The Pain of Yesterday

Lina A. Karolin
Chapter #20

Bab 20

Sesaat dunia terlihat gelap ketika Mack berlari ke lapangan parkir menuju mobil dan tidak tahu bagaimana ia bisa masuk ke dalam mobil itu dan keluar dari halaman pengadilan menuju jalan raya. Mack melaju dengan kecepatan tinggi dan berharap detik berikutnya telah sampai di rumah sakit. Tangannya memegang roda setir dengan gemetar, sementara jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. Ia tidak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Mack bukanlah orang yang relijius, ia bahkan tidak yakin bahwa ia mempercayai adanya Tuhan atau tidak. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Mack memohon kepada Tuhan agar Ia menyelamatkan Stella dan bayi mereka.

Gedung, pepohonan dan kendaraan lain yang melintas terlihat seperti bayangan samar di sekitarnya. Ia melintasi jalan tol Krakas yang menghubungkan Krakas Timur dan Krakas Barat dimana rumah sakit berada. Mack tidak seharusnya meninggalkan Stella pagi ini, ia tahu bahwa ada sesuatu yang salah dengan istrinya. Ia seharusnya lebih berusaha lagi untuk tetap tinggal dan membantunya dan Mack tidak mengerti mengapa Stella tidak mengatakan apa-apa padanya pagi tadi. Karena kau adalah seorang bajingan, suara itu merongrongnya. Bajingan! Kata-kata itu kembali menggema di kepalanya.

"Diam!" teriak Mack, kemudian ia mendengar suara letupan yang amat keras. Mobilnya oleng ke kiri dan melaju dengan liar di tengah jalan tol itu, membuat pengandara lain membunyikan klakson secara bertubi-tubi padanya. Sekelilingnya terlihat samar dan Mack tidak yakin apakah ia bisa mengendalikan laju mobil itu atau menabrak pembatas jalan.

Terdengar suara gesekan dan decitan yang memekakan telinga seperti suara besi menggesek permukaan aspal. Mack berusaha mengendalikan arah mobil yang terus melaju dengan liar, sisi kiri mobil itu lebih tinggi dari sisi lainnya. Suara klakson dari pengendara lain kembali berdenging di sekitarnya. Mack membanting setir ke sisi kiri jalan dengan tajam sebelum akhirnya mobil itu menghantam tembok pembatas dengan begitu keras. Mack merasa tubuhnya terbanting ke belakang merasa sesuatu menampar wajahnya dengan keras, menimbulkan rasa terbakar di pelipis kanannya. Mobil berhenti total dengan suara seperti lenguhan.

Untuk sesaat Mack tidak dapat bernapas ataupun bergerak. Kejadian yang baru ia alami membuat sekujur tubuhnya bergetar hebat dan ia tidak yakin apakah ia sadar atau pingsan. Ia kehilangan orientasi.

Wajah Mack masih terbenam di kantong udara ketika adrenalin membuat pembuluh darah di keningnya berdenyut tak terkendali. Selama satu menit penuh Mack berusaha mengendalikan deru jantungnya, kemudian mengangkat kepala dan melihat ke luar jendela. Beberapa mobil berhenti di seberang jalan dan beberapa orang pengemudi lain berjalan ke arahnya.

Mack merasa tangannya berusaha membuka pintu. Ia masih belum bisa mengendalikan getaran yang membuat tangannya seperti agar-agar. Ia harus keluar dari sini dan pergi ke rumah sakit, namun gerakannya segera terhenti saat tubuhnya tidak mau bekerja sama. Kini kaki dan tangannnya bergetar tak terkendali, membuat Mack kembali terdiam di kursinya.

"Anda baik-baik saja Pak?" kata salah seorang pria berkaos oblong berwarna putih kusam sambil mendekati mobilnya.

Mack tidak dapat menjawab karena ia sendiri tidak yakin apakah ia baik-baik saja. Ia menggeleng. Pria itu membantunya membuka pintu mobil, sementara pria lain yang lebih kurus berjalan di belakangnya. Keningnya mengerut saat melihat kondisi Mack.

Mack turun dari mobil dengan susah payah, sambil napasnya tersengal dan keningnya berdenyut menyakitkan. Kakinya nyaris tidak dapat berdiri tegak untuk menopang tubuhnya. Kini ia dapat melihat asap keluar dari bamper depan mobil yang sudah tidak berbentuk, runtuhan beton pembatas jalan berserakan di sekitar mobil itu.

"Sepertinya mobil Anda rusak cukup parah," kata pria yang lebih kurus itu. Matanya terarah ke bamper mobil Mack.

Pria dengan kaos oblong itu memberikan sapu tangan kepadanya. "Kening Anda berdarah Pak."

Mack mengambil sapu tangan itu sambil mengedarkan pandangannya dimana sekarang mobil-mobil berhenti dan para pengemudi menonton dari jauh, sementara yang lain mendekati mereka. Ia menyentuh keningnya dengan sapu tangan itu dan mengernyit saat rasa sakit melandanya.

"Saya harus segera ke rumah sakit," kata Mack.

"Sepertinya memang begitu," timpal pria kaos oblong itu. "Anda bisa menumpang mobil saya."

Mack mengangguk, ia tidak ingin berdebat. Mack mengambil tas kerjanya, lalu meninggalkan mobil yang setengah hancur itu. Saat ini ia tidak peduli apakah akan bisa mengemudikan mobil itu lagi, mobil pertamanya setelah berhasil memenangkan sebuah proyek bertahun-tahun yang lalu.

Mereka berjalan ke mobil pria itu, yang adalah sebuah pick up berwarna hitam dengan ayam ras memenuhi bak belakangnya. Mack tidak peduli milik siapa atau seperti apa mobil yang ia tumpangi, yang penting ia bisa segera tiba di rumah sakit. Mack kembali menempel sapu tangan itu saat merasa cairan hangat mengalir di keningnya, nyaris mengenai matanya. Hampir semua pengemudi yang tadinya berhenti kini perlahan bubar ke kendaraan mereka masing-masing, lalu melaju ke tujuan mereka.

"Seseorang perlu menderek mobil Bapak segera," kata pengemudi pick up itu ketika mereka telah melaju menuju pusat kota Krakas.

Mack menatap jalanan dan merasa gelisah saat menyadari betapa lambatnya pick up itu.

"Anda baik-baik saja?" tanyanya setelah memperhatikan raut wajah Mack.

Mack menggeleng yang membuat rasa sakit di keningnya bertambah parah. Tangannya mencengkram pegangan pintu mobil.

"Kecelakaan memang sering terjadi di daerah tadi. Anda beruntung karena tidak bertabrakan dengan truck besar yang sering melintasi jalan tol itu."

Mack mengangguk.

Seolah sadar bahwa Mack tidak ingin berbicara, pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi.

Setelah tiga puluh menit yang terasa sangat lama, pick up itu akhirnya berhenti tepat di depan pintu rumah sakit.

"Terima kasih," gumam Mack, lalu meluncur keluar dari mobil. Ia tidak dapat merasakan kakinya sendiri saat berdiri di halaman rumah sakit.

"Sama-sama Pak," jawab pria asing itu sambil melemparkan tatapan khawatir padanya.

Mack mengangguk lalu pria itu melajukan pick upnya keluar dari halaman rumah sakit.

Tidak ingin berlama-lama lagi, Mack berlari ke meja resepsionis dan menyebutkan nama istrinya. Sesaat setelah perawat perempuan itu menyebutkan nomor kamarnya, Mack langsung berlari dan nyaris menabrak beberapa perawat dan pengunjung rumah sakit saat menuju lift. Suara jantunya mendengung di telinganya, tanpa sadar ia terus bekata pada diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Bunyi ding menyadarkan Mack dan ia langsung menghambur keluar ketika pintu lift perlahan terbuka. Dari kejauhan ia melihat ibunya berdiri di ujung lorong, ayah tirinya merangkul bahunya.

"Bagimana keadaan Stella?" tanya Mack saat ia telah berdiri di hadapan keduanya. Mereka menatapnya dengan ekspresi yang membuat hati Mack mencelos. Perasan dingin menjalar di tulang punggungnya.

"Apa Stella baik-baik saja?" tanyanya saat mereka tidak menjawab.

"Ada apa dengan keningmu?" tanya ibunya, mengabikan pertanyaan Mack. Matanya merah, seolah ia baru saja menangis.

Mack mengabaikannya. "Bagaimana keadan Stella dan... dan bayi kami?"

Ibunya menatapnya sesaat, ia tidak menjawab namun ekspresinya membuat Mack merasa ketakutannya bertambah buruk. Mengabaikan kedua orang tuanya, Mack berjalan menuju pintu dan membukanya. Stella berbaring di ranjang dengan mata terarah ke langit-langit. Hanya dadanya yang naik turun yang menandakan bahwa ia masih hidup.

"Stella," gumam Mack, nyaris seperti bisikan. Istrinya itu menoleh dan sekarang Mack dapat melihat kedua matanya sembab, membuat tenggorokan Mack langsung tercekat. Ia tidak yakin bagaimana mengatasi apa yang akan ia temukan. Perlahan Mack berjalan menuju ranjang Stella, lalu duduk di kursi di samping ranjangnya. "Apa yang terjadi?"

Air mata tumpah semakin deras di kedua pipi Stella, ia tidak mengatakan sepatah katapun tapi Mack tahu dari matanya bahwa mereka telah kehilangan bayi mereka. Ia meraih Stella ke dalam pelukannya. Tangisannya pecah sesaat setelah wajahnya menyentuh dada Mack. Stella bergelayut dalam pelukan Mack dan menangis dengan histeris. Mack mendekap istrinya dengan erat, seolah pelukan itu adalah pertahanan terakhirnya, karena ia sendiri merasa bahwa dunia runtuh di sekitarnya. Mack baru saja kehilangan bayi mereka dan penyebabnya adalah dirinya sendiri.

***

Setelah dua hari di rawat di rumah sakit, Stella diizinkan keluar dari rumah sakit, walaupun kondisinya masih lemah. Kini Mack membawanya pulang. Ia membantu Stella turun dari mobil, lalu merangkul istrinya yang berjalan dengan perlahan menuju pintu depan. Sejak hari itu di rumah sakit, mereka tidak banyak bicara, sama seperti saat kematian orang tuanya, Stella menutup diri dan tidak membiarkan Mack untuk membantunya melewati kepedihannya. Begitu juga sebaliknya. Mack merasa kehilangan arah dan perasaan bersalah menjadi penghukuman yang terus menghantuinya.

"Apa kau ingin langsung ke kamar?" tanya Mack saat mereka telah berada di dalam rumah. Untuk beberapa saat Mack terpaku, keheningan di rumah itu meremas hatinya. Ia tidak pernah memperhatikan suasana di sana sebelumnya, dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar tempat itu, tapi kali ini ia merasa kesunyian di sana membuatnya tercekik. Entah karena kesedihan dan menyalahkan diri atas kehilangan bayi mereka, atau situasi sulit yang ia rasakan di antara dirinya dan Stella. Mack menatap wajah istrinya yang sekarang sedang mengernyit. "Kau ingin kembali ke kamar tamu atau ke kamar kita?"

Lihat selengkapnya