Mackenzie Pambudi adalah seorang pria beristri, kata Gemma berulang kali saat ia tidak bisa menyingkirkan pria itu dari kepalanya. Ia bertemu dengan Mack di siang hari dan memimpikannya di malam hari. Gemma merasa begitu putus asa dengan situasinya, ia tidak pernah mmengalami ini sebelumnya. Ia berpikir bahwa ia adalah seorang wanita mandiri, berorientasi pada karir dan membangun hidupnya, laki-laki adalah urusan kesekian. Dan Gemma tidak pernah membayangkan bahwa ia akan memikirkan seorang pria begini rupa, tidak pada seseorang yang telah menikah.
Gemma mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, sementara pendengarannya terarah pada Mack yang saat ini sedang berbicara di telepon di ruangannya. Suara langkah dari ruangan itu menandakan bahwa ia sedang berjalan mondar-mandir. Sejak hari dimana pria itu menerima telepon tentang kasus gedung kantor BMKG, Mack terus uring-uringan dan terlihat sangat gelisah. Terlebih setelah ia dipanggil penyidik inspektorat.
Gemma yakin bahwa Mack telah mengetahui risiko menjadi seorang kontraktor, tapi entah mengapa setiap kali hal buruk terjadi pada perusahaan atau sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, Mack selalu terlihat gelisah. Gemma merasa heran bahwa semua orang tidak memperhatikannya, atau mereka terlalu segan untuk berkomentar. Gemma mendesah, mungkin ia terlalu berlebihan dalam menanggapi sikap Mack, terutama karena pikirannya selalu dipenuhi oleh bosnya itu. Selama berminggu-minggu Mackenzie Pambudi telah menginvasi pikirannya siang dan malam.
Lelah dengan semua pergulatan batinnya, Gemma mengabaikan layar komputernya dan mememandang ke luar jendela. Apa yang akan dilakukan Stella ketika menghadapi suaminya yang gusar dan marah-marah. Apakah sama seperti yang lainnya, ia akan mengabaikan Mack, atau membantunya menghadapi masalahnya. Pria itu tidak pernah terlihat bahagia setiap kali melangkahkan kaki di kantor pada pagi hari. Mungkinkah di rumah ia juga tidak mendapatkan dukungan sebagaimana mestinya.
Memikirkan perempuan itu membuat hati Gemma sesak. Walaupun ia merasa kagum pada Stella karena berhasil merebut hati seorang Mackenzie Pambudi, tapi di sisi lain ia merasa jengkel dan marah. Marah karena Stella beruntung menikahi pria itu. Marah karena ia mulai curiga bahwa Stella bukan istri yang baik untuk Mack. Tidakah Stella dapat melakukan sesuatu untuk suaminya, untuk mengatasi kegelisahannya yang tampak jelas. Tidakah Stella akan menghiburnya, membuat keadaan menjadi lebih baik. Atau justru Mack juga marah-marah padanya, tidak memberinya kesempatan untuk menjadi istri yang mendukung dan menghiburnya. Apakah Mack juga memperlakukan istrinya sama seperti ia memperlakukan pegawai-pegawainya. Akankah Mack membentak istrinya sama seperti ia telah membentaknya kemaren. Tentu saja tidak, pikir Gemma, Stella adalah istrinya, sedangkan ia adalah sekretarisnya, seseorang yang bekerja untuknya. Tentu saja Mack akan memperlakukan istrinya dengan baik. Gemma membayangkan sisi lain dari seorang Mackenzie Pambudi. Sisi lembut dan penuh perhatian. Stella adalah perempuan yang beruntung.
Kalau begitu, mengapa perempuan itu tidak dapat menghibur suaminya sendiri, seolah Mack berjuang dengan rasa frustrasinya sendiri. Perdebatan kembali memenuhi pikiran Gemma. Tiba-tiba ia merasa sangat gusar, tidakah seorang istri mampu mengubah sikap suaminya, memberi dia cinta yang dibutuhkan, berada di sisinya setiap kali ia membutuhkan. Aaargh, Gemma merasa kesal pada diri sendiri, mengapa ia memikirkan semua ini. Mackenzie Pambudi dan pernikahannya bukan urusannya.
"Gemma," suara yang mampu menimbulkan perasaan terpilin di perutnya itu menyadarkan Gemma dari pikirannya. Ia mengangkat kepala dan matanya bertatapan langsung dengan sepasang mata cokelat terang itu.
"Iya Pak?"
"Hari ini kita akan pergi ke lokasi pembangunan perumahan pensiun yang sedang dibangun. Aku harap kau bisa membantuku untuk mencatat beberapa detail di sana."
"Baik Pak." Mack bergegas mempersiapkan diri. Tanpa menunggunya, bosnya itu langsung berjalan menuju lift yang membuat Gemma bersusah payah mengejarnya.
Ia bersyukur dalam hati karena Dean pergi bersama mereka ke lokasi pembangunan proyek itu, pria itu duduk di kursi penumpang di samping Mack yang mengemudi. Gemma tidak dapat membayangkan jika ia hanya duduk berdua saja dengan Mack di dalam mobil, walaupun ia tahu bahwa Mack hanya akan memperlakukannya secara profesional. Tapi Gemma tidak dapat mengendalikan perasaannya sendiri, kehadiran Mack berhasil membuat jantungnya bekerja dua kali lipat lebih cepat dari normal. Ia membuang muka ke luar jendela, berusaha memusatkan konsentrasinya pada pepohonan dan bangunan pusat kota Krakas yang mereka lewati.
"Menurutmu, seberapa jauh mereka akan mengusut kasus BMKG?" tanya Dean saat mereka mulai meninggalkan pusat kota.
Tatapan Mack terarah ke jalanan, dan ia tidak langsung menjawab. Gemma dapat melihat rahangnya mengeras, ia terlihat sedang berpikir keras untuk mendapatkan jawabannya.
"Aku tidak tahu," jawab Mack akhirnya. "Mereka mungkin saja menyeret kita ke pengadilan."
"Kita memiliki bukti yang cukup kuat untuk dapat menyangkal apapun kecurigaan mereka," jawab Dean. Pria yang biasa penuh senyuman itu sekarang terlihat serius, seolah sedang berpikir keras juga bersama Mack.
Dean adalah seorang yang ceria dan easy going, berbanding terbalik dari Mack. Mengapa Gemma lebih tertarik pada Mackenzie Pambudi bukannya Dean Katminto yang adalah pria bebas. Ia nyaris menampar dirinya sendiri ketika menyadari ke mana pikirannya menuju. Gemma menggigit bibir, berusaha mengalihkan pikirannya pada hal lain selain Mackenzie dan semua perasaan-perasaan liar yang ditimbulkannya pada Gemma.
"Kerusakan bangunan itu saja telah cukup menjadi bukti bahwa kita bertanggung jawab. Pihak pertama yang akan dicurigai adalah kontraktor." Mack berbelok memasuki jalan yang pada kedua sisi nya tumbuh berjejer pohon trembesi, daunnya yang rindang menaungi jalan itu seperti atap. Tidak ada dedaunan mati yang dibiarkan berserakan atau mengotori jalan dan trotoar berumput di kedua sisi jalan itu.
"Apakah mereka akan menjadikan perusahaan kita sebagai pihak yang bertanggung jawab," kata Dean lebih kepada diri sendiri.
"Aku tidak tahu," jawab Mack terlihat sangat serius. Sejak kapan ia melihat Mack tidak serius, batin Gemma.
Ujung jalan itu berakhir pada sebuah lapangan luas berumput hijau, sebuah danau kecil mendominasi tempat itu. Air danau itu berwarna hijau yang memantulkan warna daun mahogani dan pohon tanjung yang tertanam rapi di sekelilingnya. Mereka mengitari danau itu dan memasuki jalanan bekerikil dengan kedua sisinya ditumbuhi tanaman tabebuya berwarna kuning dan merah muda. Gemma belum pernah melihat kompleks perumahan pensiunan seindah ini sebelumnya.
Ia dapat melihat deretan bangunan yang masih belum selesai dari kejauhan. Lebih dari enam puluh rumah masih dalam proses pembangunan, membentang di kedua sisi jalan yang masih belum serapi jalanan yang mereka lewati barusan. Sebagian besar rumah telah mulai berbentuk dan sebagian lainnya masih dalam proses pembangunan awal.
Mack memarkir mobil di depan salah satu rumah yang masih berupa kerangka. Beberapa pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, sementara Irlan, pengawas lapangan yang tadinya berdiri di depan bangunan itu berjalan ke arah mobil Mack untuk menyambut mereka.
Ketiganya keluar dari dalam mobil dan Gemma langsung menyipitkan mata ketika matahari Krakas yang terik menyilaukannya. Ia dapat melihat Mack mengeluarkan kacamata hitam dari saku depan kemeja berwarna biru pudar yang ia kenakan, lalu memasangnya. Pandangan itu sudah cukup membuat jantung Gemma jatuh ke perutnya. Dean tidak perlu mengenakan kacamata hitamnya karena kacamata minus yang ia gunakan telah berubah warna menyesuaikan cahaya matahari. Gemma menyesal ia tidak terpikir untuk membawa kacamata hitamnya sendiri.
"Aku tidak melihat adanya kemajuan sedikitpun dari kunjungan terakhirku seminggu yang lalu." Nada Mack terdengar tidak puas saat ia berbicara pada Irlan.
"Kami mohon maaf Pak," jawab pria yang lebih pendek dari Mack itu. "Saya telah mengerahkan semua tim agar dapat bekerja menyelesaikan proyek ini sebelum tenggat waktu yang telah ditetapkan."
Mack tidak terlihat puas mendengar jawabannya. "Aku telah mendengar jawaban itu sebelumnya. Apa sebenarnya penyebab lambatnya pekerjaan ini?"
Irlan mengerutkan kening, lalu berkata dengan nada ragu, "Kami masih belum mendapatkan suplai material yang sesuai dengan rancangan yang telah dibuat."
Gemma tidak dapat membaca ekspresi Mack dari balik kacamata hitamnya saat ia berkata, "Kita telah bekerja sama dengan banyak penyedia material untuk mencegah hal ini terjadi."
"Saya mengerti Pak." Irlan mengangguk, seolah mengakui kesalahannya.
Gemma mencatat percakapan mereka dan detail penting seperti meminta bagian logistik untuk menghubungi penyuplai mereka.
Dean membentangkan design bangunan di hadapannya. Walaupun rumah-rumah itu tampak nyaris sama, mereka merancangnya sesuai dengan kebutuhan setiap calon penghuni yang akan menempati bangunan-bangunan itu.
"Harusnya pintu masuk dibuat sedikit lebih lebar untuk bangunan ini," kata Dean sambil menunjuk bangunan yang sedang dikerjakan, kemudian menatap kertas tebal yang ia pegang. "Calon penghuni rumah ini adalah seorang pensiunan yang menggunakan kursi roda. Pintu masuk yang lebih luas akan memudahkannya keluar masuk ruangan tanpa bantuan."
Gemma mencatat kembali.
Mack berjalan ke arah bangunan itu. "Sebelum rumah ini dibangun lebih jauh, pastikan pengerjaannya mengikuti rancangan yang telah ada dan material yang digunakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan."
Irlan mengangguk lagi. "Baik Pak." Ia berjalan mengikuti Mack ke rumah yang masih setengah jadi itu.
Para pekerja sedang berhenti dari pekerjaan mereka dan duduk beristirahat di sisi lain bangunan. Gemma berjalan mengikuti di belakang Mack dan Irlan. Sepatu hak tingginya tidak membantu saat berada di lokasi proyek semacam ini, membuatnya merutuk dalam hati.
Mack menaiki undakan depan yang masih berupa semen. Kejadian berikutnya begitu cepat, Gemma melihat Mack kehilangan keseimbangan saat ia melangkah di undakan yang licin itu, lalu jatuh berdebam dengan kepala membentur lantai semen terlebih dahulu.
"Pak Mack!" seru Gemma dan Irlan nyaris bersamaan, seraya berlari ke arah pria tinggi besar itu. Gemma mendengar Mack mengumpat, lalu mengerang. Ia berusaha bangkit berdiri sambil memegang sisi kiri kepalanya. Dean berlari mendekat dan berlutut di samping sahabatnya itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Dean sambil membantu Mack untuk berdiri. Kekhawatiran menghiasi wajahnya.
Mack mengeleng, terlihat jelas tidak ingin dibantu. Ia menyingkirkan kacamata hitam itu dari wajahnya, kemudian memegang sisi kepalanya yang membuatnya langsung meringis. Tangannya yang tadi menyentuh kepala kini berlumuran darah. Mack mengumpat beberapa kali, membuat Gemma menahan napas, entah yang mana yang ia rasakan. Takut atau khawatir.
"Terlihat buruk bro," kata Dean.
"Sebaiknya Bapak segera ke rumah sakit," timpal Irlan, ketakutan pada suaranya semula kini berubah menjadi nada simpati.
"Aku baik-baik saja," jawab Mack. Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, lalu menempelkan kain itu pada belakang kepalanya yang berdarah. Segera sapu tangan berwarna putih itu berubah menajadi merah pekat.
"Itu tidak terlihat baik-baik saja," kata Dean. "Kurasa kepalamu membutuhkan jahitan.
Kening Mack mengerut, namun ia tidak mengatakan apa-apa.
***