat sampai tujuan."
Mata pria itu berkaca-kaca saat menatap mertuanya, kemudian melangkah menuju kelotok dalam diam.
Setelah Stella dan Katerin duduk di dalam kelotok, Agau menyalakan mesin, perlahan kelotok itu meninggalkan dermaga kecil Desa Balinei, meninggalkan warga berkerumun di tepi sungai untuk menghantarkan mereka.
Perjalanan terasa lebih cepat karena mereka menuju hilir. Sesekali Ati merintih kesakitan ketika kontraksinya muncul. Kepalanya terbaring di atas pangkuan suaminya dan keringant bercucuran di keningnya. Stella memegang tangannya yang terasa dingin.
Kini perempuan itu kembali merintih, disusul dengan erangan yang lebih intens dari sebelumnya. Suaminya menatapnya dengan khawatir sambil terus mengusap wajah Ati yang pucat pasi.
"Apakah air ketubannya sudah pecah?" tanya Stella.
"Sejak tadi subuh."
Rasa khawatir memuncak di perut Stella. Ia menatap Katerin yang duduk di dekat kemudi yang membalas tatapan Stella dengan mata nanar. Mungkin sama seperti pikiran Stella, Katerin tidak menduga bahwa perjalanan mereka kali ini akan berakhir seperti ini. Tante Mira dan Dessie tentu tidak akan keberatan dengan apa yang mereka lakukan sekarang.
"Katakan pada Agau untuk menambah kecepatan." Stella berkata.
Katerin mengangguk, kemudian bergeser mendakati Agau di kursi pengemudi, bicara padanya dengan nyaring, melampaui suara mesin yang menderu. Seketika kecepatan bertambah, membuat angin menderu di sekeliling mereka dan menerpa wajah Stella hingga membuat kulitnya kebas.
Ati kembali mengerang, kali ini dengan teriakan. Perempuan muda itu menggeliat dan meringis kesakitan sambil memegang pinggulnya. Tiba-tiba tubuhnya gemetar hebat, wajahnya yang semula pucat berubah merah. Ia bergelung ke samping lalu berikutnya memuntahkan apapun sisa makanan terakhir yang ada di lambungnya. Suaminya memeluk tubuh Ati, sambil mengusap punggungnya dengan panik. Ia berbisik di telinga Ati yang tidak dapat di dengar Stella. Stella masih memegang tangan Ati yang meremas jari-jarinya hingga air mata nyaris kelura dari sudut-sudut matanya.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Katerin, suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar di tengah suara mesin yang menderu.
Stella menggeleng, iapun tidak tahu jawabannya. "Ati, aku akan memeriksamu," katanya tanpa benar-benar tahu apa yang akan ia lakukan. Stella menyesal tidak membawa bidan kampung itu bersama mereka. Ia kemudian membersihkan tangan lalu membuka tapih yang digunakan Ati.
"Tolong buka kakimu." Ia melihat ke antara kedua kaki perempuan yang tengah kesakitan itu, tidak tahu bagaimana melakukannya. Stella tidak bisa melihat adanya tanda-tanda bukaan atau kepala bayi. Ia kemudian memasukan jari-jarinya di antara kedua kaki Ati untuk memeriksa bukaan lahir. Kelima jarinya dapat masuk ke mulut rahim Ati dengan mudah, membuat mata Stella mebelalak.
"Kurasa bukaannya lebih dari 5cm," gumamnya.
Ati mengerang kesakitan lagi, kali ini kontraksinya lebih sering dan lebih lama. Kelotok bergoyang perlahan saat mereka melewati riam dan Stella berharap bahwa mereka tiba di Krakas lebih cepat. "Usap terus punggungnya," kata Stella pada suami Ati. "Berikan dia ini." Ia lalu mengulurkan botol minumannya pada suami Ati.
Ati menyesap air putih itu lalu terkulai lemah. Lima menit kemudian Ati mengerang lagi, ia berterik kesakitan dan berbaring dengan gelisah sambil memegang tangan suaminya.
Stella dapat mencium bau amis dan lendir di udara yang membuatnya langsung panik. Bayinya tidak mungkin keluar sekarang. Selama 10 menit yang intens Ati terus mengerang kesakitan. Katerin dan suami Ati memegang masing-masing tangannya. Katerin meringis saat Ati mencengkram tangannya namun ia tidak mengatakan apa-apa. Sesekali Agau menoleh dengan wajah khawatir dan menambah laju kelotok mereka.
Stella memeriksa lagi dan nyaris terkesiap saai ia melihat ubun-ubun kepala bayi di jalan lahir.
Mengingat semua adegan film, cerita ibu-ibu melahirkan dan pengalamannya di desa, Stella berkata. "Ati, saatnya untuk mendorong. Tarik napas dalam-dalam lalu mulai mengejan." Ia merasa keringat mengalir membasahi punggungnya. Stella menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kepala dan melihata Katerin menatapnya dengan ngeri.
Ati mengejan tapi terlalu lemah untuk memberikan dorongan agar bayinya dapat keluar. "Lagi Ati, tarik napas dalam-dalam lalu mulai dorong lagi."
Ati mengerang. "Aku tidak kuat."
"Sebentar lagi Ati," kata Stella menyemangatinya. "Kau pasti bisa."
Suaminya menatap Ati dengan wajah tegang. Rahangnya terkatup dan tangannya terus mengusap kening istrinya yang basah oleh keringat. Ati mendorong lagi sambil melenguh, ia berteriak sekali lagi, namun kemudian terkulai lemah di pangkuan suaminya.
"Aku bisa melihat kepala bayimu sekarang," kata Stella. Ia memgang kedua lutut Ati, jantungnya berdegup liar di dadanya. Ia berharap bahwa mereka segera tiba di Krakas agar Ati dan bayinya dapat segera dirawat.
Calon ibu muda itu menggeleng, air mata mengalir di pipinya. "Aku sudah tidak sanggup lagi," katanya.
Stella berusaha membuat suaranya terdengar setenang mungkin. "Aku tahu ini sulit, tapi kau pasti bisa Ati. Sekarang tarik napas dalam-dalam, hembuskan lewat mulut dan mulai mengejan lagi saat kau merasakan dorongan."
Perempuan bertubuh kurus itu menatapnya seolah kata-katanya adalah mantra dan ia melakukan apa yang dikatakan Stella sebelum kembali terkulai lemas. Stella tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia harus mengalami apa yang Ati alami sekarang. Perempuan itu tidak seharusnya berada di sini, melahirkan bayinya di tengah antah berantah tanpa tenaga medis atau fasilitas memadai. Stella menarik napas dalam dan menatap wajah Ati, matanya tertutup dan terlihat nyaris pingsan.
"Kau harus kuat, kau harus bisa melewati ini demi bayimu." Tambahnya. Kata-katanya seperti ucapan kosong bahkan di telinga Stella sendiri.
Ati menggeleng, ia terisak pelan. Lalu tiba-tiba rasa sakit membuatnya meringis dan Ati mengerang penuh kesakitan. Kepalanya terangakat sedemikian rupa sehingga Stella dapat melihat urat-urat di lehernya menegang. Dengan tenaganya yang terakhir Ati mendorong sekuat tenaga, membuat Stella mencengkram lututnya tanpa sadar. Untuk waktu yang terasa sangat lama, akhirnya Ati terkurai lemah. Stella berharap mendengar suara tangisan bayi, tapi dorongan terakhir itu masih belum membuahkan hasil.
"Berikan dia air putih," kata Stella. Semoga dengan minum sedikit air, tenaga Ati bisa pulih, paling tidak cukup memberinya tenaga untuk mendorong bayinya. Kepala bayi itu telah terlihat dengan lebih jelas sekarang, namun masih membutuhkan lebih banyak usaha untuk mendorongnya keluar. Stella berharap bahwa kali ini bayi Ati akan selamat. Ia mengedarkan pandangannya, berharap melihat Desa Jala segera. "Sebenatar lagi kau akan melahirkan bayi yang sehat," bisik Stella, seolah meyakinkan diri sendiri.
Untuk pertama kalinya matanya bertemu dengan calon ibu muda itu. Di antara air matanya Stella dapat melihat tekad di wajahnya, seolah ia sedang berusaha untuk mengumpulkan tenaganya kembali. Ati menarik napas dalam-dalam lalu mengejan sekuat tenaga.
"Kepalanya mulai keluar," kata Stella menyemangati. "Iya seperti itu, sebentar lagi Ati."
Ati berhenti mendorong, menarik napas lagi dengan susah payah, lalu mendorong dengan sekuat tenaga. Ia berteriak dan terus mendorong hingga akhirnya kepala bayinya keluar sepenuhnya.
"Dorong sekali lagi Ati," kata Stella. Ia memegang kepala bayi itu, melepaskan kardigannya lalu, berusaha membersihkan hidung dan mulut mungil itu. Ati kmbali mendorong dengan lenguhan yang terdengar seperti binatang yang terluka. Bahu bayinya keluar beserta dengan cairan pekat kecokelatan. Stella menarik tubuh bayi itu lalu mengelapnya dengan kardigannya yang sekarang berlumuran cairan dan lendir.
"Apakah kau membawa sesuatu untuk membungkusnya?" Stella menatap suami Ati yang walaupun keningnya mengerut, tapi ia terlihat jauh lebih lega. Ia menoleh ke arah tasnya. Dengan sigap Katerin membuka kancing tas itu dan mengeluarkan selembar kain batik, lalu memberikannya pada Stella. Ia membungkus bayi laki-laki itu dengan kain tersebut, namun hatinya mencelos saat bayi itu tidak menangis ataupun bernapas. Matanya tertutup rapat dan tak ada tanda-tanda kehidupan pada tubuh mungil itu.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya suami Ati, suaranya nyaris seperti bisikan. Ia menatap bayinya dengan wajah tegang.
"Aku tidak tahu." Stella mengusap punggung mungil itu, membersihkan hidung dan mulutnya lagi tapi tidak terjadi apa-apa. Stella kini memijat pelan punggung kecil itu dan tanpa sadar ia mendesis menggumamkan antara doa atau mengeluarkan perasaan paniknya. Ia memijit tali pusar yang terhubung ke plasenta namun bayi itu tidak bergerak juga. Kumohon, kumohon bernapas, pintanya dalam hati. Ayah bayi itu menatap Stella dengan panik.