Mack berpikir bahwa setelah Stella setuju untuk pergi bersamanya malam ini, maka keadaan di antara mereka akan membaik, namun apa yang terjadi tadi malam justru sebaliknya. Ia tidak seharusnya berpikir bahwa seseorang yang ibunya bicarakan akan dapat membantunya, terutama jika orang itu adalah Jonathan Susilo. Sejak lama Mack tidak pernah merasa senang berada di dekat pria itu. Mack tidak dapat membuktikannya, namun ia merasa yakin bahwa Jonathan Susilo juga mengambil andil dalam kebangkrutan yang dialami ayahnya.
Terlebih malam ini, bukan hanya ayah, namun juga anak, mampu membuat darah Mack mendidih. Seolah tidak cukup dengan apa yang ia lakukan di masa lalu, Bobby Susilo seperti permen karet busuk yang menempel di sol sepatunya. Mengejar apa yang Mack kejar dan menginginkan apapun yang ia miliki. Membayangkan pria itu mulai mendekati istrinya membuat rahang Mack mengeras. Kebencian yang telah lama berusaha ia kendalikan kini hanya bertambah semakin buruk dan Mack tidak bisa berada di ruangan yang sama dengannya tanpa merasa ingin menghajar pria itu.
Mack berdiri di ruang duduk dengan mata tertuju pada pintu kamar tamu, tempat dimana Stella berada. Tadi malam ia membawanya pulang dengan jantung nyaris copot. Ia ketakutan setengah mati dan khwatir bahwa ia telah menyakiti Stella. Stella bersikeras bahwa ia baik-baik saja dan meminta Mack untuk membawanya pulang.
"Kita harus ke rumah sakit," kata Mack saat mereka telah berada di dalam mobil. Stella memegang perutnya, namun wajahnya datar, matanya terarah ke depan.
Stella menggeleng lalu memejamkan mata. "Aku baik-baik saja."
Mack menatap wajahnya yang pucat di bawah cahaya lampu di tempat parkir itu. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja." Tanpa sadar mata Mack tertuju pada perut istrinya yang mulai membuncit itu.
Stella membuka matanya dan berkata, "Sejak kapan kau peduli? Aku tidak melihat kau berusaha untuk memperlakukanku dengan baik dan memastikan keselamatanku, apalagi bayi ini." Ia mengarahkan tangannya ke perutnya.
Mack mengernyit. Kata-kata Stella menyengat tepat di hatinya.
"Kau tidak harus berpura-pura untuk peduli. Sekarang bawa aku pulang."
Walaupun ia ingin membantah, Mack menuruti keinginan Stella dan membawanya pulang. Berharap bahwa setelah malam itu, segalanya akan baik-baik saja.
Kini Mack melangkah ke pintu kamar Stella dengan pelan, perasaannya tidak karuan. Ia tahu Stella tidak ingin melihatnya atau berada di dekatnya setelah kejadian malam tadi atau pada hari-hari lain ketika Mack bersikap seperti seorang brengsek. Tapi hari ini ia merasa putus asa karena Stella tidak membiarkannya untuk bersamanya, berada di dekatnya dan memperbaiki kesalahannya. Rasa tidak berdaya karena ia tidak bisa melakukan apa-apa membuat Mack semakin frustrasi.
Kejadian malam tadi kembali terulang dalam benaknya. Stella terjatuh ke lantai begitu keras dan Mack ketakutan setengah mati bahwa hal buruk bisa saja terjadi padanya. Walaupun ia berusaha menepis pikiran tentang bayi yang ada dalam kandungan Stella, tapi pikiran itu terus menghantui Mack. Apakah ia juga telah membahayakan bayi mereka. Rasa takutnya menjadi seorang ayah membuat Mack yakin bahwa ia tidak akan pernah menjadi ayah yang baik bagi anaknya. Ia akan memperlakukan anaknya sama seperti ayahnya sendiri menganiaya dirinya dan ibunya.
Mack menyisirkan jari-jarinya yang terasa kaku ke rambutnya. Ia merasa tangannya kebas, entah berapa kali pagi ini ia mengepalkan tinju untuk mengendalikan emosinya.
"Stella?" Ia mengetuk dan menunggu. Tidak ada jawaban. Mack memutar kenop pintu dan mendapati pintu itu terbuka.
Ia membuka pintu lebih lebar dan melihat Stella terbaring di tempat tidur dengan mata terpejam. Mack masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekati ranjang istrinya. Ia dapat mendengar napas tenang Stella yang menandakan bahwa ia sedang tertidur. Istrinya itu tidak pernah bangun selambat ini sbelumnya, membuat Mack merasa khawatir. Ia memperhatikan wajah itu lagi, memastikan bahwa Stella baik-baik saja. Ia damai dan tidak terbangun atau beregerak sedikitpun saat Mack membelai lembut keningnya, menyapu ibu jarinya ke alis Stella.
Untuk beberapa waktu Mack hanya brlutut di samping ranjang dan menatap wajah istrinya itu. Apa yang selama ini telah Mack lakukan. Perempuan yang kini ada di hadapannya adalah alasan mengapa hidupnya terasa lebih berarti. Hari pertama ia melihat Stella di kampusnya, Mack yakin bahwa ia adalah orang yang akan ia nikahi, walaupun butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkannya dan meyakinkannya untuk menjadi kekasih Mack. Kini setelah menikah, Mack justru memperlakukan Stella dengan buruk, menjadikannya pelampiasan atas semua kemarahan dan tekanan yang selama ini ia rasakan.
Mack merasa gelombang emosi membentuk gumpalan di tenggorokannya, penyesalan dan rasa bersalah seperti awan hitam yang bergulung di sekitarnya, membuat Mack sulit bernapas. Jari-jarinya menyentuh wajah Stella, betapa ingin ia mendekapnya, mengatakan bahwa ia menyesal telah menyakitinya. Mack ingin mengatakan bahwa ia mencintainya dan bersyukur bahwa Stella telah hadir dalam hidupnya.
Mack memajamkan mata dan menarik napas perlahan. Seandainya keadaan mereka berbeda dan ia tidak melakukan kebodohan seperti yang telah diakukannya, mungkin ia dan Stella tidak akan begitu menderita dalam pernikahan ini. Mack bangkit dari lantai, lalu membungkuk untuk mencium pipi istrinya. Setelah menatap Stella beberapa untuk saat lamanya, Mack beranjak ke pintu dan berjalan keluar. Dengan berat hati ia pergi meninggalkannya.
***
Mack menemukan sepucuk surat beramplop cokelat di atas meja kerjanya saat Dean memasuki ruangan. Ia mengangkat salah satu alisnya saat melihat Dean memegang amplop yang sama.
"Sidangnya dipercepat" Dean duduk di sofa di seberang ruangan. Ia membuka surat itu sambil mengerutkan kening.
"Kau mendapatkan panggilan ke pengadilan?" Mack membuka amplopnya sendiri yang menyatakan bahwa ia akan menjadi saksi dalam sidang pembuktian kasus gedung BMKG. Matanya tertuju pada tanggal di surat itu, yang mana akan dilakukan besok, pukul 8 pagi.
"Sebagai saksi," jawab Dean, masih dengan mata tertuju ke selembar kertas di tangannya. "Hendro memberikan laporannya pagi ini mengenai penyebab kerusakan gedung itu."
Mack mengangkat kepalanya untuk menatap Dean.
"Bangunan itu tidak sesuai dengan struktur tanah dan spesifikasi yang telah ditetapkan."
Mack menarik napas perlahan, lalu duduk dengan tegak. Perusahannya telah melakukan semua prosedur dengan benar, mereka telah menguji material yang akan digunakan, Mack mengerahkan timnya untuk bekerja dengan penuh integritas dan tanggung jawab. Pembangunanpun dilakukan sesuai dengan rancangan yang telah disetujui pemilik proyek dan dengan pengawasan yang ketat. Tapi mengapa temuannya seperti itu.
Dean memperhatikan raut wajah Mack dan berkata, "Kita masih dapat membela diri dengan semua bukti yang kita miliki. Kita telah melakukan semua prosedur dengan benar, melakukan uji material, bahkan pengawas proyekpun tidak pernah mengeluhkan semua hasil kerja kita. Pasti ada sesuatu yang salah di luar kendali kita, dari pihak lain.
"Aku tidak tahu," jawab Mack, merasa tidak seyakin Dean. Ia menatap nanar layar komputernya dan merasakan kegelisahan menjalar menaiki tulang punggungnya.
***
Pagi ini Mack berjalan menuruni tangga, bersiap untuk menghadiri persidangan sementara matanya masih berat dan punggunya terasa tidak nyaman saat ia terbangun. Semalam Mack menghabiskan waktu di ruang kerja untuk mempelajari kembali data pembangunan gedung BMKG tersebut. Langkahnya terhenti saat ia mendengar suara-suara dari kamar Stella. Istrinya masih menunjukan sikap yang sama, menghindarinya dan tidak ingin bicara pada Mack. Walaupun sangat khawatir, ia berusaha menepis masalah di antara mereka. Ia pikir Stella perlu waktu dan jarak untuk menenangkan diri, ia mengerti jika Stella masih marah, tapi ia tidak bisa tidak peduli.
Suara seperti erangan kembali terdengar dan Mack berjalan mendekati pintu kamar yang tertutup. "Stella?" ia mengetuk pintu, setelah tidak ada jawaban, tanpa ragu Mack memutar kenop pintu dan membukanya. Ia tidak menemukan Stella di ranjangnya dan terdengar suara air mengalir dari kamar mandi, ia melangkah ke sana dan mengetuk pintu. "Stella?" tanyanya dengan perasaan was-was. Ia mengetuk lagi. "Apa kau baik-baik saja?"
Setelah beberapa saat Stella menjawab. "Aku baik-baik saja," suaranya sangat pelan.
"Apa kau perlu sesuatu?"
"Tidak."
Mack berdiri menunggu, tidak yakin apakah ia harus pergi atau menunggu Stella keluar dari kamar mandi. Waktu telah menunjukan pukul 7.30 dan ia harus berada di persidangan bahkan sebelum pukul 8 pagi. Setelah beberapa waktu berdiri di sana, Mack tidak mendengar suara erangan atau lenguhan lagi selain bunyi air dari keran yang terbuka. Mungkin tadi ia hanya memikirkan suara-suara itu.