Hampir sebulan setelah Stella memutuskan untuk tidur di ruang tamu, ia menghindari Mack dalam setiap kesempatan dan menolak untuk berbicara padanya. Mack berusaha untuk membuat keadaan lebih baik di antara mereka, namun Stella tidak mempedulikan usahanya. Mack merasa marah pada diri sendiri dan semua tindakan bodoh yang ia lakukan. Mengapa ia tidak bisa bersikap penuh pengendalian diri jika berada di dekat istrinya itu. Sekarang ia tidak heran jika Stella menghindarinya. Tetap saja Mack merasa frustrasi dan ingin melampiaskan kemarahannya dengan melempar sesuatu.
Semalam ia berdiri di depan pintu kamar Stella hendak mengetuk namun berhenti sebelum buku-buku jarinya menyentuh daun pintu. Ia melakukan ini selama seminggu terakhir berulang kali seperti orang bodoh. Selain itu Mack selalu pulang lebih awal, bahkan sebelum matahari benar-benar terbenam, berharap bahwa ia akan mendapatkan kesempatan untuk berbicara pada istrinya. Namun Stella telah mengurung diri di dalam kamar dan tidak keluar sebelum Mack pergi bekerja. Pada kesempatan yang langka ia cukup beruntung menemukan Stella berjalan di halaman belakang saat ia mengira Mack tidak memperhatikannya. Setelah beberapa hari memperhatikan istrinya itu lebih dekat, Mack dapat melihat bahwa perut Stella telah membesar. Tidak hanya perutnya tapi juga payudaranya.
Mack mengerang frustrasi sambil menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangan yang terasa kasar. Ia memaki diri sendiri bahwa selama ini ia telah bersikap seperti seorang pengecut. Ketakutannya menjadi seorang ayah masih menyelimutinya, dan membuat keadaan di antara dia dan Stella menjadi lebih sulit. Dengan jarak di anatara mereka, Mack baru menyadari bahwa istrinya tiba-tiba menjadi perempuan paling cantik yang pernah ia lihat. Ia mengumpat, apa gunanya kesadaran itu, sekarang sekalipun mereka tinggal di bawah atap yang sama, Mack tidak dapat menjangkaunya atau membawa Stella kembali ke dalam pelukannya dengan mudah.
Mack sengaja tidak tidur di kamar mereka malam ini, absennya Stella dari kamar itu membuatnya merasa semakin ingin menghambur ke kamar tamu dan mengkonfrontasi perempuan itu. Kebutuhan dan ketertarikannya pada istrinya tidak berkurang sedikitpun, sekalipun sekarang perempuan itu terlihat jauh lebih kurus, terlalu kurus untuk seleranya, namun Mack selalu merasa tertarik padanya dan kehangatannya. Mack kembali memaki, sekarang apakah ia masih cukup percaya diri untuk mempertanyakan bahwa bayi yang sekarang tumbuh dalam rahim istrinya itu adalah milik orang lain.
"Brengsek!" Mack bangkit dari kursinya, merasa marah pada diri sendiri. Apa yang ada dalam pikirannya hingga ia menuduh Stella mengkhianatinya. Hari itu, saat ia melihat Stella terkulai di bahu Bobby, kemarahan membucah di dada Mack. Walaupun ia dapat melihat bahwa Stella terlihat sangat tidak sehat dan pasti ada alasan atas apa yang terjadi di lorong rumah sakit itu, tapi ia tida bisa menghentikan dirinya dari rasa marah. Mack ingin menonjok wajah Bobby Susilo dan membawa Stella pulang secara paksa. Alih-alih melakukan semua itu ia justru melampiaskan kemarahannya dengan minum dan menyakiti istrinya. Bajingan, pengecut.
Mack menyisirkan jari-jari ke rambutnya yang kusut. Lagi pula, apa yang Stella lakukan di sana, di rumah sakit itu bersama sekelompok perempuan muda yang terlihat khawatir dan kelelahan. Apakah salah satu dari orang yang mereka kenal sedang sekarat. Ia mendengar Stella berbicara di telepon beberapa hari yang lalu, bertanya tentang biaya rumah sakit dan semacamnya, tapi Mack tidak terlalu memberi perhatian. Apakah orang yang ia kenal sedang dirawat di rumah sakit. Mack ingat hari itu Stella pamit untuk mengajar ke salah satu desa di tepi sungai Krakas, dan ia tidak memberikan kesempatan sedikitpun untuk istrinya menjelaskan situasinya, apa yang ia lakukan di sana, di rumah sakit dan mengapa ia membiarkan Bobby memeluknya. Mack mengeraskan rahangnya, sekarang ia mengerti bagaimana perasaan Stella ketika ia menarik diri dan tidak membiarkan Stella menolong dan berbicara padanya. Walaupun saat ini ia sangat ingin tahu ada apa sebenarnya tapi Stella menolak untuk berbicara padanya. Memikirkan Bobby membuat darah Mack mendidih.
Mack menatap laci mejanya, mempertimbangkan apakah tepat jika ia menenggak cairan dalam botol vodka yang tersembunyi di balik berkas-berkasnya. Jika ia meminumnya sekarang ia akan merasa jauh lebih baik, lebih tenang dan dalam kendali, namun ia tidak tahu apa yang akan terjadi di akhir tindakannya itu. Lagi pula ia harus pergi bekerja hari ini. Ia tidak ingin menambah masalah lain lagi dalam pekerjaannya yang telah berhasil membuatnya terjaga selama beberapa malam terakhir. Mack mempertimbangkan semua pilihannya dan dengan susah payah menyeret diri keluar dari ruang kerjanya dan berjalan menuju dapur.
Langit di luar telah berubah menjadi biru gelap, nyaris berwarna ungu, menandakan bahwa matahari mulai terbit. Mack menyadari bahwa ia tidak tidur sama sekali malam ini. Ia menuang kopi dari mesin pembuat kopi ke dalam cangkirnya, aroma minuman itu memenuhi ruangan. Mack menghirupnya dengan perasaan lega, paling tidak cairan pekat itu mampu membuat kepalanya lebih jernih. Ia membawa kopinya ke ruang duduk, menyalakan TV untuk membunuh waktu sampai jam berangkat kerja tiba. Mata Mack terarah pada layar besar berwarna di hadapannya tanpa benar-benar memperhatikan. Ia menyadari bahwa rumah itu terasa sunyi tanpa kehadiran Stella di sana. Tiba-tiba suara benturan mengaggetkannya. Suara itu berasal dari kamar dimana Stella berada sekarang, seperti pintu yang menghantam tembok saat dibuka dalam ketergesaan.
Semula Mack menduga bahwa apa yang ia dengar hanya ada dalam kepalanya saja. Namun berikutnya ia mendengar suara air menyala dari kamar tamu di dekat ruang duduk itu. Ia berjalan mendekat dan mendengar Stella terbatuk-batuk lalu mengeluarkan suara seperti orang muntah. Suaranya terdengar menyakitkan, seolah ia mengeluarkan sesuatu dari dalam perutnya secara paksa.
Mack mengetuk pintu. "Stella?" Suara-suara muntahan itu berhenti, namun kembali terdengar lagi, kali ini lebih lemah. "Kau baik-baik saja?" Tidak ada jawaban. Mack memutar kenop pintu dan mendapati pintu itu terkunci. "Stella, biarkan akau masuk. Aku ingin tahu apa yang terjadi di sana."
Masih belum ada jawaban, dan kali ini suara-suara dari dalam kamar itu menghilang sepenuhnya.
Mack menghela napas, merasa kalah. Stella bisa sangat keras kepala dan Mack merasa lebih marah lagi, entah pada dirinya sendiri atau pada kekeraskepalaan Stella. Ia berjalan kembali ke ruang duduk, mematikan TV lalu melempar remot kontrol ke seberang ruangan dengan kesal. Mack kemudian pergi ke dapar dan menumpahkan isi cangkirnya yang masih sisa setengah ke dalam wastafel, termasuk menumpahkan semua kopi yang masih tersisa di cangkir besar pada mesin pembuat kopi. Tidak ada gunanya berada di dalam rumah ini dengan istri keras kepala. Mack tahu ia salah, tapi ia merasa semakin jengkel ketika ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki kesalahannya.
Perasaan Mack tidak menjadi lebih baik saat ia tiba di kantornya. Gemma masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi tidak bisa ditebak, antara takut atau tegang, mungkin keduanya.
"Ada surat panggilan lagi untuk Bapak," katanya pelan. Ia menyerahkan amplop cokelat bertuliskan Penyidik Inspektorat.
***
Setelah sekian puluh pertanyaan dan bujukan, akhirnya Freddy berkata dengan nada tidak sabar. "Anda harus bekerja sama dengan baik pak Mackenzie." Ia terlihat terlalu besar untuk berada dalam ruang persegi abu-abu itu.
Mack menunggunya untuk melanjutkan.
"Jika Anda tidak bekerja sama, status Anda bisa saja berubah menjadi tersangka."
"Anda telah menginterogasi saya dengan sekian puluh pertanyaan yang Anda tahu jawabannya adalah kebenaran," kata Mack jengkel. "Saya telah menunjukan berkas dan bukti-bukti dimana perusahaan dan tim saya telah melakukan pekerjaannya dengan baik dan sesuai prosedur."
"Tapi anda mengabaikan dua bukti yang menjadi alasan kuat untuk menyeret Anda ke kursi pesakitan."
Mack menatapnya tajam.
"Anda tidak bisa mengabaikan bahwa keretakan pada bangunan milik Negara tersebut adalah bukti dari gagalnya proyek yang perusahaan Anda tangani. Dua saja alasan kerusakan itu terjadi. Pertama, kesalahan rancangan pembangunan yang mana Anda telah berhasil buktikan tanpa cela, saya akui arsitek P&K Construction telah melakukan tugasnya dengan baik. Kedua adalah kesalahan prosedur pada pembanguanan, ini bukan hanya berbicara bagaimana Anda mengerjakan proyek tersebut, tapi bagaimana anda mengelola dana yang telah dikucurkan untuk proyek itu, dengan kata lain melakukan mark up."
"Yang mana tidak terbukti," tukas Mack. "Anda telah melihat sendiri alokasi penggunaan dana, bahkan Anda telah mengintrogasi bagian logistik dan penyuplai yang menyediakan material untuk proyek ini."
"Uji lab material yang digunakan telah menjadi bukti bahwa perusahaan Anda telah melakukan mark up."
Mack memicingkan mata pada pria bertubuh tambun itu.
"Kepala BMKG telah resmi menjadi tersangka." Freddy mencondongkan tubuh ke meja untuk menatap Mack lebih dekat. "Pilihan Anda adalah untuk bekerja sama dengan kami. Akui apa yang tidak kami ketahui maka situasi Anda akan jauh lebih baik."
Mack menatapnya dengan tatapan tajam. "Anda memanggil saya sebagai saksi, bukan tersangka. Saya tidak perlu mengakui apapun karena semua yang Anda dengar dan rekam hari ini adalah jawaban yang Anda perlukan dari seorang saksi." Ia menunjuk recorder persegi berwarna hitam di tengah meja.
Freddy menyipitkan mata. "Jangan terlalu yakin Pak Mackenzie. Keadaan bisa berubah dalam seketika, bahkan tanpa anda sadari."
Mack membalas tatapannya. "Apakah Anda mengancam saya?"