Mack menghentikan mobilnya di tengah gerbang saat ia melihat mobil Bobby terparkir di halaman rumahnya, saat itulah ia melihat pria brengsek itu berdiri di ambang pintu dan berbicara pada istrinya. Mack langsung terpaku ketika melihat Stella meraih wajah Bobby dan menciumnya penuh gairah. Ia merasa jantungnya terhenti selama sepersekian detik, lalu kemudian berdetak kembali dengan liar. Ia tidak yakin apakah ia akan bisa mengendalikan diri tanpa melakukan sesuatu yang buruk seperti membunuh Bobby saat ini juga jika ia berlama-lama di sana. Dengan suara ban mobil yang berdecit nyaring, Mack meninggalkan tempat itu.
Adrenalinnya terpacu dan Mack sangat ingin kembali ke rumahnya, kepada istrinya, kepada Bobby dan menghajar pria sialan itu hingga babak belur. Mack mencengkram setir kemudi dan menekan pedal gas lebih dalam. Ia tidak bisa kembali karena terakhir kali ia membiarkan emosi menguasainya, ia menyakiti Stella dan mereka kehilangan bayinya. Ingatan akan malam itu semakin membuat jantung Mack terasa dicengkram. Kemarahan, kekecewaan, perasaan bersalah dan semua emosi negatif yang menguasai hati dan pikirannya.
Di tengah pergumulan batinnya, tiba-tiba sebuah mobil melaju dari arah berlawanan. Bunyi klakson panjan dari mobil itu membuat Mack membanting setir ke sisi jalan dan berhenti di bahu jalan yang basah setelah diguyur hujan.
Mack mengangkat wajah dari roda kemudi dengan napas menderu. Ia tidak tahu apakah karena kemarahan atas tindakan Stella atau kejadian yang hampir membunuhnya barusan yang membuat jantungnya berpacu dan tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin mengalir menuruni tulang punggungnya. Mack berusaha mengendalikan diri dengan menarik napas dalam-dalam.
Kejadian itu kembali terulang, ia melihat Stella meraih wajah Bobby dan menciumnya, seolah pria itu adalah kekasih yang telah lama hilang, seakan ia bergantung pada ciuman itu. Kini rasa marah dan kecewa membangkitkan lagi kegeraman yang ia rasakan terhadap Bobby dan Mack sangat ingin kembali ke rumahnya dan menghabisi pria brengsek itu. Stella menginginkannya, suara itu seolah mengejek Mack. Ia memejamkan mata dan menepis pikiran itu. Kini penglihatan itu beralih ke wajah Rika yang menatapnya dengan kesedihan, dan meninggalkan Mack untuk laki-laki lain, membuat hatinya tercabik-cabik, seolah kejadian itu baru saja terjadi. Mack menggelengkan kepala, mengusir penglihatan yang tak diinginkan itu.
Kini berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Apakah ia akan membiarkan dirinya kehilangan Stella juga, apakah ia akan menyerah sama seperti ia menyerah pada Rika. Saat itu Mack berpikir bahwa bersama Bobby ia akan bahagia, tapi Mack justru kehilangannya untuk selamanya. Seharusnya Bobby yang mati dalam kecelakaan itu, bukan Rika. Kini Bobby kembali mengusik hidupnya dan menghoda istrinya. Tapi apakah itu yang Stella inginkan? Bersama dengan Bobby Susilo?
Mack memukul setir mobil itu sambil berteriak frustrasi dengan kedua tangan menarik rambutnya. Pecundang, tidak berguna, kau memang tidak pantas bahagia, Stella tidak menginginkanmu. "Diam!" teriaknya, seolah suara-suara itu dapat mendengarnya.
Mack tidak bisa kembali ke rumah dalam keadaan seperti ini, karena jika ia meliht pria itu masih di sana, maka Mack tidak segan untuk membunuh Bobby Susilo.
Mack mengarahkan mobil kembali ke jalanan. Ia tidak ingin berakhir di penjara karena telah menghabisi nyawa selingkuhan istrinya. Mack tahu ke mana ia harus pergi malam ini. Ia memacu mobilnya menuju club malam yang selama beberapa hari ini dengan sekuat tenaga ia hindari.
Jika ada hal lain yang Mack benci sekaligus ia butuhkan maka itu adalah alkohol. Satu-satunya warisan yang ayahnya tinggalkan padanya adalah kecanduannya pada cairan laknat itu. Tapi malam ini Mack tidak peduli, bukankah ia dan Stella tidak akan bahagia berasama. Ia terlalu buruk baginya dan Mack tidak akan menahannya jika Stella memang hendak pergi dan menjadi kekasih Bobby Susilo. Bukankah Mack memang tidak jauh berbeda dari ayahnya. Seorang pecundang yang hanya bisa mabuk saat situasi menekannya.
Mack memasuki club malam yang hingar bingar itu dan memesan minuman apapun yang akan bisa menghentikan sakit kepalanya.
Ia menenggak minumannya dari botol yang kesekian, tidak peduli seberapa banyak yang ia minum, Mack bahkan berharap bahwa setelah malam ini ia tidak harus bangun lagi dan menghadapi masalahnya. Ia berjalan terhuyung ke lantai dansa dan meraih seorang waitress ke dalam pelukannya, mengajaknya berdansa, bukan karena ia menginginkannya, tapi hanya untuk mengisi lubang kosong yang menggerogoti jiwanya. Perempuan itu menggeliat protes dan mendorongnya.
"Apa masalahmu?" kata Mack, kini penglihatannya mulai kabur, ia bahkan tidak dapan melihat wajah wanita itu dengan jelas. Bahkan musik yang berdentum di ruangan itu seolah hanya suara samar-samar dari kejauhan. Mack berusaha meraih tangan perempuan itu, mungkin rasa pedih yang ada di hatinya dapat terobati jika ia melakukan apa yang sama seperti yang Stella telah lakukan padanya.
"Lepaskan saya," sergah waitress itu lalu menyentak tangan Mack dan segera berlari ke konter belakang.
Mack tertawa sinis, ia bukan pria brengsek.
Sebuah tangan mencekal bahunya. "Bung, Anda sudah terlalu mabuk."
Mack berbalik dan bertatapan dengan seorang pria tinggi besar, wajahnya dipenuhi jambang. "Apa?"
"Anda sebaiknya segera menyingkir dari tempat ini."
Mack tertawa masam. "Begini cara kalian memperlakukan seorang pelanggan." Ia menenggak langsung botol setengah kosong di tangannya.
"Sebaiknya Anda pergi sebelum kami memaksa Anda keluar."
"Ada apa dengan kalian?" Rasa jengkel membangkitkan kemarahan Mack. Ia mendorong bahu pria itu yang tidak terpengaruh sedikitpun.
"Anda sudah mabuk, sebaiknya segera menyingkir dari sini sebelum aku melempar Anda keluar."